Berita

TNI dan warga Tembagapura, Papua kibarkan bendera Merah Putih raksasa/Net

Publika

Membangun Papua Dengan Cinta

SABTU, 14 SEPTEMBER 2019 | 11:59 WIB

APAKAH manusia bisa memilih ditakdirkan lahir dimana, dari keluaraga apa, suku apa, bentuk badan, warna kulit? Pertanyaan ini harus dijawab orang yang merasa dirinya "selalu lebih" dari orang lain. Merasa superior, lebih baik, lebih ideal bahkan terkadang sampai merasa berhak mengatur hidup orang lain yang berbeda penampilannya.
 
Jika tanda-tanda itu ada pada diri kita, jangan-jangan menjadi penganut aliran doktrin rasisme. Rasisme adalah faktor pendorong perilaku diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial kepada oang lain, bahkan bisa sampai genosida. Sikap rasisme dalam kehidupan masyarakat sering kali kita jumpai melalui perilaku bullying dengan memberikan julukan "Item", "Kampungan", dan yang terbaru sebutan binatang "Monyet/ Babi/ Anjing".
 
Sikap rasis dapat merusak mental seorang, seperti perasaan tidak nyaman ketika berada dilingkungan umum atau ketika berada di lingkungan yang tidak memiliki kesaan ras dan etnis mayoritas setempat.
 

 
Teringat kisah pertemanan saya dengan teman sekelas asal Kongo ketika belajar bahasa Rusia tahun 2017 di Institute Pushkin, Moskow, Rusia. Siswa yang di kelas berasal dari campuran dari siswa manca negara, mulai dari Cina, Vietnam, Iran, dan juga Kongo. Teman Saya yang asal Kongo, pada dasarnya sama seperti teman lain, bahkan dia termasuk cerdas menangkap pelajaran.
 
Namun, dia selalu menyendiri dan tidak suka bersosialisasi, istilah moderennya anti-sosial. Ia merasa tidak percaya diri (Inferiority complex) karena berkulit Черный atau hitam yang menjadi alasan merasa tidak pede bergaul dengan yang lain.
 
Pada suatu ketika, saya bertanya alasan dia tidak mau bergaul. Dia menjawab, "bagimana mungkin saya bisa percaya diri bergaul dengan yang lain, saya berkulit hitam! Kamu enak dilahirkan tidak seperti saya. Jadi mana bisa kamu merasakan apa yang saya rasakan!". Dia melanjutkan, "setiap kali saya jalan, orang selalu memandang saya karena berbeda. Selain itu, mungkin mereka menganggap 'kami' adalah masyarakat yang tidak moderan dan tidak beradab," katanya.
 
#PapuaBukanMonyet
 
Tulisan ini akan difokuskan membahas insiden demonstrasi masyarakat Papua baru-baru ini. Sampai saat ini, masyarakat Papua masih melakukan protes melalui aksi demonstrasi menuntut perilaku intimidasi dan rasisme oleh oknum masyarakat di Malang dan Surabaya beberapa waktu lalu.
 
Berawal dari rasa penasaran saya ketika melihat tranding tagar #SayaBersamaPapua #PapuaBukanMonyet #PapuaJugaIndonesia #monyet di sosial media setelah tanggal 17 Agustus lalu. Apalagi tagar itu bertahan cukup lama. Dari situ lama saya melakukan riset digital, apa yang menjadi penyebab trandingnya tagar itu.
 
Tagar-tagar itu ternyata aksi protes warganet sekaligus dukungan kepada masyarakat Papua. Pemicunya, indsiden tersebut viralnya rekaman video aksi demonstrasi oknum yang berdemo di luar asrama mahasisawa papua di Surabaya menunjuk-nunjuk ke mahasiswa di dalam asrama disertai umpatan nama binatang.
 
Saya cukup terkejut sekaligus miris setelah mengetahui informasi ini. Hari gini masih ada perilaku rasisme? Kenapa masih ada orang yang alergi dengan orang lain yang berbeda? Apalagi kita sudah disatukan oleh ikatan sebagai saudara sebangsa setanah air. Terlebih kejadian ini di bulan perayaan kemerdekaan Indonesia melawan kolonialisme yang ke 74. Saya menganggap tidak sepantasnya di era moderen dan pendataran dunia seperti sekarang ini masih ada laku primitif seperti itu.
 
Presiden Jokowi memang menganggap Papua spesial. Bahkan kerap mengunjungi Papua melihat perkambangan pembangunan infrastruktur yang sedang dibangun di sana. Salah satu program besar beliau adalah pembangunan jalan Trans Papua jalur Jayapura-Wamena yang berjarak 575 kilometer.
 
Sayangnya, pembangunan infrastruktur tidak berbanding lurus dengan kualitas pembangunan manusia di Papua. Terbukti Indek Pembangunan Manusia papua masih tetap yang terendah dari seluruh propinsi Indonesia.
 
Badan Pusat Statisik (BPS) Provinsi Papua juga merilis presentase penduduk miskin pada Maret 2019 malah naik 0,10 persen. Presentase ini meningkat sepanjang 6 bulan terakhir, baik di daerah perkotaan dan pedesaan. Data BPS Papua menyebutkan penduduk miskin perkotaan naik 0,25 peresn dan pedesaan naik 0,19 persen.

Membangun Papua
 
Apa yang diprotes dengan warga Papua tidak boleh terjadi lagi! Aksi protes ribuan warga Papua harus segera dicari akar dari permasalahannya. Akar dari seluruh protes itu menurut saya adalah kekecewaan masyarakat Papua atas ketidak merataan ekonomi dan pembangunan dari daerah lain.
 
Hingga saat ini Papua, masih menjadi daerah tertinggal sejak bergabung dengan Republik Indonesia. Selain itu, kekecewaan meraka dengan cara pemerintah menggunakan pendekatan keamanan di Papua. Sangat disayangkan juga penanganan konflik lalu oleh pemerintah masih menggunakan pendekatan kekerasan dan terakhir pemerintah membelokir internet di Papua selama dua minggu.
 
Oleh karena itu, ada beberapa pointer usulan saya bagaimana membangun Papua pasca aksi protes ini.
 
Pertama, pemerintah harus segera melakukan pendekatan dialogis untuk mendapatkan titik temu permasalahan yang dirasakan masyarakat Papua. Harus dilakukan sedini mungkin dan menyeluruh antara pemerintah pusat dan Papua.
 
Saya bersyukur Presiden Jokowi sudah bertemu dengan tokoh-tokoh Papua di Istana negara pada hari Selasa (10/09/2019). Sembilan pointer aspirasi tersebut harus dipertimbangkan oleh pemerintah agar insiden protes masyarakat Papua tidak terulang kembali.
 
1. Pemekaran provinsi 5 wilayah di Provinsi Papua dan Papua Barat
2. Pembentukan Badan Nasional Urusan Tanah Papua
3. Penempatan pejabat eselon 1 dan eselon 2 di Kementerian dan Lembaga
4. Pembanguan asrama nusantara untuk mahasiswa Papua di seluruh kota dan menjamin keamanan mahasiswa Papua
5. Usulan revisi UU Otonomo Khusus (Otsus) dalam Prolegnas 2020
6. Menerbitkan Inpres untuk pengangkatan ASN Honorer di tanah Papua
7. Percepatan palapa ring timur Papua.
8. Membentuk lembaga adat perempuan dan anak Papua
9. Membangun Istana Presiden RI di Ibukota Provinsi Papua, Jayapura.
 
kedua, pemerintah harus mengevaluasi pradigma pendekatan keamanan di Papua. Kedepan harus lebih menggunakan pendekanan sipil seperti daerah-daerah lain berdasarkan aturan perundang-undangan di Indonesia. Saya juga setuju UU Otsus perlu segera direvisi mendekati pendekatan kemanusiaan. Sudah saatnya memperlakukan Papua seperti daerah lainnya.
 
Ketiga, mempercepat pembangunan perekonomian dan kualitas pendidikan masyarakat Papua. Ketimpangan ekonomi merupakan akar dari kegagalan Pemerintah membangun manusia di Papua. Presiden selama ini hanya melakukan pembangunan fisik, tapi lupa membangun manusianya. Itulah mengapa orang miskin di Papua meningkat.
 
Salah satu strategi kunci memerangi kemiskinan melalui pemerataan pendidikan. Infrastruktur yang seharusnya dibangun terlebih dahulu di daerah Papua oleh Presiden Jokowi adalah infrastruktur pendidikan. Melalui pendidikan masyarakat Papua bisa bangkit, maju dan berkembang. Terutama pendidikan tingginya dan sekolah menengah kejuruan.
 
Saya menutup tulisan ini dengan mengajak kita bersama menolak rasisme. Pelaku rasialisme memang harus ditindak. Namun, pemerintah terlebih dahulu harus menjadi pengadil yang seadil-adilnya untuk seluruh bangsa Indonesia. Jangan lagi ada pelebelan kepada setiap warga negara Indonesia seperti binatang, pancasilais/anti-Pancasila, pribumi/non-pribumi dan lain sebaginya.
 
Mari kita belajar untuk lebih menghargai perbedaan. Karena perbedaan adalah fitrah negara bangsa Indonesia. Kita harus lebih mengedepankan persatuan dan kesatuan sebagai watak asli ideologi Pancasila. Karena kita selain terikat sebagai warga negara bangsa Indonesia. Kita juga terikat sebagai citizen of the world atau warga planet bumi.
 
Selain itu. Saya juga mendorong pemerintah mengevaluasi penanganan konflik Papua dengan pendekatan cinta dan humanisme. Seperti kutipan dari ungkapan Martin Luther Jr. "Returning violence for violence multiplies violence, adding deeper darkness to a night already devoid of stars... Hate cannot drive out hate: only love can do that".

Munadhil Abdul Muqsith
Kandidat Ph.D International Journalism di RUDN University, Moskow, Rusia, dosen FISIP UPN Veteran Jakarta.


Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

UPDATE

PIP Berubah Jadi Kartu Undangan Kampanye Anggota DPR

Senin, 15 Desember 2025 | 06:01

Perpol versus Putusan MK Ibarat Cicak versus Buaya

Senin, 15 Desember 2025 | 05:35

Awas Revisi UU Migas Disusupi Pasal Titipan

Senin, 15 Desember 2025 | 05:25

Nelangsa Dipangku Negara

Senin, 15 Desember 2025 | 05:06

Karnaval Sarendo-Rendo Jadi Ajang Pelestarian Budaya Betawi

Senin, 15 Desember 2025 | 04:31

Dusun Bambu Jual Jati Diri Sunda

Senin, 15 Desember 2025 | 04:28

Korupsi di Bandung Bukan Insiden Tapi Tradisi yang Dirawat

Senin, 15 Desember 2025 | 04:10

Rektor UI Dorong Kampus Ambil Peran Strategis Menuju Indonesia Kuat

Senin, 15 Desember 2025 | 04:06

Hutan Baru Dianggap Penting setelah Korban Tembus 1.003 Jiwa

Senin, 15 Desember 2025 | 03:31

Jangan Keliru Tafsirkan Perpol 10/2025

Senin, 15 Desember 2025 | 03:15

Selengkapnya