GELOMBANG demokrasi yang melanda dunia Arab yang kemudian dikenal dengan istilah "Musim Semi Arab", dimulai dari Tunisa pada tahun 2011, diikuti oleh Mesir, Libia, Suriah, Yaman, serta sejumlah negara Arab lainnya walau dalam kadar yang lebih rendah.
Dari seluruh negara Arab yang dilanda Musim Semi ini, hanya Tunisia yang berhasil keluar dengan selamat. Sementara negara-negara Arab lain, ada yang kembali atau tetap dipimpin oleh rezim otoriter seperti Mesir dan Suriah, ada yang terperangkap dalam perang saudara berkepanjangan dan belum tampak kapan akan berakhir seperti Yaman dan Libia, dan ada pula yang pengaruhnya mampu diredam seperti yang dialami sejumlah negara Arab kaya di kawasan Teluk.
Sebenarnya Aljazair jauh lebih awal mendapat kesempatan melakukan demokratisasi, dengan cara melaksanakan Pemilu yang "Jurdil" pada tahun 1990. Pemilu ini melahirkan kemenangan Partai Islam FIS (Front Islamique du Salut). Kemenangan FIS tidak bisa diterima oleh penguasa lama dan militer. Kemudian dengan dukungan sejumlah negara Barat, keduanya menjadikan FIS yang dipimpin oleh Abbasi Madani seorang dokror lulusan Universitas London dan Ali Belhadj seorang guru agama, sebagai musuh negara dan membasminya dengan tangan besi.
Ada kesalahan yang dilakukan oleh para pemimpin FIS, yakni janji-janjinya untuk memgubah negara secara fundamental, baik melalui kampanye sebelum pemilu, maupun setelah dinyatakan menang pasca pemungutan suara. Pemilu ditempatkan sebagai legitimasi sekaligus mandat yang bersifat mutlak. Karena itulah, tidak ada upaya untuk mengakomodasi kekuatan politik lama maupun militer. Lebih dari itu, Islam sebagai ideologi FIS ditampilkan dengan wajah yang garang dan mengancam.
Kegagalan FIS mengambil-alih kekuasaan, atau keberhasilan kolaborasi penguasa lama dengan militer, walaupun mampu menegakkan ketertiban umum, akan tetapi ternyata telah menimbulkan luka dan trauma yang mendalam khusus para aktifis pro demokrasi, bukan hanya di Aljazair saja, akan tetapi di kawasan Timur Tengah secara keseluruhan. Hal yang serupa ternyata juga terjadi saat Ikhwanul Muslimin (IM) berhasil memenangkan pemilu demokratis di Mesir. Hanya saja, IM sempat memerintah walau hanya dalam waktu sangat singkat, yaitu sekitar satu tahun saja.
Tampaknya kini Aljazair memulai gelombang kedua Musim Semi Arab. Setelah Presiden Abdelaziz Bouteflika yang berkuasa sejak 1999 dan kini berusia 82 tahun serta dalam keadaan sakit serius, membatalkan pencalonannya kembali untuk masa jabatan yang ke-5. Berita ini tentu disambut gembira dan antusias warga Aljazair, khususnya para pemuda dan mahasiswa yang berdemonstrasi di sejumlah kota selama berhari-hari untuk menolak pencalonannya kembali Bouteflika.
Selain memberikan peluang tampilnya pemimpin baru, Bouteflika juga menunda Pemilu yang sedianya akan dilaksanakan pada 18 April mendatang, membentuk panitia independen melalui konferensi yang akan diselenggarakan secara demokratis. Panitia ini diharapkan akan mempersiapkan konstitusi baru yang akan digunakan sebagai landasan pelaksanaan pemilu, setelah mendapatkan persetujuan rakyat melalui referendum. Lahdar Brahimi seorang diplomat senior, mantan Menlu, dan pernah menjadi Utusan khusus PBB untuk sejumlah urusan Timur Tengah diharapkan akan memimpin panitia ini.
Apa yang dilakukan Bouteflika harus dipandang sebagai sebuah kearifan, sekaligus keseriusan untuk memgimplementasikan demokrasi di negrinya. Bagi kalangan oposisi dan kelompok Islam, semestinya melihat semua ini sebagai peluang emas untuk mengimplementasikan demokrasi melalui proses yang damai.
Yang perlu diingat, kemenangan dalam pemilu bukan berarti kemenangan mutlak, sehingga menjadikannya sebagai mandat untuk melakukan segalanya. Kompromi, negosiasi, dan akomodasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan demokrasi di negara modern.
Di sinilah sejatinya tantangan terbesar dunia Arab yang memiliki budaya keras dan hitam-putih, sehingga cenderung berfikir zero sum game dalam masalah kekuasaan. Lebih dari itu, sejarah panjang kekuasaan dalam dunia Arab didominasi dengan proses yang berlumuran darah.
Semoga bangsa Aljazair cepat belajar dari saudara-saudaranya serumpun dan tidak masuk dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Keberhasilan demokrasi di Aljazair, tentu akan membuka harapan berseminya kembali demokrasi di seluruh dunia Arab.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.