Berita

Sri Mulyani/Net

Bisnis

Swasta Dihantui Risiko Default, Ekonom: Sri Mulyani Jangan Hanya Bicara, Mana Aksinya?

RABU, 02 OKTOBER 2019 | 18:31 WIB | LAPORAN: AMAL TAUFIK

Laporan lembaga pemeringkat utang Moody's Investor Service yang bertajuk Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Condition menyebut perseroan di Indonesia rentan risiko gagal bayar utang.

Profil utang korporasi Indonesia sangat buruk karena, menurut laporan Moody's, sebanyak 40 persen utang korporasi di Indonesia memiliki skor Interest Coverage Ratio (ICR) lebih kecil dari 2.

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani angkat bicara mengenai laporan tersebut. Ia mengatakan, kondisi ini merupakan peringatan yang baik bagi para pengusaha agar lebih waspada.

Analis ekonomi politik sekaligus founder dan CEO Fine Institute Kusfiardi mengatakan, Sri Mulyani sebagai pemegang otoritas kebijakan seharusnya tidak hanya sekadar bicara begitu. Menurutnya, tanpa Sri Mulyani bicara pun para pelaku usaha sudah sadar untuk waspada.

Kusfiardi menilai, justru yang dibutuhkan para pelaku usaha adalah respon kebijakan yang menjawab temuan data-data lapangan yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga keuangan seperti Moody's dan lembaga-lembaga keuangan pemerintah lainnya.

"Problem kita, kita tidak ada konsolidasi kebijakan antara moneter, fiskal, dan sektor riil. Semua jalan sendiri-sendiri, sehingga tidak ada sinergi dan tidak ada upaya untuk mengintegrasikan potensi domestik untuk memperkuat perekonomian nasional," ujar Kusfiardi kepada Kantor Berita Politik RMOL (2/10).

Ia menambahkan, seharusnya ada regulasi yang memastikan bahwa pemerintah fokus subtitusi impor dalam rangka mengurangi kebutuhan devisa.

Kemudian, lanjut Kusfiardi, pemerintah juga harus mengupayakan konsolidasi kebijakan agar tingkat suku bunga untuk dunia usaha lebih terjangkau bagi pengembangan dunia usaha.

Selain itu, upaya regulasi untuk memastikan bahwa pemberlakuan tingkat suku bunga oleh lembaga-lembaga keuangan sudah cocok dengan kebutuhan pembiayaan yang dibutuhkan oleh perusahaan dan industri dalam negeri.

"Sejauh ini otoritas kebijakan lebih banyak lips service daripada mengambil tindakan kebijakan," pungkasnya.

Populer

Duit Sitaan Korupsi di Kejagung Tak Pernah Utuh Kembali ke Rakyat

Senin, 10 Maret 2025 | 12:58

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

Usia Pensiun TNI Bakal Diperpanjang, Ketum PEPABRI: Kalau 58 Tahun Kan Masih Lucu-Lucunya

Senin, 10 Maret 2025 | 19:58

KPK Kembali Panggil Pramugari Tamara Anggraeny

Kamis, 13 Maret 2025 | 13:52

Ekonom: Hary Tanoe Keliru Bedakan NCD dan ZCB

Kamis, 13 Maret 2025 | 19:53

UPDATE

Loyalis Jokowi, Jeffrie Geovanie Sangat Tidak Layak Gantikan Menteri BUMN Erick Thohir

Sabtu, 15 Maret 2025 | 11:22

Rapor IHSG Sepekan Lesu, Kapitaliasi Pasar Anjlok Rp215 Triliun

Sabtu, 15 Maret 2025 | 11:07

DJP: Pajak Ekonomi Digital Capai Rp33,56 Triliun hingga Akhir Februari 2025

Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:47

Kualitas Hilirisasi Ciptakan Lapangan Kerja Lebih Luas

Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:44

Pengacara Klaim Duterte Diculik karena Dendam Politik

Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:19

Harga Emas Antam Lebih Murah Hari Ini Usai Cetak Rekor Tertinggi

Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:08

Menko Airlangga Ajak Pengusaha Gotong Royong

Sabtu, 15 Maret 2025 | 09:48

Fraksi PAN Salurkan 3.000 Paket Sembako untuk Rakyat

Sabtu, 15 Maret 2025 | 09:47

Universitas Columbia Cabut Gelar Akademik 22 Mahasiswa

Sabtu, 15 Maret 2025 | 09:34

Tanggapi Usulan Menhub, Kadin: Tidak Semua Usaha Bisa Terapkan WFA Saat Mudik

Sabtu, 15 Maret 2025 | 09:13

Selengkapnya