Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai akan ada perbedaan pendapat mengenai MPR dan TAP-TAP MPR walau sudah diputuskan.
Perbedaan itu salah satu contohnya yakni, ketika bicara tentang TAP MPR, ada yang menyatakan bahwa TAP MPR itu adalah sebuah norma hukum, norma yang masih berlaku. Tapi, ada juga yang mengatakan bahwa itu (TAP MPR) hanya etika saja.
Menurutnya jika TAP MPR menjadi norma hukum, maka kemudian TAP MPR harus menjadi acuan, menjadi landasan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Karena kalau dia sebagai norma kan dia (TAP MPR) mesti masuk dalam hirarki di atas undang-undang jadi, konsekuensinya adalah proses pembentukan undang-undang ya itu harus mengacu kepada TAP MPR (ex-officio), tapi kalau dia hanya sebagai etika ya maka dia hanya sebagai sebuah landasan moral etik saja. Dia atau TAP MPR tidak punya konsekuensi apa-apa. Nah ini menurut saya harus diselesaikan," ujar Refly saat sarasehan Nasional bertema "Memperkuat Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR dalam Sistem Hukum Indonesia" yang digelar oleh MPR RI, di Gedung Nusantara IV, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Sabtu (18/8).
Ketetapan MPR yang sudah ada memiliki sifat mengatur dan bersifat keputusan (beschikking). Hal ini dikuatkan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011. Di sisi lain ada kesepakatan pasca amandemen UUD 1945 bahwa MPR tidak bisa lagi mengeluarkan TAP MPR yang besifat mengatur
Menurut Refly jika bicara soal dibuatnya produk Ketetapan MPR yang bersifat
beschikking yang baru ke depannya, lagi-lagi ada perbedaan.
Salah satu pihak ada yang mengatakan MPR bisa membuat produk yang bersifat beschikking yaitu Ketetapan MPR mengenai pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, bahkan dilampiri dengan visi dan misi.
"Tapi ada juga yang mengatakan tidak perlu, cukup bahwa produk yang bersifat beschikking MPR dua hal saja yakni soal penetapan Presiden dan Wapres jika pemilihan melalui MPR dalam konteks Presiden dan Wapres berhalangan dan ketika mengubah dan menetapkan konstitusi saja baru kemudian bisa membuat produk yang sifatnya beschikking. Nah hal-hal seperti ini, saya rasa harus diselesaikan," ujarnya.
Refly mengatakan hal selanjutnya yang penting adalah soal amandemen konstitusi. Jika dilihat, hanya ada dua materi saja yang dipersoalkan. Pertama, adalah materi tentang kewenangan MPR yang dianggap tidak terlalu kuat lagi sehingga ada pihak yang menantang kembali saja kepada yang lama atau kembalikan kewenangan MPR seperti dulu. Kedua adalah, mengenai tidak adanya Pancasila di dalam pasal-pasal dalam UUD.
Terhadap kedua materi persoalan tersebut, Refly menilali tidak perlu dilakukan perubahan konstitusi. Namun jika bicara mengenai soal-soal yang teknis dan substantif perlu perubahan konstitusi.
"Soal yang teknis misalnya, betapa sulitnya UUD kita ini naskahnya 'enggak karu-karuan'. Kalau di Amerika naskah asli bisa kita baca lalu kemudian ada 27 amandemen itu dilampirkan ya kan tapi naskah asli tetap bisa kita baca. Kalau kita perubahannya terlalu fundamental dan terlalu banyak semua diubah, sehingga antara naskah asli dan perubahan itu itu sudah berbeda sama sekali dari sisi paradigma bahkan menghilangkan lembaga," terang Refly.
Untuk kepentingan teknis ke depan, menurut Refly, perlu ada perubahan UUD cukup mengatakan bahwa UUD Indonesia itu adalah UUD yang ada sudah berubah dan kemudian diletakkan dalam satu naskah. Jadi, UUD itu dalam satu naskah, satu kesatuan jadi bentuknya bukan lagi addendum.
"Ini hanya soal teknis, jika kita bicara kepentingan teknis dan akademik ya jauh lebih mudah kalau kemudian semua naskah itu bisa dijadikan dalam satu naskah dan kita tidak lagi mengenal teknis penomoran seperti 8, 18a, 18b dan lainnya. Kita akan betul-betul buat itu dalam sebuah nomor urut yang baik, pengklasifikasian yang baik, nama-nama yang baik dan lain sebagainya yang paling tidak itu dulu teknisnya. Substanstinya tentu ada beberapa ya seperti MPR-nya mau dikemanakan, DPD mau diapakan," ujarnya.
Refly mengungkapkan, dalam sarasehan tersebut, yang bisa diserap tidak hanya soal aturan yang sudah baku formal yang sudah diputuskan tapi ada juga muncul pemikiran-pemikiran yang berbeda dan penting juga untuk menjadi bahan pembentukan keputusan-keputusan konkrit ke depan.
"Inilah pekerjaan-pekerjaan rumah kita yang banyak sekali. Perlu sama-sama bangsa ini sadari memang masalah ketatanegaraan ini yang sudah belasan tahun ini tidak bisa diselesaikan semudah itu dalam satu atau dua seminar yang hanya beberapa jam saja. Tapi, perlu terus pengkajian demi pengakjian dan pembahasan demi pembahasan sampai ditemuka satu titik solusi yang baik untuk semua," tandasnya.
[nes]