Gempa dan tsunami yang menerjang Palu, Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah menyisakan duka yang mendalam. Bukan hanya menelan korban jiwa, bencana alam ini juga membuat banyak keluarga tercerai-berai.
Keluarga korban terus menÂcari anak, istri, suami, orangtua atau saudaranya yang hilang dengan menempel pamflet, meÂnyebar kabar, dan bertanya keÂpada orang-orang yang ditemui. Mereka memanfaatkan apa saja yang mereka punya agar bisa bertemu dengan keluarganya.
Rabu (10/10) siang, sejumlah remaja menempelkan pamflet di tembok salah satu rumah warga yang tidak hancur di Perumnas Balaroa, Palu, Sulteng. Pamflet yang tidak terlalu besar itu bertuÂliskan "Dicari" lengkap dengan foto korban.
Nama korban yang hilang adalah Suhartono atau Atto. Asal Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar). Tak ketinggalan nomor kontak yang bisa dihubungi di bawahnya. "Saya terus mencari kakak yang hilang saat gempa dantsunami," ujar Rahman di Palu.
Di sekitar Kota Palu banyak dijumpai pamflet yang menginÂformasikan orang orang hilang. Pamflet ditempel di pusat-pusat keramaian. Pamflet tersebut cukup menyita perhatian warga yang melintas. Warga yang melintas memilih berhenti sejenak dan membacanya beberapa saat.
"Saat ini belum ada info keÂberadaan kakak saya. Kalau istrinya selamat dan sudah puÂlang ke Topoyo, Sulbar," ujar Rahman kembali.
Rahman mengaku telah mencari informasi keberadaan kakaknya ke sejumlah posko pengungsian yang ada di Palu, tapi hingga hari itu belum juga menuai hasil. Kakaknya hilang tersapu tsunami saat jalan-jalan di Pantai Talise bersama istrinya.
"Kalaupun meninggal, yang penting ketemu jenazahnya. Kalau sudah ketemu, kami akan kuburkan secara layak," ucap pria 25 tahun ini.
Seiring berjalannya waktu, Rahman mengaku pesimistis bisa menemukan Ato karena suÂdah dua minggu setelah gempa, belum juga ditemukan.
"Mungkin besok atau lusa mau pulang ke Sulbar dan mengabarkan ke istrinya, belum ditemukan," ujar Rahman sembari meneteskan air mata.
Tidak hanya melalui pamflet, beberapa keluarga korban juga mencari melalui udara atau radio. Saat ini, radio lokal terus menyÂiarkan orang yang hilang, lengkap dengan nomor telepon keluarga yang bisa dihubungi. Tumpukan kertas tebal berisi daftar nama orang hilang selalu bertambah setiap harinya. Tercatat, ada ribuan laporan yang terkumpul di stasiun radio Pro 2 RRI, Palu.
Dari laporan orang hilang yang masuk, sudah terkonfirmasi ditemukan dalam keadaan hidup sebanyak 50 orang. Untuk inforÂmasi orang hilang, radio milik pemerintah ini menyiarkannya setiap hari selama satu jam.
Nadila, salah satu penyiar raÂdio setempat terus mengabarkan setiap hari orang-orang hilang berikut nomor telepon yang bisa dihubungi. "Atas nama ibu Rita Sengkewenas, umur 39 tahun, tinggi 165 Cm, berat badan 70 kilogram. Alamat rumah, Jalan Banteng, Blok M, Nomor 4," kata Nadila.
Nadila, warga Petobo, juga turut menjadi korban gempa. Saat kejadian, ia sempat lari ke bukit selama dua hari dan akhirnya turun karena tidak ada makanan dan minuman selama mengungsi. Tak lama kemudian, ia bersama sejumlah warga mencari keberadaan rumahnya. Ternyata telah amblas terkena likuifaksi. "Nenek dan tante saya belum ketemu sampai sekarang," ucapnya.
Akhirnya, kata Nadia, tiga hari setelah bencana, tim evakuasi membuat jalan setapak yang aman bagi para korban selamat untuk bisa berjalan menuju pengungsian. Sehari kemudian, Nadila akhirnya menguatkan diri untuk kembali bekerja setelah bertemu dengan psikolog.
Pertama kali siaran setelah musibah itu, Nadila mengaku sempat mencari keluarganya melalui siaran radio. Namun, paÂda hari ke-12 setelah gempa, ia mengaku pasrah dan menerimakehilangan keluarga.
"Saya ikhlas walaupun Pemerintah Kota Palu telah menghenÂtikan pencarian. Saya bisanya berdoa saja, agar tante dan nenek tenang di sana," mata Nadila berkaca-kaca.
Ketua Tim Badan SAR Nasional (Basarnas) Dwi Adi Wibowo memprediksi, masih ada ratusan korban yang belum ditemukan di Perumnas Balaroa, Palu kendati proses pencarian dan evakuasi resmi dihentikan, Kamis (11/10).
"Proses pencarian korban di Balaroa sulit dilakukan karena kondisi reruntuhan bangunan yang berlapis-lapis," ujarnya.
Dwi menambahkan, hingga saat ini tim telah berhasil menemukan tujuh korban. Di antara tujuh korban, hanya satu yang ditemukan utuh dengan ciri-ciri orang dewasa dan berjenis kelamin perempuan. Sedangkan sisanya hanya berupa potongan tubuh, seperti kepala dan kaki.
"Tiga korban adalah orang dewasa, dua korban anak-anak, dan satu korban tidak teridentiÂfikasi," sebut dia.
Dwi mengatakan, setelah proses evakuasi korban beraÂkhir tim akan membantu masa transisi, yakni membersihkan puing-puing bangunan. Warga, kata dia, tetap dilarang mendekat ke lokasi terdampak gempa.
"Takut ada bakteri dan penyakit dari mayat-mayat yang tertimbun," ujarnya.
Selain itu, kata Dwi, pecahan kaca, paku yang berserakan, sertakawat-kawat tajam di lokasi akan membahayakan orang-orang yang melintas.
Siapa Pun Yang Bisa, Bertindaklah Segera
Wakil Wali Kota Palu, Sigit Purnomo alias Pasha menyeÂbut, ada tiga tahap dalam penanggulangan bencana. Pertama, tahap tanggap darurat.
Pada tahap tanggap darurat, melakukan evakuasi terhadap korban. Tapi, kondisi lapangan, membuat upaya evakuasi sulit dilakukan secara maksimal. "Evakuasi di Petobo dan Balaroa sulit dilakukan yang kontur taÂnahnya lembek," ujar Pasha.
Selanjutnya, kata Pasha, peÂmerintah melakukan pendataan. Tujuannya, untuk mengetahui berapa banyak korban, rumah yang rusak dan fasilitas apa saja yang harus diperbaiki pasÂcabencana.
Namun, ia mengatakan, personel Pemkot Palu tidak menÂcukupi untuk mengurusi seÂluruh kebutuhan para korban. Pasalnya, jumlah personelnya sanÂgat kurang. "Jangankan personel untuk bekerja di lapangan, untuk mengangkat logistik di posko ruÂmah jabatan wakil wali kota saja butuh orang," imbuhnya.
Dalam kondisi seperti ini, kata Pasha, siapa pun yang bisa bertindak, maka bisa bertindak segera. "Bagaimana caranya 50 orang menangani kebutuhan seÂluruh Kota Palu pasca bencana," ucapnya.
Dia menambahkan, hingga saat ini banyak warga dari kaÂbupaten sebelah mengungsi di wilayah Kota Palu.
"Mereka meminta tolong supaya ada yang membantu memenuhi kebutuhan hidup mereka," kata Pasha.
Terkait proses evakuasi yang dihentikan sejak Kamis (11/10), Pasha tidak mempermasalahkan. Sebab, penghentian evakuasi pasti ada dasarnya. "Memang di dalam puing dan tanah masih ada korban gempa. Tapi usia korban yang tertimbun puing dan tanah sudah 12 hari. Apakah masih mungkin korban-korban tersebut bisa diangkat," tanya dia.
Tak lupa, Pasha mengimbau masyarakat Kota Palu agar tetap tenang. Sebab, berdasarkan teori dari BMKG, tidak akan lagi teruÂlang gempa besar seperti yang terjadi pada Jumat (28/9).
"Memang saat ini masih ada gempa, tapi kekuatannya kecil. Kami tetap berupaya memberikan motivasi dan penguatan kepada masyarakat Kota Palu," pungkasnya.
Latar Belakang
Tren Gempa Susulan Semakin Melemah & Menuju Kestabilan Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana gempa dan tsunami yang melanda Palu, Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah menelan korban jiwa sebanyak 2.073 hingga Kamis (11/10).
Dari jumlah tersebut, wilayah Palu sebanyak 1.663 orang, Donggala 171 orang, Sigi 223 orang, Parigi Moutong 15 orang, dan Pasangkayu 1 orang. Seluruh jenazah sudah dimakamkan, rinciannya 994 di pemakaman massal, dan 1079 dimakamkan oleh keluarga.
Korban luka mencapai 10.679 orang dan korban hilang yang dilaporkan keluarga 680 orang. Jumlah pengungsi tercatat sebanÂyak 87.725 orang, dengan 78.994 di antaranya tersebar di 112 titik pengungsian di Sulteng.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, kondisi Sulteng setelah gempa, sudah berangsur membaik. Melihat data yang diperoleh dari BMKG, gempa yang dirasakan warga seÂtempat semakin berkurang, baik jumlah maupun intensitasnya. "Kami harap tak ada lagi gempa besar," ucapnya.
Menurut Sutopo, sejak tsuÂnami Jumat (28/10), sudah terjadi 523 kali gempa, dengan 17 kali diantaranya bisa dirasakan. Trennya makin lama makin lemah, menuju kestabilan.
"Adapun gempa di Situbondo, Jawa Timur, itu terpisah, tak ada hubungannnya dengan gempa di Sulawesi Tengah," tegasnya.
Melihat kondisi terkini yang masih membutuhkan beberapa penanganan darurat, pemerintah daerah Sulteng, kata Sutopo, meminta agar masa tanggap darurat diperpanjang hingga 26 Oktober 2018 karena masih banyak masalah di lapangan. Seperti sarana-prasarana, hunian sementara, medis, pembersihan puing-puing bangunan.
"Maka diperlukan kemudahan akses," tandasnya.
Di sisi lain, proses pencarian dan evakuasi resmi dihentikan tanggal 12 Oktober 2018. "Kalau ada warga yang mencari sendiri korban, kita imbau tak melakuÂkan. Karena kondisi jenazah suÂdah rusak dan bisa menimbulkan penyakit," tegasnya.
Terkait rehabilitasi dan reÂkonstruksi, kususnya warga tiga desa yang ditelan likuifaksi atau pencairan tanah, kata Sutopo akan memakan waktu 1-2 tahun mulai dari relokasi hingga huniÂan sementara. Karena tak hanya rumah yang dibangun, tapi juga mata pencaharian mereka.
"Rumah-rumah yang dibangun, dirancang tahan gempa. Sambil menunggu, mereka ditempatkan di hunian sementara," kata dia.
Sementara, Koordinator Sekber Perlindungan Anak Kementerian Sosial (Kemensos) Febriadi mengatakan, pihaknya sudah menerima data anak hilÂang atau terpisah sebanyak lebih dari 50 anak, baik dari registrasi langsung di Sekber, maupun haÂsil aduan melalui jejaring media sosial, juga selebaran hingga Minggu (7/10).
Tim dari Sekber Perlindungan Anak, kata Febriadi, benar-benar mencermati semua tahapan sebelum anak-anak tersebut berada dalam pengasuhan pihak lain.
"Bahasa tubuh, baik si anak maupun pengasuh yang baru, kami cermati. Bila ada indikasi mencurigakan atau anak menoÂlak dengan reaksi tertentu, kami akan batalkan," ujar Febriadi.
Menurut Febriadi, bila masuk laporan terkait anak hilang, maka Sekber akan menyebarkan foto anak dengan menggunakan berbagai saluran informasi. Seperti, melalui jaringan relaÂwan yang ada di sini.
"Atau kami menyebarkan foto di sejumlah tempat, temasuk posko-posko bantuan tanpamenÂcantumkan identitas," ujarnya.
Febriadi mengatakan, pihaknya akan akan berusaha memÂpertemukan anak yang terpisah dari keluarganya. Kemensos, kaÂta dia, menemukan empat anak yang terpisah dari keluarganya akibat gempa dan tsunami.
"Tiga di antaranya telah berÂhasil dipertemukan dengan keÂluarganya. Sementara, satu anak lainnya masih tahap pencarian anggota keluarga."
Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kemensos Nahar menamÂbahkan, pencarian orangtua atau pihak keluarga, menjadi salah satu upaya prioritas bagi anak-anak korban bencana alam.
"Kalau orangtua atau pihak saudara tidak ditemukan, itu akan dicatat, kemudian dipastikan ada tempat aman sementara, sambil menunggu kejelasan ada yang mencari atau tidak," ujar Nahar.
Nahar menjelaskan, tidak ada istilah adopsi anak dalam situasi pascabencana. Sebab, adopsi anak memiliki prosedur tersendiri. Dia menegaskan, kebijakan pengasuhan mungkinbisa dijalankan bagi anak yang kehilangan orangtuanya pascabencana, yaitu melalui pengasuÂhan sementara.
"Tetap melalui proses dan terÂcatat di dinas sosial, kemudian orang yang mau mengasuh jelas siapa dia," imbuhnya.
Menurut Nahar, proses itu dibutuhkan untuk menghindari perdagangan manusia, penculiÂkan, maupun perdagangan organ tubuh. ***