Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa Marsekal (Purn) Agus Supriatna. Pemeriksaan terkait pengajuan usul pembelian helikopter Agusta Westland (AW) 101 di era Agus menjabat Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU).
"Kami mendalami mekanisme pengajuan pembelian heli saat saksi masih aktif, tentu saja di Angkatan Udara. Jadi kami klarifikasi sebenarnya saat itu mekanismenya seperti apa sampai kemudian terjadi katakanlah perubahan atau penunjukan atau yang lain-lainnya, apa yang diketahui oleh saksi," kata juru bicara KPK Febri Diansyah.
Pemeriksaan terhadap beÂkas KSAU itu untuk melengÂkapi berkas perkara tersangka Irfan Kurnia Saleh, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri. Perusahaan itu rekanan TNI AU dalam pembelian AW 101 buatan Inggris-Italia.
Usai menjalani pemeriksaan, Agus yang didampingi tim peÂnasihat hukum dan Polisi Militer TNI AU mempersoalkan pihak-pihak yang menyeretnya dalam kasus ini.
"Sebetulnya dari awal dulu saya tidak mau bikin gaduh, bikin ribut permasalahan ini. Karena AW 101 ini harusnya teman-teman juga tahu, coba tanya kepada yang membuat masalah ini tahu enggak UU APBN? Tahu enggak mekanÂisme anggaran APBN itu seperti apa? Kalau tahu, tidak mungkin melakukan hal ini," katanya.
"Yang kedua tahu enggak peraturan Menteri Pertahanan Nomor 17 tahun 2011. Kalau taÂhu, tidak mungkin juga melakuÂkan ini. Dan ada juga Peraturan Panglima Nomor 23 Tahun 2012. Kalau memang betul tahu tidak mungkin juga melakukan hal ini," lanjut Agus.
Menurut Agus, permasalaÂhan pembelian heli AW 101 bisa diselesaikan bila Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI saat itu, Gatot Nurmantyo duduk bersama.
"Sebenarnya ini semua tuh bisa (selesai dengan) duduk berÂsama. Duduk bersama level-levÂel Menteri Pertahanan, Panglima TNI yang sebelumnya, saya, kita duduk bersama," katanya.
Agus heran ketika dirinya masih aktif sebagai KSAU tak ada satu pun pihak yang bertanÂya mengenai pembelian heli AW 101. Namun, setelah pensiun, pembelian heli baru dipersoalÂkan. "Jadi saya ingin sampaikan itu. Saya berharap kita lebih baik duduk bersama, kita bicara blak-blakan," katanya.
Teguh Samudra, penasihat hukum Agus menambahkan pihak yang disebut membuat gaduh persoalan heli ini adalah Panglima TNI sebelumnya.
"Mestinya sudah tahu kan, pertama kali yang beritakan ini dan umumkan di KPK ada Tipikor siapa? Kan mantan panglima. Padahal ada aturan panglima sendiri," sebutnya.
Berdasarkan catatan, kasus dugaan korupsi pembelian heli AW 101 diumumkan Gatot Nurmantyo ketika masih Panglima TNI bersama Ketua KPK Agus Rahardjo.
Dalam konferensi pers di KPK, 26 Mei 2017, Gatot memÂbeberkan tahapan penyelidikan kasus dugaan korupsi pembeÂlian heli AW 101. "Sama-sama kita mengetahui, pengadaan ini menjadi trending topic dan saya dipanggil Presiden. Presiden menanyakan ‘Kenapa terjadi seperti ini? Saya jelaskan di sini bagaimana ceritanya tapi tidak seÂcara panjang lebar," kata Gatot.
Gatot menuturkan, pada rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo pada 3 Desember 2015, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyimpulkan isi rapat. Dalam risalah Seskab Nomor 288/seskab.dkk/12/2015 disÂebutkan bahwa arahan Presiden adalah sebagai berikut: "Kondisi ekonomi saat ini belum benar-benar normal, maka pembelian helikopter AgustaWestland beÂlum dapat dilakukan. Tapi, kalau kondisi ekonomi sudah lebih baik lagi bisa beli. Jadi untuk saat ini jangan beli dulu."
Menurut Gatot, Presiden ingin pembelian heli AW 101 dilakuÂkan dengan kerangka kerja sama government to government (G to G). Kemudian Seskab memÂbuat surat ke KSAU Nomor B230/Seskabpolhukam/4/2014 tanggal 12 April 2016 perihal prediksi realisasi pengadaan alutsisia 2015-2016. Salah satu pokoknya adalah rencana penÂgadaan realisasialutsisa TNI AU produk luar negeri.
Gatot setuju pengadaan alutÂsista TNI sebagai bagian perÂalatan pertahanan keamanan harus memperhatikan ketenÂtuan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
"Pengadaan alat pertahanan keamanan produk luar negeri hanya dapat dilakukan apabila belum dapat diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri sesuai dengan pasal 43 Undang Undang 16/2012," kata Gatot.
Pada rapat terbatas 23 Februari 2016, Presiden Jokowi memberiÂkan arahan. Intinya seluruh keÂmenterian atau lembaga mengÂgunakan produk dalam negeri. Ternyata muncul perjanjian kontrak Nomor KJP/3000/1192/ DA/RM/2016/AU tanggal 29 Juli 2016 antara Mabes TNI AU dengan Diratama Jaya Mandiri tentang pengadaan heli angkut AW 101.
Menyikapi itu, Gatot menerÂbitkan surat kepada TNI AU Nomor B4091/ix/2016 tanggal 14 September 2016 tentang pembatalan pembelian heli AW 101. "Ini yang saya jelaskan ke presiden, tapi yang sekarang saÂya sampaikan tidak keseluruhan. Setelah itu presiden bertanya ke saya 'Kira-kira kerugian negara berapa Bapak Panglima?'. Saya sampaikan ke Presiden, 'Kira-kira minimal Rp150 miliar'. Presiden menjawab, 'Menurut saya lebih dari Rp 200 miliar'. Bayangkan Panglima menyamÂpaikan (angka) seperti itu tapi Presiden lebih tahu, kan malu saya," tutur Gatot.
Menurut Gatot, Presiden meÂmerintahkan mengejar terus pelaku pengadaan helikopter AW-101 tersebut. "Kejar terus Panglima. Kita sedang mengeÂjar tax amnesty, demikian kata Presiden. Maka saya berjanji ke Presiden akan membentuk tim investigasi," kata Gatot.
Ia pun membuat surat perintah Nomor Sprin 3000/xii/2016 tangÂgal 29 Desember 2016 tentang pembentukan Tim Investigasi Pengadaan Pembelian Heli AW 101. Hasil investigasi awal disÂerahkan kepada KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto yang dilantik pada Januari 2017. Maka pada 24 Februari 2017, Hadi mengirimÂkan hasil lanjutan investigasi.
"Dari hasil investigasi KSAU semakin jelas, tetapi ada pelaku-pelaku bukan dari TNI, karena korupsi ini konspirasi. Bermodal investigasi KSAU, saya ucapkan terima kasih Pak KSAU, saya bekerja sama dengan Kepolisian, BPK, khususnya PPATK dan KPK untuk melakukan penyeÂlidikan intensif terus menerus," tambah Gatot.
Gatot sengaja merahasiakan investigasi yang dilakukan TNI. Tujuannya agar tak terendus para pelakunya. "Rekan-rekan media sering bertanya kapan? Saya diam karena belum ada kepastian dan menggunakan berbagai macam silat, teknik termasuk Pak KSAU mengaÂtakan proses pengadaan sesuai prosedur ini sebenarnya teknik untuk mengelabuhi para calon tersangkanya sehingga merekaenjoy, merasa tidak ada masalah'," ujar Gatot.
Kilas Balik
Bos Diratama Ajukan Perusahaan Pendamping
Ikut Tender Heli
KPK menelusuri transaksi pemÂbayaran uang proyek pengadaan helikopter Agusta Westland (AW) 101. Ratna Komala Dewi, marketing funding officer Bank BRI cabang Mabes TNI Cilangkap dikorek mengenai hal itu.
Ratna Komala Dewi diperiksa sebagai saksi perkara tersangka Irfan Kurnia Saleh, bos PT Diratama Jaya Mandiri. PT Diratama adalah rekanan yang ditunjuk TNI Angkatan Udara untuk menyediakan helikopter angkut buatan Inggris-Italia itu.
"Bagaimana prosedur pembaÂyaran uang muka heli AW-101. Kapan dilaksanakan, bagaimana pembahasannya, serta beraÂpa anggaran uang muka yang dibayarkan, tengah didalami," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.
Ratna Komala Dewi dipangÂgil karena mengetahui proses itu. Saksi diminta menjelaskan mengenai sejumlah bukti dan keterangan yang telah dikanÂtongi penyidik.
"Pokoknya soal-soal pembaÂyaran uang muka yang menggunaÂkan sarana perbankan," katanya.
Pengusutan kasus heli AW 101 dilakukan lewat mekanisme joint investigation antara KPK dengan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Pelaku dari kaÂlangan militer ditangani Puspom TNI. Sedangkan KPK menyidik pelaku dari kalangan sipil.
Awalnya Puspom TNI menÂetapkan empat tersangka. Yakni bekas Kepala Dinas Pengadaan TNI AU Marsekal Pertama Fachri Adamy yang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pembelian heli, Kepala Unit Layanan Pengadaan TNI AU Kolonel FTS, Letnan Kolonel WW selaku Pejabat Pemegang Kas, dan Pembantu Letnan Dua SS yang berperan memberiÂkan uang ke sejumlah pihak. Belakangan, Asisten Perencanaan Kepala Staf TNI AU Marsekal Muda Supriyanto Basuki menyÂusul ditetapkan tersangka.
Sementara, Irfan Kurnia Saleh, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri ditetapkan sebagai terÂsangka dari kalangan sipil dan perkaranya ditangani KPK.
Dari hasil penyelidikan berÂsama, diduga Irfan mengatur proses lelang pengadaan heli. Irfan sudah meneken kontrak dengan Agusta Westland pada Oktober 2015, sebelum lelang heli dibuka. Adapun nilai konÂtraknya 39 juta.
Namun setelah proses lelang dimenangkan pada bulan Juli 2016, PT Diratama mengajukan harga Rp738 miliar kepada TNI AU. Pembengkakan biaya ini menyebabkan kerugian negara Rp224 miliar.
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengemukakan, tersangka Irfan juga diduga seÂbagai pengendali PT Karya Cipta Gemilang (KCG). Perusahaan itu menjadi pendamping PT Diratama Jaya Mandiri dalam lelang pengadaan heli AW 101.
Irfan disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. ***