PERNAHKAH kita merenungkan seberapa kuat fondasi yang menopang Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia? Ketika pendanaan dari USAID yang sudah berlangsung lama akhirnya berhenti, dampaknya terasa sangat besar. OMS yang selama ini bergantung pada dana donor asing mendapati diri mereka terombang-ambing, bingung, dan terhuyung-huyung mencari sumber pendanaan pengganti. USAID, melalui berbagai program hibahnya, telah lama menjadi penyokong penting bagi banyak inisiatif sosial di negeri ini. Akan tetapi, ketika pendanaan itu berhenti, terbuka lebarlah kenyataan pahit tentang ketergantungan yang telah lama terjalin.
Diversifikasi pendanaan lokal, seringkali dijadikan solusi utama dalam menghadapi permasalahan ketergantungan terhadap donor. Banyak yang berpendapat bahwa mencari dana dari sektor swasta, komunitas lokal, atau mekanisme pendanaan berbasis hasil adalah langkah strategis untuk mencapai keberlanjutan. Namun, meski secara teori tampaknya sangat rasional, kenyataannya lebih kompleks dari sekadar mengubah aliran dana.
Mentalitas yang Masih Terbelenggu
Setiap organisasi memiliki cara pandang yang mengarahkan mereka dalam bertindak dan membuat keputusan. Pandangan ini, yang sering disebut sebagai mentalitas atau budaya organisasi, adalah suatu sistem keyakinan yang telah terbentuk sejak lama baik yang tersurat maupun yang tersirat. Dalam konteks OMS, pandangan ini mencakup ide-ide tentang bagaimana seharusnya mereka mendapatkan dana, bagaimana mereka harus bekerja untuk mencapai tujuan, serta bagaimana dunia sosial-politik ini beroperasi untuk mendukung mereka.
Ketika donor internasional menjadi sumber pendanaan utama, OMS secara perlahan mulai mengadopsi pandangan bahwa pendanaan hanya bisa diperoleh dari luar, dari sumber yang lebih besar, dari lembaga yang memiliki kapasitas untuk memberikan dana besar melalui hibah atau sumbangan. Pandangan semacam ini, meskipun mungkin efektif dalam jangka pendek, justru menjadi penghalang terbesar untuk pergeseran menuju sistem pendanaan lokal yang lebih berkelanjutan. Dalam hal ini, mentalitas bergantung pada donor menjadi budaya yang sulit diubah, bahkan ketika donor internasional mulai berkurang atau berhenti memberikan dana.
Mentalitas ini secara mendalam memengaruhi keputusan strategis organisasi. OMS yang terjebak dalam mentalitas donor ini seringkali merasa bahwa mereka tidak perlu berinovasi dalam cara mereka mencari dana atau mengembangkan sumber daya lokal mereka. Alih-alih mengeksplorasi pendanaan yang bisa dikerjasamakan bersama masyarakat lokal, atau model bisnis sosial, mereka lebih memilih untuk tetap bergantung pada pola-pola lama yang lebih familiar, seperti mengajukan proposal untuk hibah donor.
Hal ini juga menciptakan ketergantungan intelektual. Proses-proses internal yang ada dari pengajuan proposal hingga pelaporan kepada donor sering kali membentuk cara berpikir dan bertindak seluruh organisasi. Ketika sebuah OMS terbiasa mengandalkan donor sebagai sumber dana utama, mereka tidak pernah mengembangkan kapabilitas internal untuk mencari sumber pendanaan alternatif.
Selain itu, mentalitas ini dapat membatasi kreativitas dan inovasi dalam merancang solusi yang lebih berkelanjutan dan relevan dengan kebutuhan lokal. Banyak OMS yang terlalu terfokus pada memenuhi kebutuhan administratif dan logistik untuk donor, sehingga mengabaikan potensi yang ada dalam masyarakat lokal. Jika organisasi terus-menerus terfokus pada pendanaan luar, mereka mungkin kehilangan peluang untuk memanfaatkan sumber daya lokal yang lebih besar, seperti masyarakat yang mendukung visi mereka.
Membangun Mentalitas Mandiri
Untuk membuat diversifikasi pendanaan lokal berhasil, perubahan mentalitas harus dimulai dari dalam organisasi itu sendiri. Mentalitas bergantung pada donor yang sudah begitu mapan perlu digantikan dengan mentalitas mandiri yang lebih berorientasi pada keberlanjutan dan inovasi. Adapun cara yang mungkin dapat dilakukan dengan beberapa hal berikut:
Pertama, organisasi harus mereposisi diri mereka bukan sekadar sebagai penerima bantuan, tetapi sebagai agen perubahan yang proaktif dan berdampak. Ini berarti mengadopsi pendekatan yang lebih strategis, di mana OMS tidak hanya berfokus pada penggalangan dana, tetapi juga menawarkan solusi konkret dan inovatif yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, OMS dapat membangun model bisnis sosial yang berkelanjutan, model yang tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan pendanaan, tetapi juga menciptakan nilai tambah nyata bagi berbagai pemangku kepentingan, mulai dari komunitas lokal, sektor swasta, hingga pemerintah. Pendekatan ini memperkuat posisi OMS sebagai mitra yang setara dan berdaya, bukan sekadar entitas yang bergantung pada kemurahan hati donor.
Kedua, membangun mentalitas kemandirian. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) harus memperkuat kapasitas internal mereka agar lebih mampu mengelola berbagai sumber daya, termasuk aspek pendanaan. Penguatan ini dapat dimulai dengan menanamkan budaya kewirausahaan dalam organisasi, sehingga inovasi dalam mencari dan mengelola pendanaan menjadi bagian dari nilai inti OMS.
Kewirausahaan di sini bukan sekadar soal mencari keuntungan, tetapi tentang bagaimana OMS bisa lebih inovatif dalam merancang dan menjalankan program yang berdampak sekaligus berkelanjutan secara finansial. Inovasi dalam mencari pendanaan lokal dan mengelola program harus menjadi bagian dari nilai inti mereka.
Namun, salah satu tantangan utama dalam proses ini adalah rendahnya literasi finansial di kalangan aktivis. Banyak pegiat OMS yang memiliki komitmen kuat terhadap aktivisme sosial, tetapi kurang memahami strategi keuangan yang dapat mendukung keberlanjutan organisasi. Oleh karena itu, meningkatkan pemahaman tentang manajemen keuangan, perencanaan bisnis sosial, dan diversifikasi pendapatan menjadi langkah krusial untuk memastikan OMS tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang secara mandiri.
Gagasan untuk menciptakan sumber dana sendiri melalui unit usaha juga masih menjadi topik perdebatan yang cukup hangat di kalangan OMS. Perdebatan ini muncul di dua tingkat, yaitu teknis dan ideologis. Di tingkat teknis, banyak OMS yang tidak memiliki pengalaman dalam mengelola usaha komersial. Mereka terbiasa dengan mekanisme pendanaan donor, yang lebih menekankan pada laporan keuangan berbasis proyek, bukan pada pengelolaan usaha yang berorientasi pada keuntungan. Keterbatasan dalam hal manajemen bisnis sosial, pemasaran, dan pengelolaan risiko menjadi tantangan yang nyata bagi OMS yang ingin mengeksplorasi model pendanaan ini.
Sementara itu, di tingkat ideologis, pertanyaan yang muncul adalah apakah keterlibatan dalam aktivitas usaha komersial sejalan dengan visi dan misi organisasi. Ada kekhawatiran bahwa fokus pada penghasilan dapat mengaburkan komitmen organisasi terhadap nilai-nilai sosial yang mereka perjuangkan. Beberapa pihak bahkan melihat langkah ini sebagai potensi komersialisasi gerakan sosial, yang dapat mengurangi integritas dan kepercayaan publik terhadap OMS.
Namun, jika dikelola dengan prinsip yang kuat, kewirausahaan tidak harus bertentangan dengan aktivisme. Sebaliknya, ia dapat menjadi pendorong kemandirian finansial yang memungkinkan OMS untuk tetap konsisten dengan misi sosial mereka tanpa terus-menerus bergantung pada pendanaan eksternal. Transparansi, akuntabilitas, dan komitmen terhadap nilai-nilai sosial harus tetap menjadi pilar utama dalam setiap aktivitas usaha yang dilakukan. Dengan pendekatan yang tepat, kewirausahaan dapat menjadi bagian integral dari strategi keberlanjutan OMS, memperkuat kapasitas mereka untuk memberikan dampak yang lebih besar kepada masyarakat.
Ketiga, mengubah Paradigma tentang Laba dalam OMS. Salah satu langkah penting dalam memperkuat kemandirian finansial OMS adalah menghapus pandangan keliru bahwa OMS tidak dapat atau tidak seharusnya menghasilkan laba. Dalam konteks bisnis konvensional, laba dipahami sebagai selisih lebih antara penghasilan dan pengeluaran yang kemudian didistribusikan kepada pemilik, pemegang saham, atau individu terkait. Model ini memang menjadi dasar operasional perusahaan komersial yang berorientasi pada keuntungan.
Dalam OMS, konsep laba perlu dipahami dalam konteks yang berbeda. Setiap pendapatan atau surplus yang dihasilkan oleh OMS bukan untuk keuntungan pribadi, melainkan sepenuhnya diinvestasikan kembali ke dalam program, kegiatan, dan operasional organisasi. Tujuan utamanya adalah mendukung misi sosial yang menjadi inti dari keberadaan OMS, bukan untuk memperkaya individu atau kelompok tertentu. Dengan kata lain, tidak terjadi akumulasi modal dan OMS dapat dan seharusnya menghasilkan pendapatan, asalkan seluruh hasil tersebut digunakan untuk memperluas dampak sosial dan memperkuat kapasitas organisasi serta dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Selain itu, hal
keempat yang juga penting adalah meningkatkan pemahaman OMS tentang cara membangun hubungan yang lebih simbiotik dengan sumber daya lokal. Pendekatan ini memungkinkan OMS untuk memanfaatkan potensi lokal secara optimal, baik dalam bentuk sumber daya manusia, jaringan sosial, maupun peluang ekonomi yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara OMS dan masyarakat lokal ini akan menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan, di mana organisasi tidak hanya menjadi pelaksana program, tetapi juga mitra strategis dalam pembangunan komunitas.
Perubahan mentalitas ini tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru. Ini adalah proses yang membutuhkan pemahaman mendalam, komitmen yang kuat, serta kesiapan untuk beradaptasi dengan kebutuhan dan dinamika sosial-ekonomi yang ada. Namun, dengan mentalitas yang lebih mandiri dan berorientasi pada keberlanjutan, OMS tidak hanya akan lebih tahan terhadap fluktuasi pendanaan donor, tetapi juga akan semakin kuat dalam menciptakan dampak sosial yang berkelanjutan dan untuk memastikan keberlanjutan peran OMS dalam mengawal demokrasi di Indonesia.
*Penulis adalah Peneliti di SHEEP Indonesia Institute & Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM