MARAKNYA pemberitaan terkait suku Uighur di Provinsi Xinjiang, baik di media-media resmi maupun di dunia maya, bahkan sampai memicu sejumlah komentar tokoh Islam, tokoh politik, pejabat negara, sampai demontrasi atau unjuk rasa di sejumlah tempat.
Saya sempat terpengaruh membaca berbagai bentuk penderitaan yang dialami salah satu suku minoritas yang mendiami provinsi terbesar yang terletak di Barat Laut daratan China ini. Selain terkait masalah HAM, cerita berbagai bentuk pembatasan dalam menunaikan ibadah tentu saja lebih mengganggu perasaan dan hati saudara seimannya. Akan tetapi bagi yang memahami peta politik global dengan dinamika persaingan yang menyertainya, ditambah berbagai penyalahgunaan kebebasan pers yang seringkali terjadi, termasuk berbagai hoaxes di dunia maya, membuat saya harus tetap waspada dan menahan diri.
Dalam situasi seperti ini, MUI bersama tokoh-tokoh Islam yang mewakili ormas-ormas yang cukup besar dan disegani seperti Muhammadiyah dan NU diundang untuk mengunjungi Xinjiang, kemudian melihat dari dekat, serta berdialog langsung baik dengan masyarakat maupun tokoh-tokohnya. Dalam rombongan juga disertai sejumlah wartawan yang kemudian memberikan laporan pandangan mata dari lapangan.
Dalam waktu berdekatan, RRT juga mengundang tokoh-tokoh politik dari seluruh dunia ke Urumqi yang menjadi ibukota provinsi Xinjiang. Hadir tidak kurang dari 600 orang yang mewakili sekitar 300 partai politik yang berasal dari 30 negara. Pada acara yang dikombinasikan antara kunjungan lapangan, dialog dengan tokoh Islam, testimoni wakil sejumlah negara, dan penjelasan resmi dari pemerintah RRT cukup melegakan sebagian besar peserta.
Paling tidak keterbukaan, dan upaya untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat internasional untuk melihat dari dekat dan menyaksikan sendiri kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan tentu saja keagamaan termasuk kebebasan dalam melaksanakan ibadah, layak untuk diapresiasi. Pembangunan fisik Kota Urumqi seperti bandara, dan convention hall, serta infra struktur jalan yang lebar dan bersih membuat para peserta berdecak kagum.
Lebih dari itu, para pemandu dan para pejabat yang menerima rombongan juga terbuka untuk menerima berbagai saran dan masukan. Hal ini menunjukkan kesediaan mereka untuk belajar, kemudian melakukan perbaikan secara berkala. Sebagaimana dinyatakan langsung saat dialog.
Meskipun demikian, tidak berarti semua masalah sudah terselesaikan. Meskipun pemerintah RRT sudah mengambil kebijakan politik yang tepat, yakni memberikan status otonomi pada wilayah ini, yang di dalamnya termasuk kebebasan melaksanakan ibadah, penghormatan terhadap suku atau etnis seperti penggunaan aksara Arab dan bahasa lokal Uighur, baik di sekolah maupun di publik. Akan tetapi, tampaknya masyarakat menginginkan lebih dari itu.
Masalah lain yang menjadi sumber masalah adalah kondisi ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Ada kesenjangan yang dalam antara wilayah-wilayah makmur di provinsi-provinsi yang terletak di pantai Timur dengan provinsi yang terletak di wilayah Barat dimana provinsi Xinjiang berada.
Selain kesenjangan wilayah, ternyata juga terjadi kesenjangan antar suku, dimana suku Han yang menjadi mayoritas menikmati kondisi yang jauh lebih baik. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah pusat mengambil kebijakan yang dikenal dengan
sister city dengan mengawinkan antara provinsi-provinsi di Timur yang maju dan makmur dengan provinsi-provinsi di Barat yang miskin dan tertinggal. Provinsi-provinsi di Timur harus mengalokasikan sekian persen PDB-nya untuk diberikan kepada provinsi di Barat.
Kebijakan ini menimbulkan masalah baru, karena pengiriman dana ternyata diikuti oleh para pekerja profesional dan terampil dari Timur yang berasal dari suku Han. Akibatnya terjadi perubahan demografi yang membuat suku Uighur di Provinsi Xinjiang tidak mayoritas lagi. Secara statistik, kini hanya berjumlah 45 persen dari jumlah penduduk Xinjiang secara keseluruhan. Hal ini tentu menimbulkan keresahan baru bagi masyarakat Uighur.
Menyikapi masalah ini, negara-negara Muslim dapat dibagi menjadi 3 kelompok. Pertama, mereka yang menganggap masalah Uighur adalah masalah dalam negeri pemerintah China. Dalam kelompok ini diantaranya Saudi Arabia, Iran, termasuk Indonesia. Kedua, yang menganggap Pemerintah China melakukan pelangaran HAM dan pembatasan kebebasan beribadah. Turki berada di jajaran paling depan dari kelompok ini. Posisi ini seirama dengan sikap negara-negara Barat, setidaknya ada 14 negara yang dipimpin oleh Canada yang berada dalam barisan ini. Hampir semua negara penting di Eropa seperti Inggris, Perancis, dan German ikut serta. Ketiga, kelompok yang tidak bersikap atau belum bersikap. Kelompok ketiga merupakan kelompok terbesar. Sebagian besar negara-negara Muslim berada dalam barisan ini.
Sikap Pemerintah RI mengambil posisi seperti di atas, tidak bisa dilepaskan dari adanya aspek politik yang mengindikasikan adanya semangat separatisme dalam masalah ini. Keterlibatan kelompok pro Negara Kurdistan Timur atau Republik Islam Turkistan Timur yang dideklarasikan tahun 1933 yang berbasis di Kota Kasghar, dalam sejumlah ledakan bom dan berbagai peristiwa berdarah lainnya.
Beban RI bertambah besar, mengingat Pemilu sudah dalam hitungan hari, tentu isu Muslim Uighur bisa dimanfaatkan sebagai bagian dari instrumen kampanye. Bila hal ini terjadi, maka konsekwensi jangka panjangnya, siapapun yang akan muncul sebagai pemenang, tentu akan mengganggu hubungan baik kedua negara.
Akan tetapi, tampaknya ormas-ormas Islam dan masyarakat Muslim pada umumnya, bila merujuk pada media-media Islam atau perbincangan di media sosial cendrung kritis sebagaimana disuarakan MUI. Karena itu, keterbukaan yang diberikan Pemerintah China dengan mengundang tokoh-tokoh Islam, pemerhati HAM, dan media masa harus dipandang sebagai sebuah proses dialog segi tiga antara masyarakat internasional dengan suku Uighur dan pemerintah China untuk mencari formula terbaik dalam menyelesaikan masalah ini.
Tentu antara Pemerintah RI dengan Pemerintah RRT juga terjadi komunikasi dalam masalah ini melalui berbagai saluran diplomasi yang ada, walau tidak banyak dipublikasikan. Kini saatnya, Pemerintah RI juga melakukan komunikasi dengan masyarakat Muslim melalui tokoh-tokoh ormas yang ada, agar muncul saling pengertian semua pihak terkait. Hal ini, bukan saja agar masalah ini tidak mengganggu kehidupan ekonomi, perdagangan, serta investasi, akan tetapi yang lebih penting lagi, agar masalah ini jangan sampai disalah gunakan oleh pihak-pihak khususnya kekuatan internasional yang suka mengail di air keruh.
***Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.