KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo yang tidak langsung merekrut Luhut Panjaitan, seorang Jenderal pensiunan, sebagai anggota kabinetnya dalam bulan Oktober 2014 sempat menimbulkan tanda tanya besar.
Pasalnya, Luhut Panjaitan merupakan satu-satunya jenderal pensiunan yang “mandi keringat†memperjuangkan Joko Widodo dan pasangannya Jusuf Kalla, memenangi Pilpres 2014. Luhut secara terbuka membentuk tim khusus dan membiayainya sendiri, yang antara lain memantau perhitungan suara Pilpres melalui “dunia mayaâ€.
Jenderal pemberani ini juga satu-satunya sosok yang tercatat dalam dokumen “google†yang menemui Presiden SBY menjelang Pilpres 2014.
Dimana kepada Jenderal SBY, Luhut yang ditemani delapan Jenderal pensiunan, meminta agar bangsa ini tidak memilih “jenderal bermasalah†untuk menjadi Presiden RI periode 2014 - 2019.
Secara implisit permintaan Luhut kepada SBY tersebut menunjuk ke Prabowo Subianto yang juga seorang Jenderal Kopassus, sama dengan Luhut Panjaitan.
Seorang sahabat yang mengetahui kisah Luhut Panjaitan dan Prabowo Subianto, bersekolah di Jerman Barat, dititipkan pemerintah kepada Jenderal Josef Muskita, saat yang terakhir ini menjadi Dubes RI untuk Jerman Barat, sempat kaget mendengar sikap Luhut terhadap Prabowo.
Soalnya ketika mereka, Luhut dan Prabowo, mengikuti pendidikan anti teroris di Jerman Barat di tahun 1980-an, saat Jerman masih terpecah dua, persahabatan kedua prajurit perwira muda itu, sangat kental.
Yah entah karena sekarang, setelah 30 tahun kembali dari Jerman Barat keduanya masuk dalam kegiatan politik, dan visi serta wawasan politik mereka berbeda, maka berbeda pulahlah, posisi mereka. Atau disinilah salah satu bukti terjadinya perpecahan di kalangan bekas prajurit TNI.
Singkat cerita, hasil perjuangan Luhut Panjaitan, tercapai. Dia punya saham besar menyingkirkan Prabowo dalam persaingan merebut posisi Presiden RI, periode 201–2019. Pasangan Joko Widodo–Jusuf Kalla yang bersaing dengan Prabowo Subianto–Hatta Rajasa, keluar sebagai pemenang dalam Pilpres 2104.
Jokowi berhutang budi pada Luhut Panjaitan.
Namun ketika Joko Widodo – Jusuf Kalla membentuk kabinet, Luhut Panjaitan tidak termasuk dalam rekrutmen anggota kabinet. Pertanyaan-pertanyaan berupa “silent statement†mengemuka. Ada apa yah?
Sampai-sampai muncul suara, bahwa baru dalam rezim Joko Widodo, suka bangsa Batak, tidak terwakili dalam sebuah pemerintah, sejak Indonesia merdeka.
Entah pernyataan bernada primodialis itu berpengaruh atau tidak, nyatanya, hanya dalam hitungan bulan, pemerintahan Jokowi berjalan, dibentuklah sebuah lembaga baru – Kepala Staf Presiden (KSP) dimana Luhut Panjaitan sendiri yang dipercaya memimpin lembaga tersebut. Secara kelakar, akhirnya disebut keterwakilan orang Batak dalam rezim Jokowi sudah terpenuhi.
Sekalipun Kepala KSP tidak berstatus Menteri, tetapi santer disebut-sebut lembaga baru yang masuk kategori “Ring Satu†ini, merupakan ide murni Luhut Panjaitan dan memiliki kewenangan di atas atau minimal setara dengan Menteri.
Semenjak KSP terbentuk, cukup terasa adanya ‘wibawa’ dari sosok Joko Widodo sebagai Presiden.
Masuknya Luhut dalam “ring satu†menghasilkan sejumlah kebijakan yang menunjukkan pengambilan keputusan secara tegas dan cepat, dilakukan oleh rezim Jokowi.
Sayangnya perubahan kabinet, harus terjadi. Sehingga Luhut yang baru beberapa bulan menduduki Kepala KSP harus pindah pos. Presiden menunjuk Teten Masduki, mantan aktifis pemberantasan korupsi selaku pengganti Luhut.
Oleh Presiden Jokowi, Luhut dibutuhkan memimpin pos Menko Polhukam yang ditinggalkan Laksamana Tedjo Edi.
Semenjak menjadi Menko Polkam, mulai terlihat jabatan itu seperti terlalu sempit ruang geraknya. Luhut Panjaitan sepertinya tidak begitu merasa pas dengan jabatan menteri senior tersebut. Aksesnya ke Presiden, tidak seleluasa, sewaktu menjabat Kepala KSP.
Kantor KSP berada dalam satu kompleks, Istana Kepresidenan. Kalau Luhut mau mengetahui apakah Presiden sedang berada di Istana Merdeka atau Istana Negara, dengan mudahnya dia mendapatkan informasi.
Kalau mau bertandang ke ruang Presiden secara tiba-tiba pun tidak masalah.
Berbeda dengan sejak Luhut Panjaitan berkantor di Kementerian Koordinator Polhukam yang terletak di jalan Merdeka Barat.
Letaknya dari segi jarak, tidak terlalu jauh dengan Istana Presiden. Tapi untuk kesana, kalau lagi jalan macet, paling tidak butuh waktu setengah sampai satu jam perjalanan.
Pada perubahan kabinet berikutnya, terjadi kekosongan Menteri ESDM, sehingga Luhut pun dipercaya merangkap sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM.
Disini terlihat, kesediaan Luhut merangkap jabatan tersebut, menunjukkan Luhut merasa masih kurang kewenangan yang diberikan Presiden kepadanya.
Luhut yang doyan kerja keras, sebisa mungkin memiliki kewenangan yang jauh lebih besar supaya bisa menyelesaikan semua persoalan bangsa.
Atau kalau mau diparodikan, sebisa mungkin Luhut diberi jabatan “setengah Presidenâ€. Yang terjemahan atau maknanya adalah, tidak perlu menjadi Presiden, tapi bisa memerintah seperti layaknya Presiden. Tidak juga melewati posisi Wakil Presiden, namun sebisa mungkin Wakil Presiden tidak menjadi atasannya sebagai Menteri Senior.
Terakhir, Luhut melepas kedua jabatan itu dan bergeser atau digeser ke Menteri Koordinator Kemaritiman.
Keputusan Presiden Jokowi yang mempercayakan Luhut Panjaitan untuk posisi di atas, bukannya tak mengundang tanda tanya.
Sebab Luhut yang semakin dikenal sebagai politisi (Golkar), secara porto folio, tidak bisa lagi berpolitik dalam dunia kemaritiman.
Dan ada juga yang bertanya apakah patut seorang jenderal Angkatan Darat lebih dianggap kapabel, memimpin dunia kelautan dari pada seorang marinir ?
Atau apa iya di republik ini sudah tidak ada lagi pensiunan Admiral (Jenderal Angkatan Laut ) yang bisa memimpin kementerian kemaritiman – sehingga Presiden lebih memilih pensiunan dar matra Darat ?
Pertanyaan atau tanda tanda tanya itu lalu mengemuka dalam bentuk perbandingan. Luhut mulai dibandingkan dengan Agum Gumelar dan AM Hendropriyono.
Kedua jenderal Kopassus ini sama dengan Luhut besar di zaman Orde Baru. Bedanya Agum dan Hendro, pernah menjadi Pangdam, sebuah jabatan yang harus menguasai seni teritorial.
Tapi tidak hanya di situ, perbedaan mereka. Peran Agum Gumelar dan Hendropriyono dianggap melebihi Luhut .
Peran Agum dan Hendro atas terjadinya reformasi, relatif sangat besar.
Mereka berdualah yang membantu Megawati Soekarnoputri, pemimpin oposisi dari Partai Demokrasi Indonesia, untuk merongromg rezim Soeharto hingga jatuh di tahun 1998.
Artinya kalau mau dipersingkat, tanpa peran Agum Gumelar dan Hendropriyono, reformasi tidak akan terjadi.
Kaum reformis yang rata-rata sipil, di era Soeharto berani keluar dari persembunyian sebagai penentang rezim Soeharto, karena mereka melihat adanya dua jenderal Kopassus yang tidak lagi merasa nyaman atau searah dengan Jenderal Soeharto.
Loyalitas, mereka korbankan demi sebuah perubahan mendasar.
Tidak berlebihan kalau dikatakan, Agum dan Hendro perlu diangap sebagai Pahlawan Reformasi.
Tidak mengada-ada, kalau Agum dan Hendro layak menjadi “orang kaya†atau mendapat tempat lebih layak sangat wajar. Kalau mau disederhanakan, Joko Widodo, seorang sipil yang tidak dikenal, tak mungkin menjadi orang Nomor Satu di Indonesia, jika tidak ada reformasi politik.
Jadi yang menjadikan Joko Widodo sebagai Presiden, sejatinya adalah Agum Gumelar dan Hendropriyono.
Perbedaan lainnya dengan Agum dan Hendro, rekam jejak Luhut sebagai seorang Jenderal, tidak sempat menjadi Pangdam atau Panglima. Sebuah jabatan yang mengkombinasikan seni memimpin militer secara teritorial.
Luhut, sama dengan Agum dan Hendro, besar di era militer, dimana visi dan misi militer Indonesia, sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan Jenderal LB Moerdani. Jenderal beragama Katolik yang kemampuan melobinya di kalangan umat Islam sangat kuat.
Namun jejak-jejak Benny Moerdani, secara kasat mata ataupun bahasa tubuh, terkesan, hampir tidak mengemuka dalam penampilan Luhut Panjaitan.
Benny Moerdani tidak suka bicara ceplas ceplos. Tidak jarang tindakannya untuk menyelamatkan persatuan dan kesatuan bangsa, baru disadari setelah beberapa waktu.
Benny Moerdani banyak membantu orang untuk menjadi kaya raya. Sekalipun dirinya sendiri atau keluarganya tetapi “miskinâ€. Benny sekalipun memperoleh kepercayaan dari Presiden Soeharto, namun dia tidak pernah secara eksplisit menggunakan nama Presiden.
Mungkin karena Benny sadar atas kemampuannya - mengerjakan dan memgatasi persoalan, tanpa membawa-bawa nama Presiden.
Dalam skala tertentu, Benny Moerdani merupakan penentang nepotisme.
Tetapi dalam soal di atas, yang bertanya, rata-rata hanya dalam hati saja. Hanya berguman.
Kemarin, di luar kebiasaan, Prof. Dr. Saafroedin Bahar, seorang pensiunan jenderal bintang satu yang cukup lama bekerja sebagai staf ahlinya Mensesneg Moerdiono, di era Presiden Soeharto, mengirim sebuah postingan ke saya. Postingan berasal dari harian Republika, media Islam yang didirikan oleh ICMI di era Presiden Soeharto.
Isinya berupa keterangan Luhut Panjaitan selaku Menko Kemaritiman yang mengungkap hasil rapat dengan Presiden dengan beberapa Menteri atau pihak yang terkait.
Sekalipun tidak berbicara, tetapi saya menangkap adanya pesan dari Prof. Saafroedin Bahar melalui postingan itu, bahwa keterangan Luhut Panjaitan yang menyebut Presiden Joko Widodo memerintahkan supaya bandara diserahkan pengelolahannya kepada swasta, secara kepatutan, tidak tepat.
Alasannya hal itu bukan domainnya Luhut Panjaitan. Apalagi dalam rapat tersebut ikut hadir Menteri Perhubungan.
Dan kalau menyimak keterangan Menko Kemaritiman tentang keinginan Presiden, sepertinya keterangan Luhut ibarat pisau bermata dua.
Pertama bisa menunjukkan bahwa Presiden memiliki ide yang sulit diterima dalam kondisi saat ini atau juga Presiden ingin melakukan terobosan demi kemajuan pembangunan bangsa.
Tetapi apapun alasannya, Prof Saaf menilai adanya ketidak patutan dari keterangan itu. Apalagi dikaitkan perbedan Luhut dan Presiden dalam soal kebijakan Menteri Kelautan Susi Pujiastuti.
Luhut meminta Susi menghentikan penenggelaman kapal pencuri ikan, sementara Presiden mendukung Menteri Susi.
Saya berani menyimpulkan demikian, karena Professor Saafroedin, sekalipun sudah cukup umur, tetapi kepeduliannya terhadap persatuan dan kesatuan bangsa, sangat kuat.
Dan pernyataan Presiden dan Menteri seperti di atas, cukup terasa, persatuan dan kesatuan bangsa sedang berada dalam ancaman besar.
Kalau para pemimpin yang dipercaya rakyat, tidak bisa bersatu lagi, bagaimana rakyat yang di bawa?
Jenderal Saaf, termasuk yang melihat amandeman UUD 45 tahun 2002, harus diubah kembali dan kita balik ke UUD 45 yang asli. Supaya bangsa Indonesia tidak hidup dalam perpecahan.
Jenderal Saaf juga mengkritisi berbagai sikap dan cara Jenderal Luhut melakukan aktualisasinya di bidang pemerintahan. Hanya saja sikap kritis itu dilakukannya dengan penuh santun dan hanya diposting di media sosial, Facebook, yang belum tentu dibaca orang.
Ringkasnya, saya menafsirkan sebetulnya Prof Saaf ingin mengungkapkan bahwa keberadaan Jenderal Luhut dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo sangat diperlukan. Sayangnya Presiden kurang tepat memposisikannya.
Jenderal Luhut seorang nasionalis dan idealis. Namun dia merupakan “The Right Man In The Wrong Placeâ€. Orang yang tepat dan berkemampuan, tetapi posisinya salah tempat.
Kepada Pak Saaf maupun Pak Luhut saya mohon maaf kalau penafsiran saya keliru.
Saya hanya meyakini, kita bertiga sama-sama punya misi dan visi yang sama tentang bangsa kita ini.
Kita hanya berbeda tempat. Saya wartawan yang tidak mungkin disamakan dengan jendral. Tetapi kepedulian saya atas masa depan bangsa ini, juga tidak kalah dengan jenderal manapun.
Perbedan tempat memang bisa melahirkan perbedaan pendapat, termasuk beda pendapatan. Selamat berakhir pekan.
[***]