PEMILU 2019 khususnya Pilpres kembali membuktikan bahwa bangsa Indonesia sudah sangat matang dalam berdemokrasi.
Meskipun Pilpres kali ini berlangsung sangat keras, jauh lebih keras dibanding pilpres-pilpres sebelumnya, disebabkan besarnya pengaruh gelombang populisme yang sarat dengan isu primordialisme terkait SARA.
Beban politik pilpres saat ini bertambah berat, disebabkan kuatnya arus yang dikenal dengan istilah pasca kebenaran (post truth) untuk menggambarkan suasana masyarakat yang didominasi oleh pertimbangan emosi dibanding rasio dalam memilih, akibat banjir hoax di media sosial, baik yang muncul secara alamiah dari masyarakat maupun yang diproduksi oleh para buzzer pendukung kedua kandiat capres-cawapres.
Banyak negara gagal mengatasi tantangan ini. Karena itu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berhasil menyelesaikan Perselisihhan Hasil Pemilu Umum (PHPU), diikuti dengan penetapan capres dan cawapres terpilih oleh KPU dengan damai, merupakan prestasi luar biasa yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang, termasuk para kader dan elite partai politik.
Pertanyaan hipotesis yang layak diajukan adalah: apa rahasianya?
Tentu pertanyaan sederhana ini tidak bisa dijawab secara sederhana, mengingat banyaknya faktor dan kompleksnya hubungan variabel satu dengan lainnya, sehingga memerlukan riset mendalam untuk menemukan jawabannya.
Akan tetapi, jika menggunakan pendekatan politik dan berpijak pada teori demokrasi, khususnya yang terkait pada pentingnya peran masyarakat sipil (civil soceity), maka dengan merujuk pada berbagai tulisan yag tersebar yang dibuat oleh ilmuan dan cendekiawan, besarnya peran dua organisasi Islam yakni; NU dan Muhammadiyah merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri.
Karena itu, seminar dua hari, 19-20 Juni 2019, di Oslo, Norwegia, dimana panitia pemberi hadiah Nobel berkantor, merupakan sebuah inisiatif yang layak mendapatkan apresiasi dan dukungan. Seminar ini disamping menghadirkan wakil dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia, juga menghadirkan sejumlah cendekiawan dan lembaga riset yang independen.
Ada sejumlah alasan mengapa NU dan Muhammadiyah layak mendapatkan hadiah Nobel: Pertama, Muhammadiyah lahir tahun 1912 dan NU pada 1926, jauh sebelum Indonesia merdeka. Para pejuang kemerdekaan khususnya yang berbasis pada masyarakat relijius atau kelompok santri, mereka lahir dari rahim salah satu dari dua organisasi ini.
Kedua, Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan dan NU didirikan oleh KH.Hasyim Asyari ternyata saudara seperguruan, karena keduanya merupakan murid dari Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama terkemuka asal Minang yang menetap dan mengajar di kota suci Makkah. Karena itu, walau di permukaan dua organisasi ini tampak bersaing, akan tetapi sejatinya mereka "berfastabiqul khairaat" dalam beramal saleh di bi dang sosial keagamaan.
Mereka bukan saja saling melengkapi, akan tetapi juga saling belajar dari kelebihan yang lain. Muhammadiyah yang berbasis di perkotaan dan daerah urban, memulai gerakkannya dari pendidikan modern berupa sekolah umum, sementara NU yang berbasis di pedesaan memulai dengan pesantren.
Dalam perjalanannya Muhammadiyah kemudian juga mengembangkan pesantren dan mendalami ilmu Al Quran, Hadits, dan Fiqih, sementara NU mengembangkan sekolah umum dengan sistem kelas berjenjang yang mengajarkan matematika, kimia, fisika, serta sain dan teknologi.
Ketiga, menjelang kemerdekaan wakil-wakil NU dan Muhammadiyah ikut membidani lahirnya Pancasila sebagai ideologi negara. Mereka berhasil mengawinkan semangat ke-Islaman (spirit keagamaan) dengan semangat ke-Indonesiaan (nasionalisme). Sebuah rumusan yang mengawinkan teori demokrasi modern yang berasal dari Barat dengan kearifan lokal. Terbukti Pancasila mampu bertahan lebih dari 70 tahun.
Keempat, sejak Reformasi tahun 1998 sebagai sebuah proses demokratisasi di Indonesia, peran masyarakat sipil sebagai pilar demokrasi yang sangat penting, tidak bisa diabaikan dalam menjaga dan mengawalnya, sehingga demokrasi bisa bertahan sampai saat ini.
Banyak civil soceity yang muncul, baik yang lokal maupun yang merupakan cabang dari luar negri yang kemudian dikenal dengan LSM atau NGO, keberadaannya hanya di ibukota Jakarta. NU maupun Muhammadiyah bisa dikatakan LSM raksasa atau BINGO (big NGO), jika merujuk pada jumlah aktifis dan anggotanya, struktur organisasinya, wilayah aktifitas yang digelutinya, dan sumbangannya terhadap masyarakat baik di tingkat lokal maupun nasional dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Kelima, berkali-kali demokrasi di Indonesia mengalami ujian berat, yang nyaris membuat Indonesia gagal mengimplementasikannya, jika saja kelompok civil soceity lemah. Harus dinyatakan bahwa civil soceity yang berbasis pada partai politik masih sangat lemah dan tidak bisa diharapkan, sementara ormas keagamaan khususnya yang bergerak dengan semangat Islam sudah sangat kokoh, dan selalu tampil di saat genting untuk menyelamatkan demokrasi.
NU dan Muhammadiyah meskipun tidak terlibat dalam politik praktis, dalam arti ikut kontestasi dalam berebut kekuasaan, akan tetapi sangat peduli dalam mengawal kepentingan rakyat dan dalam menjaga keutuhan NKRI. Dengan kata lain NU dan Muhammadiyah tidak bermain di wilayah low politics, akan tetapi terlibat di wilayah high politics.
Keenam, jika merujuk pada berbagai lembaga dan perorangan yang pernah menerima hadiah Nobel, maka NU dan Muhammadiyah lebih dari layak untuk menerimanya. Apalagi jika manfaat positif yang akan dihasilkannya ikut menjadi pertimbangan, mengingat sampai saat ini banyak negara dengan penduduk mayoritas muslim di dunia sedang mencari bentuk dan model demokrasi yang bisa dijadikan contoh.
Semoga saja panitia yang menentukan sadar dan faham manfaat yang akan dihasilkan dengan memilih NU dan Muhammadiyah, karena hadiah Nobel ini akan menambah motivasi sekaligus percaya diri rakyat Indonesia dalam mengimplementasikan demokrasi.
Dalam waktu bersamaan dapat sekaligus digunakan untuk mengkampanyekan Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia dengan masyarakat Islam yang moderat, toleran, bukan saja compatible dengan demokrasi, akan tetapi juga mampu mewujudkan rahmatan lilalamin, termasuk terhadap minoritas non-Muslim.
Penulis adalah
Pengamat Politik Islam dan Demokrasi