BANYAK orang yang menganggap Iran dan Turki, merupakan bagian dari dunia Arab.
Meskipun memiliki kesamaan dalam hal agama, dimana mayoritas bangsa Iran maupun Turki sebagaimana juga mayoritas bangsa Arab adalah beragama Islam. Akan tetapi baik Iran maupun Turki bukanlah Arab.
Iran yang dulunya disebut Persia maupun Turki memiliki budaya maupun bahasa sendiri, dan bukan budaya maupun bahasa Arab, meskipun Arab memiliki pengaruh kuat dan mewarnai baik bahasa maupun budayanya karena faktor agama Islam.
Meskipun sampai kini baik Iran maupun Turki baik dari sisi politik maupun budaya, memiliki pengaruh kuat di negara-negara yang berada di kawasan Asia Tengah, akan tetapi bangsa Arab yang terpecah ke dalam 22 negara memiliki ikatan yang jauh lebih kuat.
Perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam, apakah faktor bahasa, budaya, atau kesejarahan yang menjadi penyebabnya, atau mungkin juga ada faktor lain.
Yang menarik untuk dikaji adalah kuatnya ikatan bangsa Arab justru membuat persaingan dan perpecahan yang tidak berkesudahan. Sejumlah ilmuwan menyebut basis kesukuan atau kabilah yang menjadi perekat sosial bangsa ini yang menjadi penyebabnya.
Akan tetapi ada juga yang berpendapat perbedaan faham keagamaan yang menjadi sumbernya, namun sejumlah ilmuwan kontemporer melihat masalah politik dan kekuasaan yang menjadi ujung-pangkalnya. Mungkin saja kombinasi dari ketiganya, atau ada faktor lain yang perlu terus dikaji.
Yang pasti persaingan dan percekcokan diantara negara-negara Arab telah membuatnya gagal dalam memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya yang sangat besar, khususnya yang terkait dengan minyak dan gas. Irak dan Libia sebagai contoh nyata, sebelumnya merupakan negara makmur, akan tetapi saat ini menjadi porak-poranda dan rakyatnya menjadi miskin. Saudi Arabia jika tidak berhati-hati, maka tidak lama lagi akan mengalami nasib serupa.
Dibanding dengan Iran dan Turki, secara keseluruhan negara-negara Arab tertinggal dalam masalah penguasaan sain dan teknologi. Akibatnya industri di negara-negara Arab praktis tidak berkembang. Bangsa Arab terperangkap menjadi bangsa konsumen.
Padahal di masa kejayaannya baik dibawah dinasti Umayyah maupun Abbasiyah, bangsa Arab sangat maju dalam sain dan teknologi, industrinya berkembang luar biasa sehingga mampu membangun peradaban modern, jauh meninggalkan Eropa saat itu.
Dengan percekcokan yang tidak berkesudahan, maka impor senjata dari berbagai negara menjadi sangat tinggi. Walaupun disadari masalah ini menguras devisa negara, akan tetapi mereka tidak punya pilihan, karena sampai saat ini bangsa Arab belum bisa membuat senjata sendiri, bahkan pelurupun masih harus diimpor. Melihat fakta seperti ini, sulit dibayangkan bangsa ini bisa menang dalam perang.
Iran maupun Turki berbeda, bukan saja industrinya berkembang, akan tetapi sudah cukup maju dalam kemampuannya memproduksi senjata. Turki maupun Iran telah berhasil membuat berbagai senjata mulai yang ringan sampai yang berat. Turki mampu membuat tank, kapal selam, dan drone dengan standar NATO. Sementara Iran cukup maju dalam masalah rudal dan teknologi nuklir.
Secara politik ketiga kelompok negara ini memiliki hubungan yang kompleks. Negara-negara Arab anti demokrasi dipimpin oleh Saudi Arabia yang didukung oleh Mesir, UEA, dan Bahrain. Sementara negara-negara Arab pro-demokrasi seperti Palestina, Tunisia, dan Qatar, didukung oleh Turki. Negara-negara Arab anti Israel seperti Suriah, Lebanon, dan Irak mendapat dukungan dari Iran. Dalam konflik Saudi Arabia dengan Iran, Turki mendukung Iran.
Karena itu saat Saudi Arabia menjadi tuan rumah KTT Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang berlangsung Jum'at s/d Sabtu (31 Mei - 1 Juni, 2019) di Makkah, baik delegasi Iran maupun Turki yang hadir tidak dipimpin oleh kepala negaranya. Dan deklarasi Makkah yang dihasilkannya, hanya dalam masalah Palestina mereka bersepakat.
Padahal tuan rumah sangat menginginkan dukungan dalam upayanya memojokkan Iran. Semoga negara-negara Arab bisa introspeksi diri dan segera menyadari kekeliruannya selama ini.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.