Berita

Foto: Net

Publika

Deep State Dan Kegagalan Transformasi

SENIN, 08 APRIL 2019 | 09:47 WIB

PERAN kelompok militer penting dalam percaturan politik, khususnya menyoal kawasan Asia.

Buku hasil pemikiran Salim Haji Said berjudul “Ini Bukan Kudeta” setebal 160 halaman.

Berdasarkan pengalaman Indonesia, Thailand, Mesir dan Korea Selatan mencoba mengelaborasi keterlibatan militer dalam dunia politik praktis diperbandingkan.


Pada berbagai pengalaman kesejarahan tersebut, maka militer masuk ke kancah politik, terutama ketika terjadi fragmentasi politik elemen sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Institusi ketentaraan, dengan otoritas berbagai kesatuan di dalamnya yang berada dalam rentang struktur hirarkis chain of commands, sesungguhnya adalah entitas sosial tersendiri.

Pertarungan pengaruh dalam memperebutkan kekuasaan politik, antar kelompok sosial disuatu negara, dengan situasi yang meruncing, memiliki tendensi untuk menarik posisi militer secara aktif ke dalam kancah perpolitikan.

Posisi istimewa kekuatan angkatan bersenjata ini, tentu terkait dengan otoritas pada penguasaan alat represif yang disandangnya.

Kuasa kekuatan tersebut, membuat militer menjadi pihak yang diperebutkan diantara kubu politik yang berseteru.

Legitimasi dari dukungan militer atas suatu kelompok politik, seolah menciptakan situasi keabsahan kekuasaan. Situasi sedemikian setidaknya terjadi pada periode kisruh politik domestik Orde Lama ke Orde Baru.

Pertentangan antarkelompok politik, kubu komunis, nasionalis dan Islam mengalami ketegangan yang memuncak, pada situasi sedemikian maka militer didekati oleh berbagai kepentingan politik guna memberikan arah sikap dan dukungan.

Peran tentara berubah secara perlahan pasca kemerdekaan, dari tentara pejuang menuju tentara profesional.

Dengan begitu, terdapat peluang untuk mulai memikirkan konstruksi kenegaraan. Momentum 1965, mengubah konstelasi politik, termasuk perimbangan dalam tubuh ketentaraan nasional. Angkatan Darat, menstabilisasi komposisi nasionalis dalam diri organisasi ketentaraan, setelah partisan partai komunis menyusup pada para petinggi militer saat itu.

Bersamaan dengan itu, tentara memainkan peran sentral dalam mengatasi kekacauan situasi, sekaligus mengambil peran komando.

Pada gilirannya, Orde Baru tumbang melalui Reformasi, konsepsi Dwi Fungsi direposisi, kembali kepada tugas pokok ketentaraan, dipisah dari garis politik.

Reformasi ditandai dengan upaya menegakkan supremasi sipil. Hal itu berjalan hingga hari ini, meski pada beberapa kesempatan, terdapat upaya untuk kembali menggoda tentara berpolitik.

Dominasi Militer di Mesir dan Thailand


Apa yang kemudian menarik dilihat dari pengalaman Mesir dan Thailand sebagai perbandingan? Tidak lain karena peran militer di kedua negara tersebut begitu dominan.

Mereka, menurut Salim dikategorikan sebagai deep state, oligarki kekuasaan yang mengatur sekaligus mengontrol jalannya kehidupan kenegaraan, dengan jalur pemerintahan.

Mesir, yang sempat diterpa Arabian Spring, akhirnya melengserkan Hosni Mubarak, sempat diganti Presiden Morsi yang terafiliasi organisasi Ikhwanul Muslimin tetapi tidak berlangsung lama. Kini kembali diperintah Jenderal Al Sisi. Situasi ini terjadi sebagai bentuk ambigu kekuatan sosial politik lokal, menghadapi perubahan kondisi yang begitu cepat.

Kemarahan publik atas buruknya kondisi sosial ekonomi, berujung pada penggulingan Mubarak, kelompok oposisi bersatu di bawah komando Ikhwanul Muslimin. Kekosongan kursi kekuasaan, menghadirkan realitas baru.

Kegagalan transformasi dan rusaknya relasi di dalam kubu oposisi. Kondisi tersebut, meneguhkan konflik serta terfragmentasinya elemen sosial perubahan. Hingga kemudian, kembali terjadi pelemahan kekuatan massa, serta dimanfaatkan sebagai momentum kembalinya militer ke tampuk kekuasaan, menghadapi situasi chaos.

Bagaimana dengan Thailand? Negeri monarki dengan bentuk Kerajaan dan simbol Raja tersebut, sejatinya telah berada dalam formasi Deep State dengan sutradara pihak militer.

Pemerintahan terpilih Thaksin yang populer di kalangan publik, berhadapan dengan kepentingan oligarki kekuasaan lama. Monarki parlementer dengan keistimewaan pada peran aktif tentara. Hingga kemudian situasi chaotik terjadi, dan titah Raja diberikan untuk merekonsiliasi situasi.

Pada akhirnya, kolaborasi monarki dan militer saling menjaga posisinya, terjadi simbiosis mutualisme.

Kekuatan reformis, yang dibangun dari arus bawah, terbendung oleh bangunan tembok birokratik, diantara kekuatan tentara dan monarki. Maka, pergolakan sosial yang terjadi di Thailand lebih merepresentasikan peta politik dalam tubuh militer itu sendiri, terpisah dari realitas publik. Terjadi kekosongan balancing power otentik milik publik.

Keberhasilan Korea Selatan

Kisah berbeda terjadi di Korea Selatan. Transformasi ranah dan wilayah otoritatif tentara terjadi seiring dengan perubahan ekonomi sosial di negeri gingseng.

Keberhasilan pembangunan, peningkatan kapasitas ekonomi menempatkan publik berada dalam situasi yang stabil. Situasi ini, kemudian membuat tentara sebagai sebuah entitas sosial politik, memandang penting pengelolaan negara secara profesional.

Militer memahami batas kewenangan yang dimilikinya hanya terkait dengan teritori keamanan negara dari ancaman eksternal.

Salah satu faktor penting yang terbaca dari peningkatan profesionalisme militer di Korea Selatan untuk tunduk pada supremasi sipil, dapat ditelusur pula pada aspek ketegangan wilayah dengan Korea Utara. Sehingga, secara keseluruhan, situasi di Korea Selatan memungkinkan terjadinya upaya transformasi militer untuk keluar dari kepentingan politik praktis pertarungan kekuasaan.

Jadi, apakah peran militer dalam dunia politik dan tindakan pengambilan kekuasaan dimaknai sebagai kudeta? Hal itu tentu sangat bergantung pada konten dan konteks yang terjadi, sesuai dengan kondisi serta situasi dimana lokalitas itu berada.

Syahwat kekuasaan bisa menggoda siapa saja, termasuk militer, maka syarat terpenting bagi upaya menjamin profesionalitas tentara, sekaligus supremasi sipil hanya dapat dilakukan dalam situasi pasifis, menghindari kekacauan yang seringkali disebabkan pertengkaran politik kelompok sosial dalam masyarakat.

Fragmentasi sosial politik yang meruncing, adalah celah bagi terciptanya potensi keterlibatan tentara dalam urusan perpolitikan secara tidak terhindarkan!


Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

Makin Botak, Pertanda Hidup Jokowi Tidak Tenang

Selasa, 16 Desember 2025 | 03:15

UPDATE

Bawaslu Usul Hapus Kampanye di Media Elektronik

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:26

Huntap Warga Korban Bencana Sumatera Mulai Dibangun Hari Ini

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:25

OTT Jaksa Jadi Prestasi Sekaligus Ujian bagi KPK

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:11

Trauma Healing Kunci Pemulihan Mental Korban Bencana di Sumatera

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:42

Lula dan Milei Saling Serang soal Venezuela di KTT Mercosur

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:35

Langkah Muhammadiyah Salurkan Bantuan Kemanusiaan Luar Negeri Layak Ditiru

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:24

Jadi Tersangka KPK, Harta Bupati Bekasi Naik Rp68 Miliar selama 6 Tahun

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:56

Netanyahu-Trump Diisukan Bahas Rencana Serangan Baru ke Fasilitas Rudal Balistik Iran

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:32

Status Bencana dan Kritik yang Kehilangan Arah

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:55

Cak Imin Serukan Istiqomah Ala Mbah Bisri di Tengah Kisruh PBNU

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:28

Selengkapnya