HARAPAN untuk melihat terjadinya perubahan pimpinan DPR RI, setelah kursi Ketua tak bisa lagi diduduki Setya Novanto (Setnov), akhirnya terwujud.
Senin pagi ini, nama Bambang Soesatyo alias Bamsoet dari Golkar, resmi diumumkan oleh partainya sebagai pengganti Setnov dalam sebuah Sidang Pleno lembaga legislatif tersebut.
Dan hanya berselang beberapa menit, Sidang Paripurna DPR RI akan menyaksikan pelantikan dan perubahan di pucuk pimpinan di lembaga tinggi negara tersebut.
Kepastian pergantian selain didapat dari kalangan resmi, juga dibenarkan Bamsoet sendiri, Minggu malam, 14 Januari 2018 di Jakarta.
"Iya bang Derek. Skenarionya seperti itu," ujar Bamsoet ketika ditemui di Café Arcadia, Senayan.
Saat ditemui, Bamsoet tengah menghabiskan cemilan chicken wings bersama Misbakun anggota DPR RI dari Golkar dan Joseph Osdar, eks Jurnalis Parlemen dan Istana Kepresidenan, mewakili harian
Kompas.
Bamsoet, mantan reporter harian
Prioritas dan majalah
Vista, semalam tidak lagi terlihat tegang ataupun sebaliknya euforia. Entah karena kepastian namanya sudah terjadi tiga hari sebelumnya. Atau karena Bamsoet sengaja menahan semua emosi kegembiraan.
Hanya memang, Bamsoet mengakui, terpilihnya dia menjadi ketua DPR RI, tidak pernah dibayangkan olehnya pada 30 tahun lalu, bakal terjadi.
Yah, Bamseot mengaku, sangat berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena di usianya yang masih produktif, dalam dirinya masih berkobar semangat muda, politisi yang gemar bermain golf tersebut, dipilih dan dipercaya menjadi Ketua DPR RI.
"Abang merinding, mendengar kamu jadi ketua DPR-RI. Seperti tidak percaya. Masih terbayang kehidupan kita di Gondangdia lama, sebagai wartawan yang bekerja dalam situasi, entah mau menjadi apa. Sebab harian
Prioritas tempat bekerja ditutup oleh penguasa……..dunia seperti sudah kiamat bagi kita…." kata saya tanpa melanjutkan kalimat tersebut.
Bamsoet hanya tersenyum sambil mengiyakan apa yang saya katakan sembari menggeleng-gelengkan kepala. Kami berangkulan….!
Sebelumnya kami memang janjian bertemu. Untuk sebuah wawancara dan bicara panjang lebar. Antara lain tentang bagaimana Bamsoet akan ‘memimpin’ DPR RI, termasuk 'kocok ulang' pimpinan lembaga legislatif pusat tersebut.
Siapa politisi PDIP yang akan melengkapi kursi pimpinan DPR RI, termasuk bagaimana nasib Fahri Hamzah sebagai Wakil Ketua DPR RI yang tahun 2014 mewakili PKS, namun di tengah jalan berselisih dengan induk partainya.
Terjadi konflik yang berujung di pengadilan dan yang menang adalah politisi asal NTB tersebut. Bahkan dalam kemenangan itu, PKS diwajibkan oleh pengadilan untuk membayar ganti rugi kepada Fahri Hamzah sebesar Rp 30 miliar. Sakit bagi ketua umum PKS, namun nyaman bagi Fahri Hamzah.
Tiba-tiba Bamsoet menerima telepon dan harus meninggalkan pertemuan kami.
Bamsoet, mantan Pemimpin Redaksi harian milik Golkar 'Suara Karya' tersebut, sudah menjadi
VVIP (
Very Very Important Person - Orang Sangat Penting) - harus menghadiri rapat dengan pimpinan salah satu lembaga negara yang cukup penting di negara ini. Sehingga kami pun dalam waktu lima menit, hanya bisa bicara-bicara ringan. Misalnya, bagaimana dia akan menjalankan protokol yang ditetapkan oleh UU maupun konvensi.
Semalam, saya yang paling senior, misalnya didaulat untuk di kepala meja.
"Saya akan seperti dulu Bang….," ujarnya memaknai formasi duduk yang tidak diatur oleh protokol negara.
Sesuai protokol, sebagai Ketua DPR RI Bambsoet akan menggunakan mobil dinas dengan plant nomor RI-6. Dengan kata lain secara hirarki dan nomenklatur kelembagaan, Bamsoet menduduki posisi orang ke-6 di republik ini.
Nomor-nomor sebelum itu RI-1 dan RI-2 (Presiden dan Wakil Presiden), RI-3 dan RI-4 (Ibu Negara dan Ibu Negara - Wapres), RI-5 untuk Ketua MPR-RI dan RI-6, Ketua DPR-RI.
Dengan kedudukannya, dalam acara-acara resmi, pengaturan tempat duduknya pun mengikuti aturan protokol. Misalnya Bamsoet akan duduk sejajar dengan Presiden Jokowi di barisan depan, sementara Airlangga Hartarto - ketua umumnya, bila masih merangkap sebagai menteri, akan duduk di deretan belakang.
Kendaraan dinasnya pun, menempatkan Bamsoet, lebih tinggi. Sebab Menteri Perdagangan menggunakan kendaraan dengan nomor polisi RI-36.
Dan yang paling besar perubahannya, selain menempati rumah dinas secara gratis di Kompleks Perumahan Pejabat Tinggi, Bamsoet dikawal oleh sebuah regu dari kepolisian. Secara penuh, 24 jam sehari.
Manakala Bamsoet keluar rumah dinas, mereka menggunakan sedan, jeep dan motor sebagai
voorijder, dengan sirene 'ngeong-ngeong', berselancar di jalan raya.
Negara memberi fasilitas bagi Bamsoet, hampir sama dengan yang diterima oleh Presiden dan Wakil Presiden.
Inilah yang terus 'menggelitik' kami semua semalam. Sebab dalam hitungan jam, kehidupan kami langsung disekat oleh sebuah perubahan akibat aturan protokol.
Dan keadaan ini pula yang membuat saya terus tersenyum, bila membayangkan kehidupan Bamsoet sebagai reporter junior di bawah tanggung jawab saya di kantor harian
Prioritas, Jl. Gondangdia Lama, Jakarta Pusat.
Surya Paloh pun, sebagai investor harian
Prioritas, kalau jujur, jelas atau pasti, perlu mengakui kesuksesan Bamsoet. Nasib dan perjalanan karir politik SP, dalam tatanan tertentu, tertinggal dari Bamsoet.
Kalau Surya Paloh bukan seorang penakluk panggung dan berjiwa kerdil, tidak sportif, tak bisa dibayangkan - bagaimana sikap bos Nasdem,
MetroTV dan
Media Indonesia, jika bersua secara kebetulan dengan Bamsoet.
Untuk menjadi ketua DPR RI dan bisa punya akses dengan presiden dan wakil presiden RI, Bamsoet, tidak harus mengeluarkan biaya besar dan tenaga yang lumayan meletihkan.
Tanpa menjadi ketua umum Partai Golkar, Bamsoet bisa duduk sejajar dengan Presiden. Surya Paloh, bekas bosnya, harus bisa 'berhak' duduk sejajar dengan Presiden - dan itupun untuk acara tertentu saja, tapi harus terlebih dahulu menjadi ketua umum Partai Nasdem.
Ini hanya sebuah perbandingan ecek-ecek, tidak serius. Dan yang tak kalah menariknya, tanpa harus memiliki media, berbagai kegiatan Bamseot akan diliput oleh media baik lokal maupun internasional.
MetroTV dan
Media Indonesia, diminta atau tidak, akan berusaha mendapatkan informasih dari Bamsoet, agar tidak kecolongan dengan media pesaingnya.
Sesungguhnya, perjalanan hidup Bamsoet merupakan contoh karikatural kehidupan manusia. Bahwa tak satupun yang bisa menentukan nasib seseorang. Kecuali DIA yang Maha Penguasa.
Seseorang yang berada di posisi puncak, jangan pernah meremehkan manusia yanbg berada di bawah telapak.
Kehidupan seperti sebuah roda, yang berputar dari bawah ke atas, terus begitu. Selama masih jalan, selama masih mengarungi kehidupan, posisi atas bawah akan terus berulang permanen.
Sama dengan kursi-kursi lainnya di pimpinan DPR RI. Berbagai upaya dilakukan oleh PKS untuk menggeser Fahri Hamzah dari kursi wakil ketua, tapi sudah lebih setahun hal itu tidak bisa terwujud.
Bahkan kemungkinan besar Fahri Hamzah memang tidak bisa digeser. Bukan karena kedudukannya di sana diatur dalam satu ayat di kitab suci. Melainkan, karena aturan yang dibuat manusia sendiri, para politisi membuat FH tetap bisa bertahan.
Tapi manusia yang membuat aturan tersebut, tidak sadar bahwa dibalik semua itu adalah kekuasaan DIA yang tak bisa ditandingi.
Tidak berbeda banyak dengan PDIP. Yang keluar sebagai peraih suara terbanyak di Pileg 2014, namun tiba-tiba oleh kongkalikong politik, tak bisa menduduki kursi Ketua DPR-RI. Bahkan Wakil Ketua sekalipun.
PDIP bisa berhasil menjadikan kader sekaligus petugas partainya - Joko Widodo menjadi presiden RI. Tapi posisi-posisi lainnya yang juga bergengsi di DPR, tak satupun bisa jatuh ke PDIP.
Sebagai orang yang beragama, saya meyakini semua kejadian di dunia, tidak terjadi begitu saja. Semuanya di dalam rencana DIA, dan bukan oleh kita.
Selamat buat Bambang Soesatyo, adikku yang hari ini menjadi Ketua DPR-RI, sekaligus sebagai salah seorang anggota VVIP di jagad Nusantara.
[***]
Penulis Merupakan Wartawan Senior