Berita

Anthony Budiawan/Net

Publika

Keuangan Negara dan Manajemen Fiskal Memprihatinkan

JUMAT, 21 JUNI 2019 | 14:53 WIB

BELUM lama ini beredar “rumor” kas negara kosong, dan terjadi keterlambatan restitusi pajak kepada wajib pajak. Apakah benar demikian? Bagaimana kondisi keuangan negara sebenarnya?
 
Kondisi keuangan negara dan fiskal (APBN) saat ini memang cukup memprihatinkan. Sampai dengan triwulan pertama 2019 (Q1-2019), penerimaan pajak jauh di bawah target APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2019. Penerimaan pajak dalam negeri (termasuk cukai) pada Q1-2019 hanya Rp 270,33 triliun. Sedangkan penerimaan pajak perdagangan internasional yang terdiri dari bea masuk dan bea keluar tercatat Rp 9,62 triliun saja. Sehingga, total penerimaan pajak dan bea dan cukai pada Q1-2019 menjadi Rp 279,95 triliun.

Hanya 15,67 persen dari target APBN 2019. Sangat rendah dan sungguh memprihatinkan.
 
Dengan kinerja seperti ini, rasio penerimaan pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) turun tajam. Rasio pajak (terhadap PDB) pada Q1-2019 hanya 7,4 persen saja. Rasio yang rendah ini sangat membebani ekonomi nasional. Defisit APBN akan membesar. Utang negara juga akan membesar. Oleh karena itu, kondisi keuangan negara yang terpuruk ini sulit diharapkan dapat memberi stimulus pembangunan ekonomi.
 
Rasio pajak 7,4 persen ini sangat memprihatinkan karena merupakan salah satu rasio pajak terendah secara triwulanan, dengan tren yang terus menurun.

Tahun 2008, rasio penerimaan pajak sempat mencapai 13,3 persen. Tahun 2014 rasio pajak turun menjadi 11,36 persen. Tahun 2017 rasio pajak turun lagi menjadi 9,89 persen, atau sudah di bawah 10 persen. Kenaikan harga minyak mentah dunia dan anjloknya kurs rupiah pada 2018 membuat rasio pajak 2018 meningkat sedikit menjadi 10,25 persen. Tetapi, pada Q1-2019 rasio pajak anjlok lagi menjadi hanya 7,40 persen saja. Perhitungannya, penerimaan pajak Rp 279,95 triliun dibagi PDB (nilai nominal) Rp 3.782,4 triliun, dikali 100 persen.
 
Kalau tidak ada perbaikan yang berarti untuk meningkatkan penerimaan pajak, bukan tidak mungkin terjadi krisis APBN dalam waktu dekat ini.
Artinya, defisit APBN akan mencapai 3 persen yang merupakan batas maksimum yang dibolehkan undang-undang, tetapi belanja negara dalam kondisi rendah, sehingga pemerintah tidak mempunyai daya untuk meningkatkan belanja dan ekonomi nasional.
 
Penerimaan negara yang rendah membuat pemerintah harus membatasi pengeluaran belanja negara. Sampai dengan Q1-2019, realisasi belanja negara mencapai 18,37 persen dari total anggaran belanja negara pada APBN 2019. Persentase realisasi belanja negara ini lebih tinggi dari realisasi penerimaan negara (yang hanya sekitar 15,67 persen).
 
Dalam nilai nominal belanja negara mencapai Rp 452,06 triliun, sehingga mengakibatkan defisit pada APBN Q1-2019 sebesar Rp 101,97 triliun.

Realisasi defisit pada Q1-2019 ini cukup besar, mencapai 34,45 persen dari target defisit 2019 yang sebesar Rp 296 triliun. Kalau dibandingkan PDB, defisit APBN Q1-2019 sudah mencapai 2,7 persen. Defisit ini jauh lebih besar dibandingkan target defisit 2019 yang sebesar 1,84 persen.

Oleh karena itu, pemerintah harus hati-hati. Kalau tren penerimaan dan belanja negara berjalan seperti ini, dipastikan defisit akan melebar mendekati 3 persen dari PDB.
 
Manajemen keuangan negara akhir-akhir ini juga sangat memprihatinkan. Kebijakan fiskal dan manajemen utang sekarang ini juga digunakan untuk intervensi kurs. Seyogyanya, utang negara hanya digunakan untuk membiayai defisit APBN. Tetapi, akhir-akhir ini, pemerintah dengan sengaja menarik utang yang jauh lebih besar dari realisasi defisit APBN.

Istilah dari Kementerian Keuangan adalah pre-funding untuk defisit periode mendatang. Artinya, penarikan utang di muka. Istilah awamnya, ijon. Ini dilakukan Kementerian Keuangan pada Desember 2018 dengan pre-funding sebesar 3 miliar dolar AS. Dan terjadi lagi pada Januari dan Februari 2019.

Defisit APBN Januari 2019 hanya Rp 45,77 triliun tetapi penarikan utang yang disebut pembiayaan anggaran mencapai Rp 122,53 triliun. Dan defisit APBN sampai dengan Februari 2019 hanya Rp 54,61 triliun tetapi penarikan utang mencapai Rp 197,56 triliun. Luar biasa besarnya penarikan utang di muka tersebut. Sepertinya, tujuan utama penarikan utang lebih awal ini digunakan untuk intervensi kurs rupiah, menjaga kurs rupiah agar tidak terdepresiasi. Jadi, penguatan kurs rupiah akhir-akhir ini dapat dikatakan artificial, atau tidak riil. Bukan karena kekuatan fundamental ekonomi.
 
Manajemen keuangan negara seperti ini tidak gratis. Ada biayanya, bahkan cukup besar. Beban bunga pinjaman pemerintah akan meningkat. Untuk Q1-2019 beban bunga pada APBN mencapai Rp 70,58 triliun, atau 25,21 persen dari total penerimaan pajak dan bea dan cukai. Beban bunga ini tentunya sangat tinggi. Dan dapat menjadi faktor pemicu krisis APBN.

Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Populer

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Ketua Alumni Akpol 91 Lepas Purna Bhakti 13 Anggota

Minggu, 05 Mei 2024 | 17:52

Pj Gubernur Jabar Ingin Persiapan Penyelenggaraan Ibadah Haji Sempurna

Kamis, 02 Mei 2024 | 03:58

Kantongi Sertifikasi NBTC, Poco F6 Segera Diluncurkan

Sabtu, 04 Mei 2024 | 08:24

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

Daftar Bakal Calon Gubernur, Barry Simorangkir Bicara Smart City dan Kesehatan Untuk Sumut

Selasa, 07 Mei 2024 | 22:04

Acara Lulus-Lulusan Pakai Atribut Bintang Kejora, Polisi Turun ke SMUN 2 Dogiyai

Selasa, 07 Mei 2024 | 21:57

Konflik Kepentingan, Klub Presiden Sulit Diwujudkan

Selasa, 07 Mei 2024 | 21:41

Lantamal VI Kirim Bantuan Kemanusiaan Untuk Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Selasa, 07 Mei 2024 | 21:33

Ketua MPR: Ditjen Bea Cukai, Perbaiki Kinerja dan Minimalkan Celah Pelanggaran!

Selasa, 07 Mei 2024 | 21:33

Anies: Yang Tidak Mendapatkan Amanah Berada di Luar Kabinet, Pakem Saya

Selasa, 07 Mei 2024 | 21:25

Ide Presidential Club Karena Prabowo Ingin Serap Pengalaman Presiden Terdahulu

Selasa, 07 Mei 2024 | 21:17

Ma’ruf Amin: Presidential Club Ide Bagus

Selasa, 07 Mei 2024 | 21:09

Matangkan Persiapan Pilkada, Golkar Gelar Rakor Bacakada se-Sumut

Selasa, 07 Mei 2024 | 21:04

Dua Kapal Patroli Baru Buatan Dalam Negeri Perkuat TNI AL, Ini Spesifikasinya

Selasa, 07 Mei 2024 | 21:00

Selengkapnya