Berita

Lilin/Net

Publika

Listrik Mati, Ijtima Ulama, Dan Terorisme

RABU, 07 AGUSTUS 2019 | 00:27 WIB | OLEH: SYAHGANDA NAINGGOLAN

BEBERAPA tahun lalu, ketika seorang teman seangkatan saya di ITB akan menjadi salah satu direktur PLN di Manhattan, New York, FBI langsung memanggil dia, karena nama depan dia adalah Muhammad.

Sesuai cerita saudara iparnya ke saya, FBI ingin memastikan bahwa teman itu tidak ada kaitan dengan terorisme.

Nama Muhammad atau Ahmad di sana, memang sensitif bagi intelijen Amerika. Memang wajar ancaman terorisme dalam urusan listrik ini begitu vital. Sebab, dengan hancurnya power dan/atau jaringan transmisi, maka listrik akan padam, lalu ekonomi akan hancur. Apalagi di kota terelit di dunia, Manhattan NY.


Matinya listrik hari Minggu yang lalu, 4 Agustus, selama 12 jam di Jabodetabek, Jabar dan Banten, telah melumpuhkan kehidupan bangsa kita. Core Institute mencatat gangguan ini menerpa 30 persen perekonomian kita, karena 55 persen ekonomi berputar di tempat lampu padam tersebut.

Hal ini ditambahkan pula dengan berbagai keluhan-keluhan di sektor transportasi, seperti adanya fakta MRT terjebak di bawah tanah dengan penumpangnya (karena MRT dioperasikan tanpa back-up power, seperti di negara negara maju), sektor kesehatan karena berkurangnya sebagian fasilitas rumah sakit, seperti lift mati, dll. Belum lagi berita kebakaran yang terjadi di beberapa daerah karena penggunaan lilin yang tidak terkontrol baik.

Jokowi yang keesokan harinya langsung ke PLN, sebagai mana di muat CNN, bertanya, “kok tahu-tahu drop (listrik) itu? Artinya, pekerjaan yang ada tidak dihitung, tidak dikalkulasi dan itu betul-betul merugikan kita semuanya".

Pertanyaan Jokowi ini penting dicatat karena pimpinan PLN dan BUMN sebesar PLN semuanya ditentukan oleh Jokowi sendiri, sebagai ketua tim TPA (Tim Penilai Akhir).

Selain juga, karena sebagai objek vital, PLN pasti mempunyai manajemen strategi dan kemampuan mitigasi yang baik.

Polisi dan pengamat intelijen sudah membuat kemungkinan adanya kejahatan pidana dalam masalah ini. Polisi melalui humasnya mengatakan ada jejak pidana dalam kasus PLN yang mirip pada tahun 2012, sehingga polisi perlu menyelidiki.

Kecurigaan polisi saat ini kemudian bersaing dengan isu kayu sengon di Gunungpati, Semarang, sebagai penyebab ledakan jaringan yang korslet, sehingga merusak beberapa turbin pembangkit.

Awalnya ketua unit PLN setempat membantah hal itu sebagai "hoax". Namun, isu ini terus berkembang "mainstream", mulai menggeser isu terorisme ataupun pidana sabotase.

Lalu Apa Kaitannya dengan "Ijtima Ulama”?

Ijtima ulama ke-IV di Hotel Lorin Sentul merupakan bagian dari “power game” kekuasaan politik. Bagiannya bukan berarti para ulama tersebut terlibat dalam "bisnis kekuasaan" atau "transaksi kekuasaan".

Namun, sikap para ulama ini berlangsung di tengah meluasnya berita perpecahan di kalangan elit kekuasaan Jokowi, khususnya  sejak Megawati dan Prabowo membangun "poros nasi goreng" (Mega-Pro). Salah satu pihak PDIP di sebuah media online bahkan mempersilakan Surya Paloh dkk menjadi oposisi dalam pemeritahan Jokowi jilid II nanti, jika menegasi eksistensi Megawati.

Surya Paloh sendiri, seakan membalas pertemuan Mega-Pro, lalu mengundang Anies Baswedan dan memberikan pernyataan politik akan mendukung Anies jadi presiden 2024 pada pertemuan itu. Statement ini hanya bisa dimaknai sebagai  bentuk kemarahan. Sebab, pilpres baru saja usai dan presiden belum dilantik.

Tentu sorotan ke arah Surya Paloh belum tuntas, jika sorotan ke arah Hendroprijono dan Luhut Binsar Panjaitan tidak diperhatikan. Kedua orang ini telah mengambil peran besar dalam mendukung Jokowi, baik 5 tahun lalu, maupun pilpres 2019 lalu.

Hendroprijono bahkan adalah orang yang secara terbuka menyerang "orang-orang Arab", untuk mendelegitimasi politik ulama. Jika Mega dengan lantang mengatakan bahwa di negara Indonesia tidak ada istilah koalisi dan tidak ada pula istilah oposisi, apakah statemen itu dibiarkan saja bersifat sepihak? Tentu saja banyak yang marah.

Kekecewaan pendukung utama Jokowi atas kesan sikap-sikap dominan Megawati adalah situasi koeksistensi dengan listrik padam dan ijtima ulama. Tentu saja koeksistensi bukan sebuah korelasi. Koeksistensi hanyalah sebuah kejadian-kejadian bersamaan dalam suatu waktu. Dalam sebuah teori konspirasi, sebuah koeksistensi memang menarik untuk didalami kemungkinan-kemungkinan adanya irisan. Di luar teori konspirasi, koeksistensi akan berlalu begitu saja.

Hasil ijtima ulama yang tidak mengakui pemerintahan Jokowi, sedikitnya secara moral, telah berdampak dua hal, pertama mendeligitimasi pemerintahan Jokowi, namun kedua, mendeligitimasi ketokohan Prabowo.

Untuk yang terakhir ini, bahkan ulama-ulama tersebut tidak mengundang Prabowo, yang bisa diartikan kehilangan respek. Dampak lanjutnya adalah berkurangnya klaim Mega-Pro bahwa urusan polarisasi sudah terselesaikan.

Penutup

Mati listrik dan ijtima ulama telah menjelaskan dua cerita pada bangsa kita. Pertama, sistem kelistrikan kita tidak kebal terhadap kayu sengon apalagi terorisme. Jakarta, sebagai ibukota dan megacity, harus mempunyai pembangkit dan distribusi independen.

Power plant Muara Karang, misalnya, harus segera diselamatkan dari hal reklamasi. Kedua, para ulama telah menunjukkan konsistensinya berjuang di luar kekuasaan Jokowi. Dengan besarnya kemungkinan kelompok oposisi akibat koalisi Mega-Pro, konstalasi ulama dalam politik ke depan akan sangat menarik.

Semoga kedua hal di atas dapat kita fahami diluar persaingan isu (terkait listrik mati ) saat ini antara terorisme dan kayu sengon.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle


Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

Kapolda Metro Buka UKW: Lawan Hoaks, Jaga Jakarta

Selasa, 16 Desember 2025 | 22:11

Aktivis 98 Gandeng PB IDI Salurkan Donasi untuk Korban Banjir Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:53

BPK Bongkar Pemborosan Rp12,59 Triliun di Pupuk Indonesia, Penegak Hukum Diminta Usut

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:51

Legislator PDIP: Cerita Revolusi Tidak Hanya Tentang Peluru dan Mesiu

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:40

Mobil Mitra SPPG Kini Hanya Boleh Sampai Luar Pagar Sekolah

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:22

Jangan Jadikan Bencana Alam Ajang Rivalitas dan Bullying Politik

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:19

Prabowo Janji Tuntaskan Trans Papua hingga Hadirkan 2.500 SPPG

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Trio RRT Harus Berani Masuk Penjara sebagai Risiko Perjuangan

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Yaqut Cholil Qoumas Bungkam Usai 8,5 Jam Dicecar KPK

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:47

Prabowo Prediksi Indonesia Duduki Ekonomi ke-4 Dunia dalam 15 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:45

Selengkapnya