PRIORITAS dalam mengalokasikan anggaran pembangunan nasional membawa konsekuensi terhadap Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan menjadi sisa dari semua prioritas anggaran. Prioritas ini tetap terjadi sekalipun politik anggaran menjadikan hukum sebagai panglima.
Fenomena ini menjadikan sebuah pemikiran kerucut terbalik. Hukum dijadikan prioritas sebagai panglima, namun ujung dari praktik hukum terberat, yaitu sarana sanksi pidana berupa Lembaga Pemasyarakatan berhadapan dengan kendala politik etika.
Pemikiran tersebut adalah terpidana sungguh tidak etis menikmati pemasyarakatan pada batas kecukupan sebagaimana kualitas kehidupan masyarakat di luar Lembaga Pemasyarakatan. Akibatnya adalah kapasitas hunian Lembaga Pemasyarakatan terlaporkan melampaui batas hunian.
Akibat lebih lanjut adalah dijumpai oknum terpidana yang mempunyai kekayaan besar terlaporkan dalam inspeksi mendadak telah menikmati fasilitas istimewa, yang tergolong nyaman dibandingkan terpidana lainnya.
Konsekuensi lain adalah terjadilah pemberian pengurangan-pengurangan lama hukuman. Terpidana yang memenuhi persyaratan dapat dibebaskan setelah berkelakuan baik dan menjalani dua pertiga dari lama pemasyarakatan.
Setahun terakhir muncul fenomena masalah keadilan lama hukuman pemasyarakatan. Terpidana kasus korupsi Bank Century bernama Robert Tantular dibebaskan setahun yang lalu. Setelah dikurangi dengan pengurangan-pengurangan lama hukuman, kemudian dari hukuman 20 tahun itu Robert Tantular dibebaskan setelah terpenjara selama 10 tahun.
Hari ini tanggal 24 Januari 2019, terpidana kasus penistaan agama bernama Basuki Tjahaja Purnama akan dibebaskan setelah menjalani dua pertiga masa hukuman. Kemarin terpidana Abu Bakar Baasyir batal dibebaskan, sekalipun Baasyir telah menjalani dua pertiga masa hukuman.
Perilaku praktik sanksi pidana di atas memperlihatkan bahwa terpidana korupsi dan terpidana penista agama mempunyai kelayakan pemasyarakatan dibandingkan kasus pidana pelanggaran terorisme. Terkesan konsekuensi atas praktik korupsi lebih ringan dibandingkan penistaan agama. Selanjutnya dampak penistaan agama terkesan lebih ringan dibandingkan terorisme.
Apabila ditinjau dari potensi dampak kerusakan terhadap kepentingan dalam menegakkan sanksi pidana, maka praktik urutan prioritas pembebasan terpidana ini seolah sah-sah saja dalam perspektif berpraktik hukum bernegara. Sah di luar urusan syak wasangka membebaskan Basuki Tjahaja Purnama untuk potensi membantu menaikkan elektabilitas petahana. Bala bantuan berkampanye politik.
Baasyir merepresentasikan terpidana, yang pemikiran dan ucapannya secara hukum diyakini pemerintah telah menimbulkan beberapa gerakan praktik terorisme di Indonesia. Terorisme melawan apa yang dipandang sebagai musuh teroris. Baasyir terkesan diyakini mampu membangkitkan bom bunuh diri. Sebuah doktrin berani mati yang berkinerja kualitas Jenderal.
Maksud Capres Joko Widodo membebaskan Baasyir tanpa syarat atas fenomena-fenomena di atas, kemudian batal disebabkan oleh keberatan dari aparat negara yang menjadi garda pertahanan negara. Ini semua melampaui dari sebagian persoalan fenomena konsekuensi keterbatasan dalam prioritas pengalokasian anggaran.
[***]Penulis adalah peneliti INDEF dan pengajar di Universitas Mercu Buana.