Wisatawan China mendominasi kunjungan ke Bali selama 2018. Sayangnya, kedatangan mereka dinilai tidak memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakat lokal.
Soalnya, mereka jarang sekaÂli membeli makanan, minuman dan oleh-oleh dari pedagang lokal. Kondisi itu antara lain terÂlihat pada Minggu siang (9/12) di Pantai Kuta. Padahal, hari itu cukup banyak wisatawan China yang datang.
Mereka lebih memilih bergerÂombol untuk sekadar berfoto di pantai. Setelah itu, mereka menÂinggalkan pantai bersama tour guidenya. "Wisatawan China tidak suka belanja di sini," keluh Kadek yang sudah berjualan di Pantai Kuta selama 8 tahun.
Sejauh mata memandang, hanya sedikit wisatawan China yang membeli makanan dan minuman di warung-warung. Itu pun, menurut Kadek, satu minuÂman untuk diminum bersama-saÂma. "Mayoritas yang berbelanja di lokasi ini, turis Australia dan wisatawan lokal," tutur pedaÂgang berusia 35 tahun ini.
Senada, Nyoman, pedagang lainnya, juga mengeluhkan periÂlaku wistawan China. Pasalnya, mereka jarang sekali belanja di warungnya. "Kalau mereka ditawari makanan dan minuman, biasanya tidak merespon dan memilih membawa minuman dan makanan sendiri," ucap Nyoman.
Nyoman juga menyatakan, yang royal berbelanja adalah turis Australia dan turis domesÂtik. "Yang paling laku bir dan kelapa," ucap pedagang berumur 50 tahun ini.
Dia berharap, dengan banyaknya wisatawan China yang datang ke Bali, bisa turut memÂbawa keuntungan bagi pedagang lokal. Sebab, bila mereka hanya datang untuk foto-foto dan beÂlanja di toko yang telah ditentuÂkan, tentu tidak sesuai dengan tujuan pemerintah. "Pemerintah harus mengatur soal itu, agar banyaknya wisatawan China memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal," harapnya.
Sebelumnya, turis China diduga hanya berbelanja di toko milik Warga Negara China di Bali. Tapi, kini, toko itu disebut telah ditutup Pemerintah Provinsi Bali.
Terkait penutupan toko ileÂgal milik Warga Negara China yang menjalankan praktik zeÂro dollar tour, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali A.A. Gede Yuniartha Putra mengaku telah lebih dahulu mengadakan konsultasi dengan Konsulat Jenderal (Konjen) China di Bali. "Kita tutup toko itu karÂena tidak memiliki izin dan menggunakan visa holiday. Itu sama juga ketika kita kerja di negaranya dengan visa holiday," ujar Yuniartha.
Selain itu, Yuniartha mengataÂkan, pihaknya juga akan melakuÂkan sales mission ke China yang diharapkan mampu menumbuhÂkan keyakinan wisatawan menÂgenai Bali. Sehingga, wisatawan China yang berlibur ke Bali akan semakin banyak.
Apalagi, masyarakat China, menurutnya suka dengan pageÂlaran budaya. Bali memiliki banÂyak pertunjukan budaya yang biÂsa menghibur mereka. "Bersama dengan kabupaten dan kota, kita akan menyiapkan itu, baik desa budaya maupun pertunjukan budaya," pungkasnya.
Yuniartha menambahkan, selama kurun waktu Januari sampai Agustus 2018, jumlah turis China yang berkunjung ke Bali mencapai 961.802 orang. Jumlah tersebut lebih banyak dari turis Australia sebanyak 763.477 orang, disusul India dengan 243.947 orang dan Inggris berjumlah 183.033. "Bali memang lokasi favorit turis China," ujar Yuniartha.
Yuniartha menyebut, ada dua alasan maraknya turis China mengunjungi Bali. Pertama, mereka tertarik wisata air dan belanja. Kedua, semakin banyak pesawat dari China langsung ke Bali dan sebaliknya. "Selain pesawat komersial reguler, ada juga yang charter langsung dan lebih murah biaya sandarnya di bandara," ujarnya.
Apalagi, kata dia, saat ini infrastruktur di Bali sudah sangat baik. Bandara pun bisa didatangi turis dari luar negeri mulai pukul dua dini hari. "Kalau daerah lain belum tentu, kadang masuk pagi belum ada petugas Imigrasi, Bea Cukai belum siap," tandasnya.
Pengunjung Pantai Kuta Sedang Sepi
Wisatawan lokal maupun mancanegara bersantai di Pantai Kuta, Bali yang sepi pada Minggu sore itu (9/12). Mereka menggelar tikar hingga duduk di kursi yang disewa di sekitar panÂtai itu. Para wisatawan bersabar menunggu matahari tenggelam yang indah.
Tidak hanya bersantai, banyak wisatawan yang bermain bola sembari menunggu sang surya tenggelam. Ada juga pedagang yang menjual gelang dan meÂnawarkan jasa tatto temporer.
Warung-warung kecil yang menjual minuman mineral mauÂpun kelapa, banyak dijumpai di sepanjang pantai berpasir putih itu. "Sekarang lagi sepi. Akhir Desember baru ramai," ujar Kadek, penjual minuman di Pantai Kuta.
Pantai Kuta masih menjadi destinasi favorit wisatawan lokal maupun mancanegara. Apalagi, lokasinya tidak jauh dari Bandara Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali. Cukup banyak transportasi untuk menÂgantarkan pengunjung ke pantai yang membantang panjang sekiÂtar 2 Km ini.
Untuk masuk ke pantai yang gratis ini, wisatawan bisa datang melalui beberapa gapura di sepanjang jalan Kuta. Tersedia juga parkiran kendaraan roda dua mauÂpun empat di beberapa spot.
Selain untuk berjemur, pantai tersebut juga jadi tujuan bagi peselancar. Penyewaan papan selancar tersedia di tempat terseÂbut. Sayangnya, kini kondisi Pantai Kuta tidak bersih. Banyak sampah berserakan. Mulai dari botol hingga ranting-ranting keÂcil yang terbawa ombak. "Habis hujan besar, jadi banyak sampah yang terbawa arus," ujar Kadek kembali.
Kadek mengeluhkan, omzet Desember ini jauh menurun dibanding Juni atau Juli lalu. Saat itu, dia berhasil mendapÂatkan penghasilan kotor sekitar Rp 3 juta saban hari.
Pendapatan tersebut didapÂatnya dari menjual makanan, minuman dan penyewaan kursi. "Air mineral kami jual Rp 10 ribu per botol, air kelapa Rp 25 ribu dan kursi sewanya Rp 50 ribu untuk dua jam pemakaian," sebutnya.
Dia berharap, akhir Desember ini jumlah wisatawan bisa menÂingkat kembali, seperti bulan Juni atau Juli lalu. Bila tidak, Kadek mengaku akan kesulitan membayar uang keamanan mauÂpun kebersihan ke Desa Legian sebesar Rp 175 ribu setiap buÂlannya. "Sekarang ini, untuk meÂmenuhi kebutuhan sehari-hari saja sulit," ucapnya.
Latar Belakang
Zero Dollar Tour Ditengarai Sebagai Biang Keroknya
Jumlah wisatawan China yang berkunjung ke Bali terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2016 sebanyak 907.028 orang. Setahun kemudian, jumlahnya melonjak hingga 1,37 juta atau meningkat lebih dari 50 persen. Kemudian, hingga Agustus 2018 mencapai 961.802 orang.
Jumlah tersebut lebih besar dibanding turis Australia seÂbanyak 763.477 orang, disusul India dengan 243.947 orang dan Inggris berjumlah 183.033.
Sayangnya, banyaknya turis China tidak diimbangi dengan jumlah belanja yang mereka keluarkan selama berwisata di Pulau Dewata tersebut. Bahkan, menimbulkan sejumlah masalah, seperti jual beli kepala, harga terÂlalu murah alias diobral, sampai maraknya pemandu wisata ilegal.
Jual beli kepala adalah pemÂberian komisi kepada agen perjalanan (
travel agent) dari pemilik toko oleh-oleh di Bali, berdasarkan jumlah turis yang mereka bawa ke toko tersebut.
Dalam situasi itu, Gubernur Bali Wayan Koster menginstrukÂsikan Bupati Badung Nyoman Giri Prasta untuk menutup 16 toko China yang melakukan praktik tidak sehat dan ilegal. Pasalnya, keberadaan toko-toko bermasalah itu dinilai telah membuat citra buruk bagi pariÂwisata di Bali dan Indonesia.
"Toko-toko ini ada yang berÂizin dan tidak berizin. Tapi, yang berizin juga ternyata usaha yang dijalankan berbeda dengan yang di izin. Saya mengambil keputuÂsan tegas untuk menutup jenis usaha yang melakukan praktik tidak sehat ini," ujar Wayan.
Wayan menginstruksikan keÂpada Bupati Badung agar menuÂgaskan Satpol PP untuk menuÂtup toko-toko itu. "Tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena ini juga merusak citra pariwisata di Indonesia secara keseluruhan. Hal-hal yang mengakibatkan citra buruk pariwisata harus ditÂindak secara tegas," tandasnya.
Dia mengaku tidak takut peÂnutupan toko-toko China itu akan berdampak pada penurunan kunjungan turis China ke Bali. Sebab, wisatawan yang datang ke Bali akan terseleksi dengan sendirinya. ***