Berita

Ilustrasi/Net

Bisnis

AEER: Ekspor Investasi PLTU Jepang Dan China Persulit Indonesia

RABU, 06 FEBRUARI 2019 | 16:25 WIB | LAPORAN: RUSLAN TAMBAK

. Perusahaan Listrik Negara (PLN) bersama perusahaan swasta dalam dan luar negeri turut membangun dan memiliki sejumlah pembangkit listrik berbahan batubara. Perusahaan swasta dalam dan luar negeri itu bersama-sama memiliki (joint venture) PLTU dalam skema independent power producer (IPP).

Diantara perusahaan swasta luar negeri, joint venture dimana Jepang dan China terlibat telah menghasilkan kapasitas listrik yang tinggi setelah tanggal operasi komersial (commercial operation date/COD).

Dalam analisis yang dilakukan Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), sewindu terakhir (2011-2018), perusahaan-perusahaan asal dua negara tersebut telah mengomersialkan listrik berkapasitas 3.956 MW dari unit-unit pembangkit atau boiler.


Angka ini terdiri dari 2.805 MW listrik Jepang, sedangkan China sebesar 1151 MW. Sementara itu, dalam periode sama, PLTU beroperasi yang sepenuhnya dimiliki oleh PLN adalah 8.836 MW.

Selain yang telah beroperasi komersial (COD), joint venture dimana Jepang dan China terlibat sedang membangun PLTU di seantero nusantara. Kapasitas listrik dari PLTU joint venture tersebut akan meningkat lebih dua kali lipat. Bila tepat waktu hingga 2022, kapasitas listrik yang kelak dihasilkan dari IPP tersebut adalah 8,982 MW. Sebagaimana telah komersial sewindu terakhir, pada tahap kontruksi pun, kapasitas listrik joint venture Jepang lebih tinggi dibandingkan China, yakni masing-masing 4082 MW dan 4900 MW.

Jumlah tersebut hanyalah PLTU yang sedang tahap kontruksi, tidak memuat yang tertunda atau belum dikontruksi kendati sudah diumumkan. PLTU mulut tambang Riau-1, misalnya. PLTU Riau-1 dimiliki oleh China Huadian (60 persen) dan Black Gold (40 persen) dengan kapasitas 2 x 30 MW.

PLTU ini tidak dimasukkan dalam kalkulasi di atas. Kendati beberapa teknologi PLTU Batubara asal investasi dari China dan Jepang ini menggunakan teknologi Ultra Super Critical (USC), yang diklaim sebagai teknologi bersih, namun jumlah emisinya gas rumah kaca yang dihasilkan masih tinggi, yakni setidaknya sebanyak 195 kali emisi Republik Vanuatu, negara yang terancam oleh kenaikan permukaan laut karena perubahan iklim.

Survei terhadap para aktor energi di Indonesia yang dilakukan oleh PWC pada tahun 2018 melaporkan bahwa para pelaku investasi industri energi, termasuk energi fosil di Indonesia mengharapkan equity return di Indonesia sebesar 15 persen - 20 persen, angka ini lebih tinggi dibanding dengan dengan nesementara itu, tingkat equity return skala global hanyalah sebesar 10.6 persen, lebih rendah dibanding Indonesia. Sektor energi fosil batubara memang menjadi wahana investasi luar negeri yang jamak digeluti perusahaan-perusahaan atau pun lembaga keuangan dari kedua negeri ini.

Peneliti Energi Perkumpulan AEER, Jasman Simanjuntak menyebutkan, keterlibatan Jepang dan China dalam joint venture menggambarkan sektor energi, terutama pembangkit berbahan batubara, merupakan lahan basah untuk mengakumulasi modal. Berhasilnya upaya ini tentu tidak lepas dari pasokan dana dari sejumlah institusi keuangan publik serta swasta Jepang dan China.

China dan Jepang tercatat tercatat sebagai negara paling banyak mendanai pembangkit berbahan batubara (Global Coal Finance Tracker, Desember 2018). Perusahaan atau institusi keuangan dari kedua negara ini telah jauh terlibat dalam pengadaan pembangkit batubara di dunia, termasuk Indonesia.

Sebagai contoh, PLTU Jawa-7. Pembangkit ini berkapasitas 2 x 991 MW dan direncakan komersial pada 2020. Pembangkit ini dimiliki oleh Shenhua Group (70 persen) dan PT Pembangkitan Jawa-Bali (30 persen), anak usaha PLN. Tahun 2017, dana sebesar 1,8 miliar dolar AS dikucurkan oleh China Development Bank.

Jasman menambahkan, keterlibatan perusahaan asal Jepang dan China sebagai pemilik saham pembangkit listrik berbahan batubara turut menentukan lanskap energi Indonesia. Dalam sewindu terakhir, Jepang dan China telah mengomersialkan listrik berkapasitas hampir empat gigawatt. Hingga beberapa tahun ke depan, keterlibatan Jepang dan China pada sektor energi fosil batubara akan meningkat.

"Tetapi, dampak merusak yang menyertainya juga harus diperhitungkan. Kerusakan lingkungan, permasalahan kesehatan, hilangnya akses ekonomi masyarakat karena area penghidupannya terdampak buruk tidak dapat dihindari selagi PLTU tetap dibangun dan dioperasikan," tutupnya. [rus]

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Perbankan Nasional Didorong Lebih Sehat dan Tangguh di 2026

Senin, 22 Desember 2025 | 08:06

Paus Leo XIV Panggil Kardinal di Seluruh Dunia ke Vatikan

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00

Implementasi KHL dalam Perspektif Konstitusi: Sinergi Pekerja, Pengusaha, dan Negara

Senin, 22 Desember 2025 | 07:45

FLPP Pecah Rekor, Ribuan MBR Miliki Rumah

Senin, 22 Desember 2025 | 07:24

Jaksa Yadyn Soal Tarik Jaksa dari KPK: Fitnah!

Senin, 22 Desember 2025 | 07:15

Sanad Tarekat PUI

Senin, 22 Desember 2025 | 07:10

Kemenkop–DJP Bangun Ekosistem Data untuk Percepatan Digitalisasi Koperasi

Senin, 22 Desember 2025 | 07:00

FDII 2025 Angkat Kisah Rempah Kenang Kejayaan Nusantara

Senin, 22 Desember 2025 | 06:56

Polemik Homebase Dosen di Indonesia

Senin, 22 Desember 2025 | 06:30

KKP Bidik 35 Titik Pesisir Indonesia Buat KNMP Tahap Dua

Senin, 22 Desember 2025 | 05:59

Selengkapnya