SEJUMLAH sahabat memposting berita portal Detikdotkom di WA, tentang perintah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar KPK menetapkan Boediono, sebagai tersangka dalam skandal Bank Century.
Skandal Bank Century ini terkenal dengan bobolnya uang sebanyak Rp 6,7- triliun dari Bank Indonesia atau Bank Sentral.
Bank Sentral tersebut bermaksud menyelamatkan bank swasta papan bawah itu dari krisis likuiditas, kekurangan uang tunai. Para nasabah Bank Century menuntut pengembalian uang mereka yang disimpan di bank tersebut.
Yang aneh dan mengherankan, sekalipun BI sudah mengeluarkan duit yang begitu banyak untuk membantu nasabah Bank Century dari kerugian, tetapi justru banyak nasabahnya yang mengeluh dan mengaku, tidak menerima apa yang menjadi hak mereka.
Lalu muncul berbagai pertanyaan yang tak ada jawaban. Kemana jadinya uang sebanyak itu?
Keluhan sejumlah nasabah Bank Century ini, sempat diwujudkan dalam berbagai demo di Jakarta. Kejadiannya di awal periode kedua pemerintahan SBY ( 2009 - 2014).
Namun seiring dengan perjalanan waktu, skandal Bank Century ini, kemudian hening. Baru pekan ini muncul, setelah seorang eks pejabat senior Bank Indonesia, Budi Mulya menggugat Boediono dan beberapa pejabat BI.
Budi Mulya sendiri dijatuhi hukuman penjara 15 tahun oleh Mahkamah Agung. Budi Mulya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung setelah ada putusan sebelumnya dari Pengadilan Tinggi yang menjatuhinya hukuman 10 tahun penjara.
Intinya persoalannya, Budi Mulya dianggap bersalah memberikan persetujuan atas pencairan dana triliunan rupiah tersebut.
Merasa menjadi korban dan atasannyalah yang semestinya bertanggung jawab atas bobolnya uang sebanyak Rp 6,7 triliun dari brandkas BI, Budi Mulya kemudian menggugat Boediono dkk.
Secara hirarki di Bank Indonesia, Budi Mulya, merupakan bawahannya Boediono.
Setelah skandal terkuak, Budi Mulya masuk penjara, sementara Boediono sebagai atasan tertingginya, bahkan menjadi Wakil Presiden 2009-2014.
Artinya selama Budi Mulya menjalani hari-hari yang menyakitkan di dalam penjara, atasannya justru menikmati segala kehidupan berkadar “karpet merahâ€.
Sekalipun belum tentu KPK mengikuti perintah Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan, tetapi peristiwa hukum ini, dari sisi informasi sudah merupakan sebuah berita berskala besar.
Bahwa akhirnya ada lembaga peradilan tingkat paling bawah yang berani “keluar dari kerumunan†dengan memerintahkan KPK, mengambil langkah hukum lanjutan.
KPK sendiri sebuah lembaga negara yang “kedudukannya†lebih tinggi atau instansi tertinggi dalam kegiatan pemberantasan korupsi.
Jadi kalau KPK menindak lanjuti perintah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, berita ini kemungkinan besar akan menyemangati para pihak pegiat anti korupsi.
Jarang-jarang ada lembaga lebih rendah mengeluarkan perintah untuk lembaga yang lebih tinggi statusnya.
Sehingga jika akhirnya Budiono yang pernah menjadi RI-2, digiring petugas KPK ke dalam penjara, seperti bekas pejabat tinggi negara lainnya, peristiwa ini, tentu tidak sekedar sebuah peristiwa hukum. Sekaligus sebuah peristiwa politik.
Memang perintah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, tidak terkait dengan persoalan yang berkaitan dengan jabatan Boediono sebagai (eks) Wapres. Melainkan khusus sebagai Gubernur Bank Indonesia.
Juga, bukan hanya Boediono yang diminta oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk ditetapkan sebagai tersangka.
Masih ada yang lainnya lagi. Di antaranya Mulyawan Hadad, yang kalau tidak keliru baru saja menduduki pos Duta Besar RI di untuk Swiss. Negara yang dikenal sebagai tempat penyimpanan “uang-uang panas†alias hasil korupsi oleh para mantan diktator dari negara-negara miskin di dunia.
Tetapi jabatan eks Wapres dan Duta Besar, akan tetap melekat dalam kasus ini, di dalam jati diri mereka.
Bisa dibayangkan, reaksi media-media internasional, jika KPK menjerat seorang Budiono dan sahabatnya Mulyawan Hadad.
Keduanya akan diberi label sebagai bekas Orang Nomor Dua dari negara yang memiliki penduduk terbesar ke-4 di dunia, plus seorang diplomat yang ditempatkan di negara yang dikenal sebagai “tempat pencucian uangâ€.
Atas pemberitaan itu, kemungkinan besar KPK akan diacungi jempol oleh dunia internasional. Disejajarkan dengan RRT yang berani menghukum para pejabat atau eksi petinggi negara.
Tapi kemungkinan lain yang terjadi, Indonesia akan makin dikritik. Sebab bersamaan dengan kejadian ini, KPK terus melakukan OTT untuk para koruptor “kelas teri†yang rata-rata menduduki posisi penting di daerah.
Kemungkini kritikan itu berbunyi bahwa korupsi sudah demikian parahnya di Indonesia. Sebab yang menjadi pelakunya justru para pengelolah negara. Dari level Wakil Presiden dan Duta Besar.
Bukannya ada rasa sentimen pribadi ataupu profesional terhadap Budiono, apalagi Mulyawan Hadad. Sehingga dalam judul tulisan ini secara khusus saya beri penekanan“ ini baru beritaâ€.
Penekanan atau penegasan ini muncul, sebab berita tentang perintah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, sungguh mengejutkan.
Skandal Bank Century sudah sempat saya singkirkan dari ingatan.
Sementara, sudah sejak awal, saya memang kritis dalam melihat sebuah kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara.
Sebab yang saya cermati pemberitaan-pemberitaan media tentang kasus Bank Century, tidak banyak menyinggung atas peran strategis dan penting dari Budiono sebagai Gubernur Bank Indonesia, dalam skandal Bank Century ini.
Entah alasan kode etik atau ada alasan kuat lainnya, tetapi hampir semua pemberitaan condong menyudutkan ataupun mempermasalahkan peran Sri Mulyani Indrawati (SMI), sebagai Menteri Keuangan.
SMI semakin dicurigai, karena setelah skandal Bank Century terkuak, Presiden SBY menggantinya sebagai Menteri Keuangan.
Tapi karena SMI juga langsung mendapat posisi penting di Bank Dunia, sayapun menjadi bertanya-tanya.
Ah, capek deh.
Dalam ingatan saya, di era KPK dipimpin Abraham Samad, pejabat investigasi dari lembaga anti-rasuah ini, pernah memeriksa Boediono. Tetapi karena pemeriksaan itu tertutup dan dilakukan di Kantor Wakil Presiden, bagaimana hasil pemeriksaan dan kabar lengkapnya, tak pernah terungkap.
SMI juga disebut-sebut sempat diperiksa oleh KPK. Tapi bagaimana hasilnya, tak ada yang tahu.
Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, saya memang mempertanyakan soal keterlibatan dan ketidak-terlibatan Budiono.
Parameter yang saya gunakan sederhana.
Sebagai Gubernur, orang nomor satu di Bank Sentral tersebut apa iyah - dia tidak tahu sama sekali keluarnya uang sebanyak Rp. 6,7- triliun tersebut ?
Saya berasumsi, untuk masuk ke kawasan Bank Indonesia saja, memerlukan prosedur dan pemeriksaan ketat. Apalagi mau mengangkut pecahan rupiah berjumlah triliunan.
Setidaknya Gubernur BI mendapat laporan atau bahkan dia yang harus memberi persetujuan terakhir boleh tidaknya uang triliunan rupiah itu dikeluarkan dari Kompleks BI.
Dan mengapa yang dijadikan pesakitan justru pejabat BI yang lebih rendah jabatan mereka dari Gubernur BI ?
Jujur, sebagai Jurnalis yang pernah banyak “mendengar†cerita atau skandal berbasis kejahatan “krah putihâ€, kejahatan orang-orang berdasi, saya sempat berpikir jangan-jangan skandal Bank Century ini, masuk dalam kategori ini.
Karena kata orang bijak, yang selamat dari skandal-skandal besar biasanya mereka yang berpenampilan necis, berdasi.
Atau sebuah skandal yang melibatkan orang-orang berdasi, biasanya akan lenyap dengan sendirinya, seiring dengan perjalanan waktu.
Di saat matahari terbenam, di saat yang sama, skandalnya ikut tenggelam ke perut bumi.
Ternyata saya salah.
MAREEE, kita tunggu bagaimana akhir cerita Skandal Bank Century.
[***]
Penulis merupakan Wartawan Senior