Berita

Prabowo Subianto/Net

Publika

Pemaparan Prabowo Tentang Terorisme Menyentuh Akar Persoalan

RABU, 23 JANUARI 2019 | 09:58 WIB

KESEMPATAN yang diberikan Joko Widodo kepada KH. Maruf Amin dalam menjawab pertanyaan tentang terorisme dalam debat capres Kamis malam lalu menjadi pertanda bahwa pandangan capres-cawapres ini soal terorisme lebih kepada kesalahan dalam memahami persoalan ajaran Islam. Bahkan sejak awal Tim Jokowi-Maruf sudah memberi tahu bahwa Ketua Umum MUI tersebut mendapat kebagian "tugas" dalam menjelaskan soal terorisme dan Islam dalam debat.

Ini juga bisa mengindikasikan bahwa persoalan terorisme, terlebih yang terkait dengan pencegahan, akan menjadi garapan utama Kiai Maruf dalam pemerintahan mendatang kalau pasangan ini menang. Hal ini semakin memperkuat anggapan penunjukan Kiai Maruf sebagai cawapres hanya sebagai "stempel" agar Jokowi tidak dicap anti Islam, tidak anti ulama. Terlebih, isu-isu terorisme terutama radikalisme dan intoleransi lebih menyasar kelompok-kelompok Islam yang tidak sejalan dengan pemerintahannya.

Dalam pemaparannya kemudian terbukti, Kiai Ma'ruf, yang dinilai tampil inferior dalam keseluruhan debat tersebut, memaparkan bahwa terorisme merupakan kejahatan, bukan jihad. Karena itu MUI sudah mengeluarkan fatwa haram soal terorisme. Pihaknya akan memprioritaskan upaya pencegahan lewat kontraradikalisme dan deradikalisasi untuk mencegah dan mengembalikan pihak-pihak yang sudah terpapar paham radikal. Meski tak menampik adanya kemungkinan karena persoalan ekonomi dan kemiskinan.


Kampanye "saya Indonesia, saya Pancasila, NKRI harga mati", diyakini akan terus belanjut sambil menunjuk yang lain sebagai kelompok intoleran, radikal dan beragam stigmatisasi lainnya kalau pasangan ini menang. Apalagi Kiai Maruf sudah menegaskan akan menggandeng organisasi-organisasi kemasyarakatan dalam kampanye deradikalisasi ini.

Dengan pendekatan tersebut, masyarakat semakin terpolarisasi. Persoalan terorisme dikhawatirkan tidak teratasi. Karena tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya. Ini pula yang bisa menjelaskan kenapa fatwa haram terorisme yang dikeluarkan MUI sejak tahun 2004 lalu tidak begitu berpengaruh. Bahkan boleh jadi mayoritas rakyat baru sadar dan tahu bahwa MUI pernah mengeluarkan fatwa haram setelah diberi tahu Kiai Maruf dalam debat tersebut.

Berbeda dengan pasangan Prabowo-Sandiaga. Prabowo menyebut persoalan terorisme tidak terlepas dari adanya permainan negara lain dan ketidakadilan di dalam negeri. Karena itu solusinya adalah perkuat TNI, Polri, Intelijen agar bisa mendeteksi serta mencegah terorisme sejak dini. Solusi lainnya mengatasi persoalan ketidakadilan dan ketimpangan sosial-ekonomi. Yang menarik, Prabowo menolak stigmatisasi Islam dengan radikalisme.

Apa yang disampaikan Prabowo tersebut terutama soal keterlibatan asing pasti ditolak dan dicibir oleh orang-orang yang melihat persoalan terorisme dengan cara-cara konvensional. Prabowo disebut terlalu konspiratif dan terlalu jauh dalam melihat persoalan terorisme dan radikalisme yang ada di depan mata ini. Malah ada yang menyebut Prabowo sebenarnya tidak paham masalah.

Namun sebaliknya Prabowo seakan menjadi "juru bicara" dari masyarakat yang selama ini menilai ada permainan asing dalam persoalan terorisme, sehingga extra ordinary crime tersebut tidak kunjung teratasi. Apalagi terkadang ada aroma permainan intelijen dalam setiap aksi terorisme sehingga solusi yang disampaikan oleh Prabowo pun terasa tepat sasaran.

Soal adanya keterlibatan asing dalam persoalan terorisme sebenarnya sudah terungkap sejak awal. Bahkan indikasi tersebut sudah terlihat sejak dari hulunya. Jamak disebutkan bahwa kelompok terorisme di Indonesia terkait dengan jaringan Al Qaeda, yang belakangan beralih afiliasi kepada ISIS. Keberadaan dua organisasi teror tersebut tidak lepas dari campur tangan Amerika Serikat, bahkan disebut sebagai negara yang membidani dan membinanya.

AS berada di belakang Al Qaeda, Taliban dan kelompok mujahidin lainnya di Afghanistan saat melawan tentara merah Uni Soviet pada tahun 1980-an. Tak hanya itu, AS juga memobilisasi bantuan dari negara-negara sekutunya. Karena itu Indonesia turut membantu dengan menyuplai senjata. Sebanyak 197 WNI ikut berjuang membantu kelompok mujahidin tersebut. Namun dalam perkembangannya, Osama dengan Al Qaeda-nya melawan AS. Bahkan disebut sebagai otak di balik penyerangan menara kembar WTC di Newyork dan gedung Pentagon, di Virginia pada 11 September 2001 lalu.

Mengutip penjelasan Roskin dan Berry dalam IR: The New World of International Relation (2010), Frassminggi Kamasa dalam bukunya Terorisme: Kebijakan Terorisme Di Indonesia (2015), mengungkapkan bahwa fenomena terlibatnya AS dalam membina Osama bin Laden beserta kelompok Al Qaeda dan kemudian justru berbalik melawan AS merupakan blowback (pukulan balik) bagi AS. Blowback merupakan konsekuensi yang dinantikan dari kebijakan AS.

Yang jelas, AS menabuh gendang perang melawan terorisme setelah aksi 9/11 tersebut. Tapi tidak sendirian, AS melibatkan negara-negara di dunia internasional dengan memberikan dua opsi untuk memilih salah satu, seperti disampaikan George W. Bush, Presiden AS saat itu: either you are with us, or you are with the terrorist. Ungkapan politik stick and carrot pun berlaku. Negara yang mengikuti agenda AS akan mendapat bantuan, dan yang menolak akan diperangi.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga mengakui hal tersebut. Dalam buku Democatic Policing yang ia tulis bersama Hermawan Sulistyo disebutkan bahwa negara-negara di dunia di bawah pengaruh AS melakukan langkah politik untuk perang melawan terorisme. Terorisme menjadi musuh bersama dan negara-negara di dunia yang tidak mendukung langkah AS akan dianggap bekerja sama dengan teroris sehingga memunculkan agenda menumbangkan rezim-rezim kekuasaan yang dianggap melindungi terorisme (2017: 195).

Indonesia pada awalnya menolak dan menyangkal adanya kelompok teroris Jamaah Islamiyah yang disebut terkait Al Qaeda di Indonesia. Walaupun tuduhan tersebut cukup kencang disuarakan antara lain oleh The Straits Times media Singapura, negara sekutu dekat AS tersebut, pada Januari sampai Februari 2002. Bahkan media yang sama juga memuat pernyataan Lee Kuan Yew, Menteri Senior Singapura saat itu bahwa Indonesia adalah sarang teroris.

Namun, penyangkalan oleh pejabat Indonesia berakhir dengan terjadinya Bom Bali I sekitar delapan bulan kemudian. Indonesia akhirnya mengikuti perang global mengikuti tekanan negara adidaya. Indonesia pun menerima bantuan dana, menyediakan informasi, dan mengikuti pelatihan dalam mengatasi terorisme yang digelar AS.

Sejak Bom Bali I pada Oktober 2002 tersebut, Indonesia kemudian diserang dengan berbagai aksi terorisme. Terakhir adalah kasus terorisme pada Mei 2018 lalu di sejumlah tempat yang dimulai dengan kerusuhan di Mako Brimob, Kepala Dua, Depok yang menewaskan lima orang Polisi.

Tidak kunjung teratasinya berbagai kasus terorisme ini tak pelak menyulut kecurigaan. Salah satunya adanya dugaan permainan aparat dan intelijen. Bahkan permainan intelijen ini sudah tercium sejak awal kasus terorisme mencuat. Yaitu ketika Omar Al Faruq, WN Kuwait yang telah beristrikan WNI, ditangkap pada 2002 lalu. Namun kemudian, Al Faruq yang disebut-sebut menyusup ke "kelompok-kelompok radikal" dan terlibat dalam sejumlah aksi teror, diserahkan aparat RI ke CIA.

Kamasa mencatat pola penanganan kasus terorisme ini menunjukkan pengulangan gaya rezim Orba dalam menangani kelompok radikal dengan tuduhan melakukan subversi. Pada masa itu, Ali Moertopo memiliki strategi tebar, pancing, jaring. Yaitu menebar oknum intel ke gerakan Islam. Kemudian pancing untuk melakukan radikalisasi. Terakhir dijaring alias orang-orang dari kelompok Islam yang beraksi itu ditangkap.

Soemitro mengakui strategi yang dijalankan Ali Moertopo tersebut. Dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 sebagaimana dikutip Majalah Tempo edisi khusus Rahasia-Rahasia Ali Moertopo, dia menjelaskan, melalui rekayasa, diciptakanlah kerusuhan politik sehingga mengesankan bahwa umat Islam selalu berhadapan dengan tentara, selalu memberontak supaya timbul alergi terhadap Islam. Peristiwa Malari, Komando Jihad, Kerusuhan Lapangan Banteng, dan pembajakan pesawat Woyla, sambung Soemitro, pada dasarnya produk rekayasa intelijen.

Memang diakui bahwa ada segelintir orang Islam yang memiliki pemahaman cukup keras dan kaku. Namun mereka diyakini tidak akan bisa melakukan aksi teror kalau aparat dan intelijen benar-benar bekerja untuk melakukan deteksi dini dan pencegahan. Tapi yang dikhawatirkan, ada pembiaran atau malah "dipancing dan difasilitasi" agar orang-orang tersebut melakukan aksinya sebagaimana sinyalemen di atas.

Apalagi terkadang kasus-kasus terorisme ini muncul pada saat ada isu hangat yang mengarah ke Pemerintah. Karena itu mencuat tuduhan adanya ternak teroris, seperti disampaikan sejumlah pihak. Salah satunya oleh Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah 2014-2018, Dahnil Anzar Simanjuntak, orang yang pernah mengadvokasi keluarga Alm. Siyono yang meninggal dunia di tangan Densus 88. Pemerintah dan pihak Kepolisian dalam berbagai kesempatan membantah anggapan-anggapan tersebut. Bahkan sampai menangkap orang yang menyebut kasus terorisme sebagai pengalihan isu.

Namun yang jelas, penegasan Prabowo tentang adanya keterkaitan asing dan tekadnya untuk memperkuat TNI, Polri dan intelijen agar bisa menangkal terorisme sejak dini memberikan harapan atau setidaknya menjadi alternatif dalam penanganan kasus kejahatan luar biasa tersebut.

Karena itu, Prabowo harus memutus keterlibatan asing yang bermaksud untuk mendikte penanganan terorisme kalau ia memimpin negeri ini. Selain itu, kasus terorisme juga mesti dianggap sebagai kelalaian aparat sehingga harus ada yang bertanggungjawab. Apalagi kalau sudah dilakukan penguatan terhadap kemampuan aparat tersebut. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi aksi terorisme di Indonesia. [***]

Zulhidayat Siregar
Alumni UIN Jakarta.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Pidato Prabowo buat Roy Suryo: Jangan Lihat ke Belakang

Senin, 08 Desember 2025 | 12:15

UPDATE

Dituding Biang Kerok Banjir Sumatera, Saham Toba Pulp Digembok BEI

Kamis, 18 Desember 2025 | 14:13

Kapolda Metro Jaya Kukuhkan 1.000 Nelayan Jadi Mitra Keamanan Laut Kepulauan Seribu

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:56

OTT Jaksa di Banten: KPK Pastikan Sudah Berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:49

Momen Ibu-Ibu Pengungsi Agam Nyanyikan Indonesia Raya Saat Ditengok Prabowo

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:41

Pasar Kripto Bergolak: Investor Mulai Selektif dan Waspada

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:31

Pimpinan KPK Benarkan Tangkap Oknum Jaksa dalam OTT di Banten

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:21

Waspada Angin Kencang Berpotensi Terjang Perairan Jakarta

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:02

DPR: Pembelian Kampung Haji harus Akuntabel

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:01

Target Ekonomi 8 Persen Membutuhkan Kolaborasi

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:58

Film TIMUR Sajikan Ketegangan Operasi Militer Prabowo Subianto di Papua

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:48

Selengkapnya