PESTA pernikahan Pangeran Charles dan Diana Spencer dari Inggeris, 36 tahun lalu masih merupakan sebuah kisah romansa menarik bagi masyarakat. Tidak hanya oleh masyarakat Inggeris, melainkan seantero dunia. Walaupun pernikahan Charles-Diana hanya bertahan 15 tahun. Namun kisahnya, pestanya tetap saja menjadi buah bibir.
Perhelatan keluarga kerajaan Inggeris itu sempat dijuluki sebagai “Sebuah Pesta Pernikahan Abad†ini.
Ungkapan itu mungkin agak berlebihan. Hanya saja memang tak ada yang mengeritiknya. Tidak ada yang mempersoalkannya. Sebab diyakini, semua biaya perhelatannya menjadi tanggungan keluarga kerajaan, salah satu Monarkhi terkaya di dunia.
Tidak mungkin ada sponsor dari pengusaha, begitu pemikiran yang berkembang pada waktu itu.
Pada tahun 80-an awal itu, Indonesia yang tidak punya kaitan apa-apa dengan pasangan keluarga kerajaan Inggeris tersebut. Akan tetapi tokh ikut senang dan ikut merayakannya. Melalui pantauan dari liputan media.
Sebuah stasiun televisi swasta dari Indonesia, diyakini, membayar sejumlah uang yang nilainya cukup besar - kepada BBC, stasiun televisi Inggeris. Agar bisa mendapatkan hak siar untuk pemirsanya di Indonesia.
Untuk media yang berhasil mendapatkan hak siar dari acara eksklusif tersebut, pada waktu itu, sudah tergolong “sesuatuâ€. Karena pertelevisian saat itu belum lagi masuk ke era industri. Masih langka, pemilik stasiun TV swasta bersedia mengeluarkan biaya besar untuk membayar hak siar sebuah acara seperti itu.
Dunia broadcasting pada waktu itu belum lagi menjadi salah satu lahan yang menghasilkan uang triliunan rupiah per tahun, dari sponsor atau pengiklan.
Harian sore “Sinar Harapan†Jakarta, tempat saya bekerja ketika itu, tercatat media yang ikut meramaikan pemberitaan pesta pernikahan tersebut.
Membiayai wartawannya - terbang ke Inggeris, dengan anggaran yang cukup besar - untuk ukuran kemampuan finansial media di zaman tersebut.
Yang dipercaya menjadi peliput, Umar Nur Zan. Seorang wartawan senior yang pernah tinggal di London.
Pengalaman bekas penerima beasiswa pemerintah Inggeris itu, dianggap cukup menjadi modal dan mampu - sehingga bisa melahirkan berita yang menarik dibaca. Umar Nur Zain sendiri, telah melahirkan novel percintaan yang terinspirasi dengan kehidupan di masa mudanya di ibukota Inggeris tersebut.
Keputusan mengirim Jurnalis Umar Nur Zain sendiri, tak lepas dari visi seorang Pemimpin Redaksi.
Subagyo Pr, Pemred harian sore itu menjelaskan dalam sebuah rapat bahwa liputan pesta pernikahan keluarga kerajaan Inggeris, harus disajikan oleh “Sinar Harapan†secara kontekstual dan komprehensif.
“Jangan sampai meninggalkan kesan dan persepsi keliruâ€, ujarnya.
Sistem politik dan sistem nilai Inggeris dengan Indonesia, berbeda.
Indonesia diperintah oleh Presiden. Inggeris oleh Perdana Menteri, tapi sebelum berkuasa, sekalipun sudah terpilih, masih harus mendapat restu dan pengarahan dari Ratu.
Indonesia, negara demokrasi Pancasila yang dipimpin oleh seorang jenderal. Inggeris negara demokrasi tanpa embel-embel dimana kebebasan persnya dijamin oleh UU.
Indonesia di zaman itu, sensor persnya sangat ketat. Pernyataan pejabat tinggi pemerintah, bisa ditafsirkan sebagai sebuah peraturan bahkan sebuah UU.
Jadi peliputan pesta pernikahan keluarga kerajaan itu, tidak boleh ada unsur insinuatifnya.
Maklum, ketika itu, kami wartawan muda, sudah diajari bagaimana mengeritik pemerintah Orde Baru rezim yang boleh dibilang, anti-kritik.
Salah satu caranya mewawancarai pakar termasuk orang asing yang berbicara tentang keadaan sebuah negara entah itu eksis atau yang anta beranta. Tujuannya hanya satu. Liputan itu bisa membangunkan kesadaran bahwa situasi yang terjadi di Indonesia, kurang lebih sama.
Pemerintahan Shah Iran yang otoriter-militeristik, termasuk yang sering kami jadikan contoh. Mengeritik Rezim Shah Iran, sama saja dengan mengirim pesan kepada rezim Orde Baru.
Indonesia tidak mengenal politik kerajaan, sekalipun saat itu Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, ada yang menjulukinya sebagai “Raja Jawaâ€.
Pokoknya jangan sampai mengesankan “Sinar Harapan†mendukung sebuah sistem politik yang berdasarkan kerajaan atau feodalisme.
Saat itu, di Indonesia sendiri tengah terjadi sebuah kecenderungan (trend).
Pesta pernikahan anak ‘pembesar’ - istilah pejabat untuk saat ini, sering digelar dalam suasana mewah.
Anak-anak pejabat manakala menikah, seusai pernikahan rata-rata merilis sebuah foto dimana Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto, hadir.
Sebuah pesta pernikahan keluarga pembesar di era itu, akan memberi kesan sukses apabila dihadiri oleh Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto.
Pesta pernikahan, acap kali dijadikan forum lobi politik tidak resmi.
Jenderal LB Moerdani, ketika menikahkan putri tunggalnya, secara khusus mengundang Presiden Filipina, Videl Ramos.
Benny mengundang Ramos, sebab kabar selentingan beredar, Presiden Soeharto bakalan tidak hadir di acara pesta putrinya Benny.
Ketidakhadiran Pak Harto di acara Pak Benny, bisa menjadi sinyal, bahwa Benny dalam posisi yang tidak disenangi Pak Harto.
Ketidakhadiran, sinyal tak bagi bagi Benny dan jaringannya. Presiden Ramos hadir dan Pak Harto pun ikut hadir.
Secara diam-diam, pernikahan anak-anak pembesar (pejabat) mulai dijadikan sebuah bisnis dan transaksi.
Rumor yang beredar, seorang anak pejabat yang menggelar acara pernikahannya sering disponsori oleh cukong. Hadiah yang diberikan oleh para undangan, tidak lagi berbentuk uang tunai, apalagi kembang.
Hadiah-hadiah pernikahan, sering berwujud “kunci mobilâ€, “kunci rumah†dan “tiket pesawat terbang†ke sebuah tujuan wisata, lengkap dengan akomodasinya.
Dan yang memberi hadiah pernikahan seperti itu biasanya punya “pamrihâ€. Berharap akan mendapat proyek dari pemerintah. Sebab proyek pemerintah, selalu dilengkapi oleh anggaran yang tak bisa diutak-atik oleh pihak luar.
Bahkan promosi jabatan katanya bisa diraih melalui "jalur lobi pernikahan".
Ketika itu, belum ada lembaga KPK yang memantau penerimaan hadiah atau sogok menyogok melalui sebuah pertalian.
Era pernikahan anak pembesar yang mewah dengan tetamu ribuan orang, sempat menghilang. Sejalan dengan bergantinya zaman dan rezim.
Di era Presiden SBY, kebiasaan ini kembali muncul. Walaupun bentuknya agak berubah, tetapi aroma persamaannya dengan di era Orde Baru, tetap terlihat secara samar-samar.
Klimaksnya ketika jenderal purnawirawan itu menggelar pesta pernikahan puteranya di Istana Bogor dan Istana Cipanas.
“Pak Harto saja, tidak pernah menyelenggarakan pesta pernikahan putera-putrinya di Istana…â€, sindir beberapa kalangan.
Kritik, mulai dari yang bersifat halus, kasar sampai dengan yang sirik, bermunculan.
Dari semua kritikan itu, satu saja intinya. Para pengeritik, tidak ingin melihat Presiden mereka menggelar sebuah pesta, melebihi kepatutan sesuai norma dan ukuran rakyat jelata.
Atau yang berkemewahan, tidak sesuai digelar oleh Presiden, ketika rakyatnya masih banyak yang tidak tahu apa yang akan mereka makan di esok hari.
Memang sulit mengukur tingkat kepatutan itu. Semuanya menjadi relatif.
Yang pasti kritik yang mengesankan, SBY telah menghidupkan kembali – sebuah gaya hidup yang ‘hedonis’, sangat terasa.
Untungnya, SBY mampu menangkis kritikan itu. Masyarakat pun akhirnya melupakan apa yang tadinya tidak berkenan di perasaan mereka.
Pekan ini, giliran Presiden Joko Widodo, menjadi sasaran kritik. Seperti yang terjadi di era Presiden SBY.
Kritik mengemuka, bersamaan dengan pernikahan putri tunggalnya Kahayang Ayu dengan Bobby Nasution.
Yang dipergunjingkan, antara lain ribuan undangan yang akan menghadirinya.
Pesta pernikaahan ini menyedot enerji dan waktu banyak orang. Sebab setelah Solo, masih ada pesta adat selama dua hari di Medan, Sumatera Utara.
Sudah pasti waktu kerja dan perhatian Presiden Jokowi untuk mengurus negara, ikut tersedot.
Pesta ini, sekalipun merupakan hak pribadi, Presiden Joko Widodo, tetapi tak bisa mencegah masyarakat menjadikannya sebuah cerita, buah bibir dengan segala bumbu-bumbunya.
Maklum Jokowi dipersonifikasikan sebagai milik seluruh rakyat Indonesia.
Yang banyak dilupakan oleh semua, membicarakan sebuah pesta, seberapa mewah dan besarpun penyelenggarannya, pada waktunya harus berhenti seiring dengan usainya pesta itu.
Sebab tiada pesta tanpa akhir.
Selamat Pak Jokowi dan Bu Iriana.
Selamat juga buat kedua mempelai, mengarungi bahtera kehidupan baru . Tuhan Allah Memberkati. Amin.
[***]Penulis adalah wartawan senior