Berita

Politik

Blunder Program Keluarga Harapan

SENIN, 17 DESEMBER 2018 | 05:21 WIB | OLEH: SYA'RONI


PADA Juli 2018, pemerintahan Jokowi membusungkan dada atas capaian mampu menurunkan angka kemiskinan hingga di bawah 1 digit.

Kebanggaan didasarkan atas perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah kemiskinan per Maret 2018 turun menjadi 25,95 juta orang atau 9,82 persen.

Capain tersebut memang patut disyukuri, meskipun banyak pihak yang mengkritik tentang batas penghasilan yang dijadikan standar kemiskinan dan juga mempertanyakan waktu pelaksanaan surveinya.

Capain tersebut memang patut disyukuri, meskipun banyak pihak yang mengkritik tentang batas penghasilan yang dijadikan standar kemiskinan dan juga mempertanyakan waktu pelaksanaan surveinya.

Meskipun penuh kontroversi tapi okelah disepakati angka kemiskinan per Maret 2018 adalah 25,95 juta orang sesuai yang dibanggakan pemerintah.

Idealnya, angka kemiskinan itu yang dijadikan dasar untuk membuat program pengentasan kemiskinan dan bantuan sosial.

Tapi nyatanya, angka kemiskinan tersebut hanya indah di kertas. Tidak dipakai. Hanya menjadi kebanggaan politik. Buktinya?

Terbaru adalah sesumbar Presiden Jokowi yang akan meningkatkan jumlah penerima program PKH (Program Keluarga Harapan).

Katanya, awalnya pemerintah hanya memberikan PKH kepada 6 juta keluarga miskin, tahun 2018 meningkat menjadi 10 juta keluarga miskin dan tahun 2020 akan meningkat lagi menjadi 15,6 juta keluarga miskin.

Dasar hitungannya dari mana? Membingungkan!!! Idealnya, kalau angka kemiskinan turun maka jumlah penerima PKH juga turun.

Menurut keterangan yang tertulis di website Kementerian Sosial bahwa PKH dimaksudkan sebagai upaya percepatan penanggulangan kemiskinan.

Namun yang terjadi di lapangan adalah sebuah kontradiksi, BPS melaporkan angka kemiskinan turun, pemerintah juga membangga-banggakan, tetapi jumlah penerima PKH makin membengkak.

Sebagai ilustrasi mari dihitung secara sederhana saja, saat ini pemerintah memberikan PKH kepada 10 juta keluarga miskin. Bila diasumsikan satu keluarga terdiri dari 4 orang yakni suami, istri dan 2 anak, maka didapat angka kemiskinan mencapai 40 juta orang.

Bila tahun 2020, penerima PKH dinaikkan menjadi 15,6 juta keluarga miskin. Maka angka kemiskinan makin membengkak menjadi 62,4 juta orang.

Sekali lagi perlu disebutkan angka kemiskinan menurut BPS adalah 25,95 juta orang. Mestinya pemerintah memberikan PKH sesuai angka tersebut. Soal besaran bantuannya, makin besar makin bagus, supaya angka kemiskinan cepat berkurang.

Bisa disimpulkan, ada modus politik di balik membengkaknya jumlah PKH. Modusnya adalah untuk mengerek elektabilitas Jokowi yang saat ini macet total.

Program "cash" PKH dijadikan sebagai pelumas atas macetnya antusias rakyat terhadap program-program andalan Jokowi lainnya, seperti infrastruktur, sertifikat tanah, BBM satu harga, dll.

Namun perlu diingat, memperbesar PKH bukan berarti mampu menarik simpati rakyat. Tidak menutup kemungkinan akan menjadi blunder politik. Setidaknya ada tiga kelompok yang berpotensi kecewa terhadap pembengkakan PKH.

Pertama, rakyat yang benar-benar miskin bisa kecewa karena mestinya dana PKH sebesar Rp. 34 triliun (2019) khusus diperuntukkan bagi kelompoknya, sehingga bisa mempercepat pengentasan kemiskinan. Namun, pemerintah juga membaginya untuk orang kaya. Kekecewaan rakyat miskin bisa diwujudkan dengan tidak memilih Jokowi.

Kedua, orang berkategori mampu/kaya tetapi tidak mendapatkan PKH, juga bisa merasa iri melihat sesama orang mampu lainnya tetapi mendapatkan PKH. Rasa iri ini dapat menyulut kebencian terhadap Jokowi karena dianggap tidak merata dalam membagikan PKH.

Ketiga, aparat BPS juga bisa kecewa dengan Jokowi karena hasil kerjanya dalam menghitung angka kemiskinan tidak dipakai. Bisa saja aparat BPS berharap pemimpin baru yang bisa menghargai kerja kerasnya.

Alih-alih mengerek elektabilitas Jokowi, bisa jadi pembengkakan PKH akan menenggelamkan elektabilitas Jokowi. Bravo rakyat!!![***]
Penulis adalah Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (PRIMA).

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Komisi V DPR: Jika Pemerintah Kewalahan, Bencana Sumatera harus Dinaikkan jadi Bencana Nasional

Sabtu, 06 Desember 2025 | 12:14

Woman Empower Award 2025 Dorong Perempuan Mandiri dan UMKM Berkembang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 12:07

Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi di Akhir Pekan

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:58

BNI Dorong Literasi Keuangan dan UMKM Naik Kelas Lewat Partisipasi di NFHE 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:44

DPR: Jika Terbukti Ada Penerbangan Gelap, Bandara IMIP Harus Ditutup!

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:24

Banjir Aceh, Untungnya Masih Ada Harapan

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:14

Dana Asing Masuk RI Rp14,08 Triliun di Awal Desember 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:08

Mulai Turun, Intip Harga Emas Antam Hari Ini

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:03

Netflix Beli Studio dan Layanan Streaming Warner Bros 72 Miliar Dolar AS

Sabtu, 06 Desember 2025 | 10:43

Paramount Umumkan Tanggal Rilis Film Live-Action Kura-kura Ninja Terbaru

Sabtu, 06 Desember 2025 | 10:35

Selengkapnya