Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
ADALAH benar Islam tidak diturunkan di ruang kosong yang hampa budaya dan peradaban. Islam lahir di dalam sebuah dunia yang sudah sarat dengan buÂdaya dan peradaban. Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa ajaran Islam tidak pernah mengklaim sebagai perintis budaya dan peradaban yang samasekali baru. Ia bahkan dengan tawadhu dikatakan daÂlam hadisnya: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia." Ia tidak pernah menolak budaya dan peradaban dari luar. Ia juga tidak pernah mematenkan budaya dan peradaÂbannya yang dirasa positif untuk kemanusiaan. Ia menyerukan untuk mengejar pengetahuan walau sampai ke tanah Cina (utulub al-'ilm wa lau bis Shin). Ia juga mengatakan: "Hikmah (peradaban) adalah milik umat Islam, ambillah di manapun kalian temukan" (al-hikmah dhalah al-mu’min faÂhaitsu wajadaha fa huwa ahaq biha). Al-Qur’an juga sejak awal menyerukan pentingnya memeÂlihara kontinuitas budaya dan peradaban. Segala sesuatu yang positif pada umat-umat terdahulu harus dilestarikan, karena dengan tegas dikataÂkan: "Kami tidak membeda-bedakan antara sesÂeorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul- Nya" (la nufarriq baina ahadin min rusulih). (Q.S. al-Baqarah/2:285).
Pola imitatif budaya dan peradaban dalam Islam harus dianggap sebagai sesuatu yang niscaya. Mungkin inilah yang dipopulerkan Umar ibn Khaththab sebagai bid'ah hassaÂnah, sebuah kelanjutan tradisi yang konstrukÂtif. Jika kita berbicara tentang kebudayaan dan peradaban Islam berarti kita berbicara tentang tradisi luhur kemanusiaan yang diwarisi secara kumulatif dari zaman ke zaman. Kebudayaan dan peradaban (civilization/al-hadharah) Islam bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan terÂpisah dengan budaya dan peradaban sebelumÂnya. Soal kehadiran Islam memberikan corak dan warna baru memang ia dan hal ini sulit diÂingkari. Di manapun dan sejak kapapun dalam lintasan sejarah kemanusiaan, selalu ada sinÂtesa dan imitasi budaya dan peradaban. Hal ini lumrah dan wajar, karena bukankah padamuÂlanya anak amanusia ini berasal dari sepasang kakek dan nenek (Adam dan Hawa)?
Peta budaya dan peradaban kemanusiaan dari zaman ke zaman memiliki nilai-nilai univerÂsal di samping nilai-nilai lokalnya. Islam sebagai jaran yang sarat dengan nilai-nilai universal suÂdah barang tentu memiliki pola dialektik sejarahÂnya. Dengan kata lain, satu sisi harus memperÂtahankan orisinalitas dan unsur-unsurnya yang genuine, tetapi pada sisi lain harus mampu meÂnembut batas-batas geografis ddengan sepaÂrangkat nilai-nilai lokalnya. Dalam kenyataan diÂalektika sejarah Islam, selain harus "menjinakkan" sasaran-sasarannya maka ia pun harus dijinakÂkan oleh sasaran-sasarannya. Sebagai contoh, selain harus mengislamkan Mesir, Persia, anak benua India, dan Nusantara, maka terlebih daÂhulu ia harus mengalami proses pemesiran, peÂmersian, pengindian, dan penusantaraan. Sama seperti Islam dalam periode awal, Islam yang laÂhir dan tumbuh di jazirah Arab lalu berekspansi keluar di kwasan sekitarnya, maka nilai-nilai IsÂlam pun harus mengalami penyesuaian ke dalam dua konteks peradaban dengan apa yang disebut Marshall Hodgson dengan Irano-Semit di bagian Timur dan Afro-Erasia di bagia Barat.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Senin, 08 Desember 2025 | 19:12
Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00
Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03
UPDATE
Minggu, 14 Desember 2025 | 10:04
Minggu, 14 Desember 2025 | 10:02
Minggu, 14 Desember 2025 | 09:43
Minggu, 14 Desember 2025 | 09:16
Minggu, 14 Desember 2025 | 09:01
Minggu, 14 Desember 2025 | 08:51
Minggu, 14 Desember 2025 | 08:17
Minggu, 14 Desember 2025 | 08:08
Minggu, 14 Desember 2025 | 07:40
Minggu, 14 Desember 2025 | 07:31