Berita

Syahganda Nainggolan/Net

Publika

Pribumi: Catatan Untuk Kongres Boemipoetra

JUMAT, 29 MARET 2019 | 04:58 WIB | OLEH: SYAHGANDA NAINGGOLAN

HARI ini , Kamis 28 April, sd 30 Maret, Kongres Boemipoetera Nusantara digelar di Jakarta Pusat. Saya yang diminta Dr. M.D Laode dan Hatta Taliwang memimpin sidang baru bisa bergabung dihari terkahir. Hari ini lelah sehabis kasih pelatihan PNS Pemda DKI di Puncak. Macet.

Tadi saya mampir ke restoran Padang di Bogor. Ketemu teman alumni SMA 1 Bogor. Mau tahu situasi pilpres di sana. Dia aktif di masyarakat Bogor Timur.

Ketika pelayan restoran mengambil piring-piring setelah menaksir pembayaran makanan, saya mencolek pelayan tersebut.


"Kang, apa akang mau dukung caleg Demokrat?" tanya saya.
Pertanyaan ini untuk merespon kegalauan teman saya tadi bahwa ada 3 caleg DPRD yang datang ke rumahnya, dari Golkar, Gerindra, dan Demokrat.
Teknik spontan dalam teori survei itu penting untuk yang ditanya melakukan respon cepat, sehingga jawaban dia masih murni.

Pelayan yang sekitar usia 45 tahun ini menjawab, "saya mah belum ada pilihan sampe sekarang. Tapi, periode dulu milih Demokrat," tuturnya.
"Oh, ok. Kira-kira Pilpres dukung Jokowi atau Prabowo?" tanya saya lagi. "Saya juga belum tahu. Masih memikirkan. Belum ada yang sreg di hati," katanya. Ok deh, trims ya kang, kamu netral.
Kawan saya menimpali, "harusnya kamu teh orang Padang umumnya milih Prabowo kan?" Pelayan mengatakan saya mah orang Sunda.

"Wah, sama atuh dengan saya. Harusnya sudah ada pilihan,"kata sang teman.

Si pelayan menatap ke saya, "bapak mau pilih siapa?" saya ini timses Prabowo kang, jawabku.

Ketika saya ke kasir membayar, pelayan itu mendekati saya, "pak, maaf ya pak, kalau bapak dekat dengan Prabowo, tolong ya pak, titipkan agar orang-orang Pribumi jangan dikuasai orang-orang China", katanya. Itu bos saya yang sedang duduk orang China, sekarang yang punya restoran Padang ini mereka pak.

Saya berjanji menyampaikan pesan pelayan itu ke Prabowo, atau minimal ke Sandiaga. Namun, kegelisahan pelayan tadi membuat saya belum bisa tidur, meski sangat lelah.
Ada 3 pertanyaan dibenak saya yang terus mengganggu: 1 Apakah pernyataan pelayan tadi sebuah gejala atau fakta sosial yang absah? 2) Apakah keabsahan sebuah pernyataan seperti yang sebutkan Anies Baswedan dalam pidatonya tahun lalu dapat diskusikan? Bukan langsung dilaporkan pembenci pribumi ke polisi? 3) Bagaimana nasib reclaim isu pribumi diberbagai dunia saat ini? Apakah Kongres Boemipoetera Nusantara yang sedang berlangsung si Jakarta mengamati isu tersebut?
Pribumi dan Politik

Dalam sebuah respon percakapan di group WA, ketika seseorang menyindir saya atau tim Prabowo, yang selalu menggoreng isu "Asing dan Aseng",  saya mereponnya sbb.: " isu anti asing dan asing itu konteksnya kedaulatan. Bukan seperti di New Zealand dan Uighur, China."

Di New Zaeland kebencian sekelompok kaum rasist, atas nama pertarungan sejarah peradaban Islam vs Kristen, telah membunuh puluhan ummat Islam pendatang ketika Sholat Jumat (Semoga Allah memeberi tempt mereka di surga). Di Uighurs China juga ummat Islam atau China Uighurs yang bukan bangsa Han, selalu menjadi korban pembunuhan dan penyiksaan. Ini adalah rasist.

Lalu bagaimana melihat isu ini bukan rasist atau bertendensi rasist?

Melihat isu pribumi bukan sebagai rasist adalah meletakkan masalah pribumi dalam konteks historis, kontestasi yang terkendali dan sehat. Hal ini bisa dilihat lebih dalam jika kita telah menempuh dua hal, yakni 1) keabsahan teoritis tentang Pribumi diakui semua pihak. 2) Melihat manfaat kontestasi terkendali ini sebagai jalan keluar yang baik.

Dalam konteks historis, perjuangan pribumi atau bumiputra sebagai tuan rumah di negeri sendiri adalah nyata. Ong Hok Kam, sejarawan, misalnya, menggambarkan pengamatannya ketika kecil, keluarga mereka sengaja tidak melibatkan diri dalam perlawanan rakyat terhadap penjajah Belanda, di masa lalu, karena mereka tidak merasa terlibat dalam isu kemerdekaan pribumi.

Soekarno dan menterinya Soemitro Djojohadikusumo, misalnya, secara jelas melakukan Politik Benteng, di mana dimaksudkan agar tumbuh pengusaha-pengusaha pribumi di tanah air. Aburizal Bakri pernah juga menceritakan kepada saya bahwa Jokowi pernah membahas isu penumbuhan pengusaha-pengusaha pribumi, namun gagal berkembang.

Jadi keabsahan historis tercatat dengan baik, sehingga kita bisa tidak melihatnya sebagai isu rasis.

Selanjutnya, soal kontestasi masyarakat, khsususnya Pribumi vs non Pribumi, dalam dunia usaha, selain masa politk Benteng, di masa Suharto berkuasa, rezim penguasa mendorong berkembangnya pengusaha-pengusaha pribumi dalam wadah HIPPI (Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia). Beberapa tokohnya antara lain alm. Probosutejo dan Dewi Motik.

Kembali soal keabsahan teoritis soal pribumi, saya sudah berkali-kali menulis tentang hal ini. Secara teoritis soal ada tidaknya Pribumi ini dapat dilihat dalam dua perspektif teoritis. Pertama, kelompok modernist, melihat bahwa sebuah bangsa itu tidak nyata. Itu hanyalah fenomena yang nenurut Ben Anderson sebagai "imagined nations".

Sebaliknya ahli tentang Nationalism, Anthony D. Smith, misalnya mengatakan bahwa akar histori sebuah bangsa itu nyata. Itu berinti pada etnik.

Pikiran kedua ini, yang melihat etnik-etnik yang ada di Indonesia nyata dan Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai hal nyata, sesuai dengan kerangka teori Smith di atas.

Pertanyaannya adalah apakah manfaat isu pribumi ini bagi kemashalatan bangsa?

Sebuah ukuran manfaat tentunya sulit diciptakan jika kita melihat pada dua hal, pertama, di manakah isu ini kemudian menjadikan keseimbangan sosial dan kerukunan lebih baik? Kedua, apakah isu ini mengandung bahaya yang tinggi dalam pendekatan proses?

Pertanyaan pertama, jika kita melihat kasus yang terjadi di Malaysia dan di berbagai negara2 Amerika Latin, memang terdapat keseimbangan baru dalam kesejahteraan pribumi vs. non pribumi. Persoalan kedua tentang bahaya dalam proses mencoba, seperti kasus Malaysia tadi, memang belum pernah dicobal lagi, setelah Soekarno sesekalinya melakukan dulu.

Pribumi vs. Kerukunan

Dilaporkannya Anies Baswedan ke polisi karena berpidato menyebut pribumi adalah sebuah situasi ekstrim keterjajahan kita. Bagaimana kita menyebutkan kata kata pribumi dilarang? Bahkan jika Habibie pun membuat peraturan presiden larangan penyebutan pribumi, justru kewarganegaran Habibie atau nasionalitas dia yang harus diselidiki ulang?

Sebaliknya, mengembangkan dan jika apalagi mempropagandakan isu pribumi, sejauh apa kesiapan masyarakat menerima diskursus pribumi ini tanpa kebencian.

Sejarah kebencian terkait isu pribumi ini bagaimanapun sebuah fakta yang terjadi di Jerman (pembunuhan 2 juta Jahudi), pembunuhan orang-orang arab oleh Israel di Jerusalem, pembunuhan etnis Uighurs di RRC, kebangkitan rasisme di eropa barat yang dikendalikan sayap kanan, seperti Gerd Wilders di Belanda, terakhir pembunuhan di New Zealand.

Dalam risetnya, Professor Amy Chua, dalam bukunya World on Fire, mengungkapkan persoalan ketimpangan sosial diberbagai negara antar pribumi dan non pribumi semakin besar ketika demokrasi berlangsung. Hal ini membutuhkan jalan keluar, tentunya.

Penutup

Kongres Boemipoetra Nusantara yang digagas MS Kaban, MD Laode, Jend (p) Djoko Santoso, M. Hatta Taliwang, dll, merupan ikhtiar yang perlu diapresiasi. Kita harus melihatnya sebagai pekerjaan intelektual merumuskan sebuah realitas sosial yang ada.

Seandainya rumusan politik yang dihasilkan mempunyai kekuatan teoritis dan bermanfaat untuk dijalankan, tentu rumusan itu dapat didialogkan dengan berbagai kelompok-kelompok sosial yang mempunyai perspektif negatif dan netral dalam isu Pribumi ini.

Selamat berkongres.

Penulis adalah Direktur Sabang Merauke Circle

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya