SETELAH berhasil menyingkirkan Presiden Abdelaziz Bouteflika, kini rakyat Aljazair mengalihkan perjuangannya pada kroni-kroni Bouteflika yang berusaha terus bertahan.
Kini tiga loyalis Bouteflika menduduki posisi-posisi sangat menentukan: Abdelkader Bensalah sebagai Ketua Parlemen, lalu Tayeb Belair sebagai Ketua Dewan Konstitusi, serta Noureddine Bedoui sebagai Perdana Mentri.
Selain rakyat bersatu menuntut sang Presiden yang sudah berkuasa 20 tahun dengan cara turun ke jalan, mundurnya Bouteflika tidak bisa dilepaskan dari peran dan sikap tegas Tentara yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Ahmed Gaid Salah.
Karena itu, secara sederhana dapat dikatakan bahwa kini masa depan Aljazair ditentukan oleh tiga pemain kunci.
Rakyat yang tentunya akan diwakili oleh tokoh-tokoh oposisi, penguasa lama yang masih duduk di pemerintahan, dan kelompok militer yang mengambil posisi di tengah antara rakyat dan pemerintah.
Dalam situasi seperti ini tentu tidak mudah merajut masa depan negara. Mengingat semua kelompok tentu memiliki kepentingan, jika keliru dalam menanganinya, maka akibatnya akan fatal.
Secara teoritis apa yang dialami Aljazair saat ini disebut proses demokratisasi. Merujuk pada teori yang paling banyak dirujuk oleh ilmuwan politik saat ini, sebagaimana dikemukakan oleh Juan J. Linz dan Alfred Stepan, bahwa proses demokratisasi selalu melalui dua tahap, yakni tahap "transisi", kemudian diikuti oleh tahap "konsolidasi".
Merujuk pada landasan teori di atas, saat ini Aljazair masih berada pada tahap "transisi". Ada sejumlah pilihan yang menantinya, dimana setiap pilihan tentu akan diikuti oleh konsekwensinya.
Pertama, rakyat terus berjuang untuk menyingkirkan kroni penguasa lama. Jika berhasil tentu akan sangat ideal, karena proses "konsolidasi" akan berjalan lebih lancar. Akan tetapi resikonya sangat besar, karena mereka yang kini sedang berada dalam kekuasaan akan terus bertahan dengan menggunakan seluruh sumberdaya yang dimilikinya, termasuk dengan melibatkan kekuatan asing.
Sebagaimana yang dialami Suriah, terjadi perang sipil yang berkepanjangan yang mengakibatkan kematian dan gelombang pengungsian rakyat meninggalkan negrinya sendiri. Pilihan inilah yang diambil kelompok prodemokrasi pada proses demokratisasi di Aljazair sebelumnya.
Kedua, jika pilihan di atas diambil, masih menyisakan pertanyaan: Dimana posisi militer akan diletakkan dan bagimana memberikan peran baru yang bermartabat. Jika tentara merasa tidak terakomodasi secara proporsional, maka ia akan berbicara dengan senjata yang ada di tangannya, sebagaimana dialami Libia dan Yaman yang selama bertahun-tahun sulit menemukan jalan keluar.
Ketiga, dilakukan negosiasi dan kompromi diantara semua kekuatan politik yang ada, sebagaimana dilakukan Tunisia dan Indonesia. Dengan pilihan ini, proses "transisi" menjadi lancar. Akan tetapi, proses selanjutnya dalam tahapan "konsolidasi" tidak mudah.
Perlu perjuangan terus-menerus untuk membangun institusi-institusi demokrasi dan budaya demokrasi dalam waktu bersamaan. Membangun institusi demokrasi ternyata jauh lebih mudah dibanding membangun budaya demokrasi, sebagaimana dialami Indonesia. Persoalannya terletak pada pemain lama yang sulit berubah, kemudian terus mengganggu agenda reformasi dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimilikinya.
Walaupun semua pilihan tampak sulit, tampaknya pilihan terakhir yang paling rasional, mengingat peluang suksesnya paling besar, dan resikonya paling kecil.
Apalagi Aljazair pernah mengalami kegagalan dalam proses demokratisasi sebelumnya. Kesalahannya terletak pada keinginan kelompok prodemokrasi untuk mengambil kekuasaan tanpa kompromi, dan tanpa kesediaan untuk berbagi.
Akibatnya sikap di atas, tentara dan penguasa lama kemudian bersatu, kemudian menjadikan kelompok reformis sebagai
common enemy atau musuh bersama.
Kesalahan yang dilakukan kelompok prodemokrasi di Aljazair ternyata diulangi oleh rekannya di Mesir. Akibatnya, tentara yang didukung kekuatan lama kemudian mengambilalih kekuasaan. Akibat lebih jauh, kelompok reformis kemudian dijadikan musuh negara.
Kini Aljazair mendapatkan kembali peluang untuk melakukan demokratisasi pada Arab Spring gelombang kedua. Kelompok prodemokrasi harus mengingat dan belajar dari pengalaman kegagalan sebelumnya.
Kuncinya terletak pada kemauan dan kemampuan semua pihak untuk bernegosiasi dan kompromi dengan semangat kemauan untuk berbagi.
Pengamat Politik Islam dan Demokrasi