PRESIDEN Omar Basyir akhirnya dipaksa lengser setelah berkuasa di Sudan selama 30 tahun. Kini mantan Presiden berusia 75 tahun yang meraih kekuasaan melalui kudeta pada tahun 1989 itu, dikabarkan berada dalam pengawasan tentara.
Perjuangan rakyat melawan pemerintah berlangsung sejak 19 Desember tahun lalu, ditandai oleh gelombang protes yang dimulai dari kota Atbara, akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga roti. Gelombang perlawanan rakyat ini berkembang dan berubah dengan cepat menjadi gerakkan yang menuntut demokratisasi yang berujung pada tuntutan ganti Presiden.
Kondisi ekonomi Sudan menurun drastis setelah Sudan Selatan melepas kan diri dan menjadi negara merdeka. Padahal wilayah kaya minyak di Selatan ini, menyumbangkan dua pertiga pendapatan pemerintah pusat di Khartoum yang berasal dari minyak. Sementara Darfur terus bergejolak menuntut pemisahan diri sebagaimana yang dilakukan Sudan Selatan.
Bentrokan antara demonstran dengan aparat tak terhindarkan, menyebar ke banyak kota, terutama di ibukota Khartum. Dikabarkan paling tidak rakyat yang meninggal 22 orang dan 150 lebih luka-luka. Sementara sejumlah aparat juga dikabarkan gugur saat menjalankan tugas.
Menteri Pertahanan Jenderal Ahmed Awad Ibnu Auf kemudian bergerak, dan memaksa sang Presiden turun tahta, setelah dalam seminggu terakhir kantornya dikepung ribuan demonstran.
Melalui TV juru bicara militer mengumumkan negara dalam keadaan darurat, karena itu diberlakukannya jam malam selama satu bulan, kemudian Militer akan mengendalikan pemerintahan sementara sekurangnya selama dua tahun sampai diadakannya pemilu.
Merespon pengumuman ini rakyat yang didukung kelompok oposisi memprotesnya, sembari menuduh militer telah melakukan kudeta. Mereka tentu saja khawatir, pengalaman mantan Presiden Omar Bashir yang baru saja lengser, yang juga mendapatkan kekuasaan melalui kudeta akan berulang kembali. Kini rakyat bertekad melanjutkan perjuangannya, sampai terbentuknya pemerintahan transisi yang dipimpin oleh kekuatan sipil prodemokrasi.
Dibanding Aljazair dimana militer menjaga jarak diantara berbagai kelompok kekuatan politik yang bersaing dalam memperebutkan kekuasaan. Di Sudan militer mengambil peran utama, kemudian mengambil kendali kekuasaan itu sendiri, sembari menempatkan rakyat tetap dalam posisi pinggiran. Dengan kata lain, kekuasaan di Sudan beralih dari satu kekuatan militer ke militer lain.
Sejarah Sudan modern dimulai ketika ia memisahkan diri dari Mesir pada tahun 1956. Artinya hanya 3 tahun setelah Mesir berubah dari kerajaan menjadi republik pada tahun 1953 sekaligus melepaskan diri dari penjajah Inggris. Saat Mesir masih berbentuk kerajaan, Sudan yang berada di hulu sungai Nil ini menjadi bagian dari Mesir.
Nama resminya ketika negara baru ini diproklamirkan adalah Republic of Sudan. Pergolakan politik yang tiada henti di salah satu negara Arab miskin di benua Afrika ini mendorong militer mengambil-alih kekuasaan. Lancarnya pengambialihan kekuasaan dari Perdana Mentri Sadiq Al Mahdi ke tangan militer yang dipimpin Brigader Jenderal Basyir saat itu, tidak bisa dipisahkan dari dukungan yang diberikan oleh tokoh Islam karismatik pendukung Ikhwanul Muslimin bernama Hasan Turabi. Omar Basyir kemudian didaulat menjadi presiden ke-7, yang terus terpilih kembali melalui pemilu yang dikontrol oleh Pemerintah.
Hasan Turabi yang memimpin Popular Congress Party kemudian terpilih sebagai Ketua Parlemen sampai tahun 1999. Ia kemudian meninggalkan Omar Bashir karena kecewa dengan kepemimpinan militeristik yang otoriter yang dikembangnya. Hasan Turabi kemudian menjadi oposisi utama dan melakukan perlawanan terus-menerus menuntut demokratisasi. Akibatnya ia berulangkali harus keluar-masuk penjara sampai akhir hayatnya.
Kini rakyat Sudan memiliki peluang untuk mengimplementasikan demokrasi kembali walau tidak mudah, mengingat sejarah panjang militer mengendalikan kekuasaan. Apalagi Mesir yang menjadi negara tetangganya di Utara, sekaligus bekas induknya, saat ini bersama Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab menjadi kekuatan regional yang berusaha memadamkan gerakan prodemokrasi di semenanjung Arabia sejak Musim Semi Arab melanda wilayah Timur Tengah.
Melihat kondisi seperti ini, maka ketidak pastian masa depan Sudan sungguh sangat tinggi. Diperkirakan eskalasi politik tidak akan mereda, bahkan bisa jadi akan meningkat. Semoga proses demokratisasi di Sudan tidak menuntut tambahan korban anak bangsanya sendiri. Walau kita tidak bisa berbuat apa-apa, akan tetapi doa tetap diperlukan.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.