Sebuah game tantangan baru, saat ini sedang menjadi trend di kalangan remaja. Game tidak lumrah. Ora umum, kata orang Jawa. Tajuknya “Welfi Salam Dua Jari dengan Presiden Jokowi.†Welfie adalah foto rame-rame. Sementara selfie adalah swafoto, alias memfoto diri sendiri.
Pose sejumlah remaja yang bergembira ria berpose “salam dua jari†bersama Jokowi, belakangan banyak ditemukan, bertebaran di berbagai platform media sosial.
Sebagian besar aksi ini dilakukan mereka yang masuk dalam kelompok Generasi Z. Generasi yang lahir setelah tahun 1995 atau sering juga disebut sebagai
iGeneration, generasi internet. Ciri-ciri mereka: suka tantangan, memuja kebebasan, percaya diri, dan tidak suka aturan, apalagi diperintah.
Selain
iGeneration, kita juga banyak menemukan foto, video serupa yang dilakukan oleh emak-emak milineal. Mereka adalah generasi yang lahir pada tahun 1980-an. Generasi ini banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, instant messaging dan media sosial seperti facebook, line, path, instagram, whatsapp, dan twitter. Mereka juga suka main
game online, dan suka tantangan.
Aksi semacam ini mulai viral ketika Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Sumatera Utara (Sumut) 9 Oktober lalu. Ketika itu ada seorang mahasiswa yang mengacungkan salam dua jari ketika foto rame-rame bersama Jokowi.
Seorang anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) segera bertindak. Salah satu jari sang mahasiswa, langsung ditekuk. Video inilah yang kemudian mengilhami banyak remaja untuk melakukan pose serupa. Mereka menganggap ini sebagai
game “uji nyali.â€
Salam dua jari identik dengan pasangan Prabowo-Sandi. Dalam undian KPU memperoleh nomor urut dua (2) . Sementara Jokowi-Ma’ruf memperoleh nomor urut satu (1) dengan simbol jempol.
Ketika Jokowi berkunjung ke sebuah pesantren di Jawa Tengah para santri terlihat bergembira ria mengacungkan salam dua jari. Seorang emak-emak milenial bahkan berani secara terbuka bertanya kepada Jokowi. “Berbeda pilihan boleh ya Pak?†ujarnya sambil mengacungkan salam dua jari.
Fenomena semacam ini tidak pernah kita temukan pada masa pemerintahan SBY, Megawati, Gus Dur, BJ Habibie, apalagi pada Pak Harto. Publik bagaimanapun masih melihat lembaga kepresidenan adalah sebuah lembaga yang sakral.
Aksi generasi Z dan emak-emak milenial ini, makin lama, makin berani. Anggota Paspampres seakan tak lagi berdaya mencegah serbuan “pasukan dua jari†ini. Apalagi Jokowi sendiri juga dikenal paling suka ber-welfie.
Peristiwa terbaru yang juga viral, ketika Jokowi berkunjung ke Pekanbaru, Riau, Ahad (16/8). Sejumlah remaja dengan santainya ber-welfi dua jari di depan Jokowi. Padahal saat itu Jokowi dikawal dua petinggi Badan Intelijen Negara (BIN), yang seharusnya sangat ditakuti.
Kepala BIN Budi Gunawan yang mengenakan baret merah marun dengan empat bintang, dan Wakil Kepala BIN Teddy Lhaksamana yang mengenakan baret yang sama dengan tiga bintang, serta para anggota Paspampres hanya diam tak berdaya.
Bagaimana kita memahami peristiwa semacam ini? Apakah ini tanda-tanda lembaga kepresidenan dan lembaga-lembaga keamanan negara sudah kehilangan tuah dan wibawanya?
Apakah ini cara generasi milenial, dan
iGeneration, —untuk mudahnya kita sebut sebagai generasi digital— melakukan perlawanan sosial terhadap penguasa dan kekuasaan. Mereka melakukan dekonstruksi dengan santai dan tertawa-tawa. Iseng, tapi mereka terlihat sangat sadar dan berani secara terbuka mengekspresikan pilihan politiknya.
Bukan hanya Jokowi yang menjadi sasaran. Kyai Ma’ruf Amin yang sudah sepuh juga tak luput dari aksi jail mereka. Seorang anak muda dengan santainya terlihat minta foto bersama dan kemudian mengacungkan salam dua jari. Di sebelahnya Kyai Ma’ruf yang mengacungkan satu jari hanya bisa terbengong-bengong melihatnya.
Pembangkangan sipil, pembangkangan sosial Dalam literatur politik, aksi-aksi generasi digital itu bisa dilihat dalam perspektif pembangkangan sipil (civil disobedience). Seorang teman mengusulkan lebih tepat disebut sebagai pembangkangan sosial (social disobedience).
Social disobedience_terjadi karena _social distrust (pemimpin tidak lagi dipercaya) dan social disorder (penegak hukum yang tidak adil dan aparat negara yang memihak penguasa).
Istilah
civil disobedience pertamakali dikenalkan oleh seorang penulis dan filsuf Amerika Henry David Thoreau (1817-1862). Pembangkangan sipil adalah seruan untuk bertindak bagi semua warga negara untuk menolak berpartisipasi, atau mendorong dengan cara apa pun, sebuah lembaga negara yang tidak adil.
Aksi ini dipicu oleh kemarahan Thoreau terhadap perbudakan, dan perang Amerika-Meksiko. Inti dari gerakan ini adalah perlawanan tanpa kekerasan. Karena itu disebut sebagai pembangkangan sipil.
Aksi ini kemudian mengilhami gerakan-gerakan besar lain di dunia. Di India Mahatma Ghandi di India memperkenalkan aksi perlawanan damai yang dikenal dengan nama Satyagraha.
Aksi Ghandi dimulai ketika dia dilempar keluar dari sebuah gerbong kereta api dalam perjalanan dari Durban-Johanesburg, Afrika Selatan karena dia menempati gerbong yang diperuntukkan khusus warga kulit putih. Padahal dia punya tiket kelas satu, dan berpakaian rapih. Kesalahannya, dia bukan kulit putih.
Di Afrika Selatan gerakan ini kemudian berlanjut aksi anti apharteid (pemisahan warga berdasarkan ras), dipelopori oleh Nelson Mandela.
Di Indonesia perlawanan semacam ini dilakukan masyarakat Samin yang berada di perbatasan Jateng, dan Jatim (Blora, dan Bojonegoro). Mereka melakukan perlawanan tanpa kekerasan, dalam bentuk menolak membayar pajak, dan menolak mentaati semua aturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda dan Jepang.
Dalam sejarah modern Indonesia, pembangkangan sosial terasa membesar pada masa pemerintahan Jokowi. Indikasinya bisa terlihat pada gagalnya program tax amnesty, masyarakat menolak hadir pada acara-acara resmi yang dihadiri Jokowi, dibocorkannya surat-surat resmi pengerahan massa oleh aparatur sipil negara (ASN), bocornya bukti permintaan sumbangan untuk kampanye Jokowi-Ma’ruf, dan tentu saja aksi mengejutkan pemberian kartu kuning kepada Jokowi oleh Ketua BEM Universitas Indonesia Zaadit Taqwa masuk dalam kelompok ini.
Yang paling fenomenal dari pembangkangan sosial terhadap Jokowi dan rezim pemerintahannya adalah Aksi Bela Islam 212, dan reuninya selama dua tahun berturut-turut. Tekanan, ancaman, stigma, pembentukan opini, boikot, black out, framing media, bahkan teror bom, tidak menyurutkan jutaan orang berkumpul di Monas menunjukkan ekspresi mereka: Perlawanan tanpa kekerasan!
Bagi Jokowi, fenomena pembangkangan sosial dari generasi Y dan Z ini bisa menjadi dilema pelik dan tantangan besar untuk mempertahankan jabatannya. Pendekatan represif, penggunaan alat-alat kekuasaan yang berlebihan untuk menekan lawan politik, bukanlah jawaban.
Generasi digital punya gaya sendiri dalam melakukan perlawanan. Beda zaman, beda gaya. Namun intinya tetap sama. Jangan diremehkan.[***]
Penulis adalah pemerhati ruang publik. Artikel ini dikirim untuk Kantor Berita Politik RMOL