Langkah pemerintah menargetkan swasembada beras dinilai sudah tidak realistis. Pasalnya, target ini dicanangkan tanpa memperhatikan perubahan-perubahan yang ada di masyarakat.
Selain perubahan, target ini juga dihadapkan pada sejumlah tantangan.
"Kondisi Indonesia saat ini sangat jauh berbeda pada saat swasembada tercapai di era pemerintahan Presiden Suharto. Perubahan-perubahan yang ada antara lain adalah jumlah penduduk yang terus meningkat," kata Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Poicy Studies Hizkia Respatiadi melalui pesan elektronik kepada redaksi, Rabu (24/1).
Dia mengatakan laju pertambahan penduduk Indonesia terjadi sangat cepat. Jumlah penduduk yang bertambah tentu harus diikuti dengan kemampuan lahan pertanian untuk menyediakan pangan.
Perubahan lainnya, kata dia, semakin terbatasnya jumlah lahan yang bisa digunakan untuk pertanian. Gencarnya industrialisasi dan pembangunan infrastruktur menggerus lahan-lahan pertanian masyarakat, sehingga berakibat pada tidak maksimalnya hasil produksi beras baik secara ekstensifikasi maupun intensifikasi.
"Jumlah petani juga terus berkurang seiring dengan berkurangnya akses mereka terhadap kepemilikan lahan. Selain itu regenerasi di kalangan petani juga berjalan relatif lambat karena generasi muda tidak tertarik untuk menjadi petani. Belum lagi sistem irigasi yang sangat tergantung dengan air bersih. Air kini juga rentan pencemaran," ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan Indonesia memiliki tingkat efisiensi yang rendah pada proses pasca panennya. Dari sekitar 57 juta ton padi yang dihasilkan, sekitar 8,5 juta ton-nya (15%) terbuang percuma dalam proses pasca panen.
Hal ini diakibatkan berbagai faktor, seperti jauhnya rentang waktu antara panen dengan proses perontokan bulir padi (threshing) dan juga proses pengeringan yang masih tradisional (dijemur) dan belum menggunakan mesin. Jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan Vietnam, masing-masing hanya kehilangan sekitar 319.000 ton (Malaysia), 3,9 juta ton (Thailand), dan 4,9 juta ton (Vietnam).
"Penguasaan teknologi di kalangan petani juga belum menjadi sesuatu yang memasyarakat di kalangan mereka. Ini tentu membutuhkan waktu," sebut Hizkia.
[dem]