Berita

Pertahanan

Jokowi Diminta Segera Urusi Dokumen Baru Pelanggaran HAM Sistematis 1965

JUMAT, 27 OKTOBER 2017 | 17:06 WIB | LAPORAN:

Presiden Jokowi didesak segera mengurusi dokumen baru mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sistematis yang terjadi pada tahun 1965.

Ketua Eksekutif Indonesian Human Rights Committteee For Social Justice (IHCS), David Sitorus menyampaikan, beberapa waktu lalu badan nirlaba NSA (National Security Archive) dan NDC (National Declassification Center) beserta satu lembaga pemerintah Amerika Serikat bernama NARA (National Archives and Records Administration) telah mempublikasikan dokumen ketika terjadi pembunuhan massal pada tahun 1965 yang dikenal dengan Gerakan 30 September atau G 30S PKI.

Dokumen-dokumen tersebut menyebutkan bahwa ada upaya menyingkirkan dan memberangus kelompok kiri yang diwakili PKI (Partai Komunis Indonesia) dan yang sejalan dengan Presiden Soekarno.

”Konflik berdarah yang terjadi pada tahun 1965 memang tidak bisa terlepas dari persaingan Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Efek terhadap konstelasi politik tersebut menyeret Indonesia ke dalam pusaran perpolitikan dunia. Pasca peristiwa Gerakan 30 September yang telah merenggut nyawa para Jendral Angkatan Daratdan jutaan masyarakat lndonesiamenjadikan situasi politik di Indonesia menjadi semakin pelik. Ini harus segera direspon oleh pemerintahan Jokowi,” jelas David dalam surat elektronik yang dikirimkan ke redaksi, Jumat (27/10).

Lebih lanjut, dokumen-dokumen yang telah dirilis tersebut menyebutkan ada upaya pihak yang mendukung dan memanfaatkan kekisruhan yang terjadi di Indonesia pasca kejadian Gerakan 30 September.

Di era itu, lanjut David Sitorus, begitu banyak terjadi pembunuhan di Indonesia, dan lebih banyak terjadi di daerah-daerah yang dikuasai basis komunis. Beberapa daerah tersebut seperti di Sumatera Utara, Pulau Jawa, serta Bali yang tingkat rasio pembunuhan sangat tinggi.

”Dengan diungkap dan publikasi dokumen oleh tiga lembaga tersebut, seharusnya Pemerintah musti menyakapi hal ini.Bahwa ada pelanggaran HAM sistematis yang terjadi pasca peristiwa Gerakan 30 September,” ujarnya.

Indonesian Human Rights Committteee For Social Justice (IHCS) menganggap bahwa dokumen-dokumen tersebut sangat penting dan sudah seharusnya bahan-bahan tersebut menjadi masukan berarti bagi Pemerintah Indonesia dalam mengungkap ataupun meluruskan sejarah yang terjadi pasca peristiwa Gerakan 30 September.

Dikatakan David, peristiwa pembunuhan massal yang terjadi merupakan pelanggaran HAM berat yang harusnya menjadi prioritas dalam agenda penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) pemerintah Indonesia saat ini.

”IHCS mengutuk keras peristiwa Gerakan 30 September yang telah mengakibatkan hilangnya nyawa terhadap para Jendra ldan juga juataan korban lainnya,” ujarnya.

Namun, lanjut dia, IHCS juga menuntut pemerintah Indonesia juga harus melihat bahwa pasca Gerakan 30 September telah terjadi penghilangan pasca nyawa yang jumlahnya mencapai ratusan ribu-jutaan orang rakyat Indonesia dan jutaan orang rakyat Indonesia yang ditahan tanpa proses peradilan.

Dengan dibukanya dan dipublikasikan dokumen tersebut, menurut David, maka IHCS mendesak agar Pemerintah mengkaji dokumen-dokumen tersebut untuk mengusut pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965.

”Itu harus diusut terlepas dari kepentingan politik apapun. Dan hasil kajian tersebut diumumkan kepada publik agar masyarakat mengetahui dengan baik dan benar peristiwa mengenai peristiwa berdarah 30 September 1965,” ujarnya.

Gerakan 30 September, kata dia, juga membawa dampak diabaikannya pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang pokok Agraria (UUPA) 1960 sehingga progam reforma agraria tidak dijalankan dan terjadinya perampasan tanah secara massif.

”UUPA 1960 tidak digunakan oleh rezim militer Orde Baru dan digantikan dengan UU Pokok Kehutanan dan UU Pokok Pertambangan sebagai Legalisasi Penguasaan Asing atas kekayaan alam di Indonesia,” pungkas David. [sam]

Populer

Jokowi Kumpulkan Kapolda Hingga Kapolres Jelang Apel Akbar Pasukan Berani Mati, Ada Apa?

Kamis, 12 September 2024 | 11:08

Diamnya 4 Institusi Negara Jadi Tanda Akun Fufufafa Milik Gibran

Minggu, 15 September 2024 | 08:14

Soal Video Winson Reynaldi, Pemuda Katolik: Maafkan Saja, Dia Tidak Tahu Apa yang Dia Perbuat!

Senin, 09 September 2024 | 22:18

Petunjuk Fufufafa Mengarah ke Gibran Makin Bertebaran

Kamis, 12 September 2024 | 19:48

KAHMI Kumpulan Intelektual Banci?

Sabtu, 14 September 2024 | 14:45

Prabowo Bisa Ajukan Penghentian Wapres Gibran Setelah 20 Oktober

Minggu, 15 September 2024 | 10:26

Jagoan PDIP di Pilkada 2024 Berpeluang Batal, Jika….

Minggu, 08 September 2024 | 09:30

UPDATE

Ekspor Pasir Laut Ancam Kedaulatan Maritim Indonesia

Rabu, 18 September 2024 | 05:31

Lancarkan Transisi Pemerintahan, Airlangga Fokus Selesaikan Sejumlah PR

Rabu, 18 September 2024 | 05:04

Ngaku Jadi Warga Brunei, Seorang Pria Tipu Korban Hingga Ratusan Juta

Rabu, 18 September 2024 | 04:04

Belum Ada SPDP, Proses Hukum Tersangka ASDP Tidak Sah

Rabu, 18 September 2024 | 03:31

Kaesang Bukan Nebeng Private Jet Gang Ye, Tapi Pinjam

Rabu, 18 September 2024 | 03:13

Keselamatan Penerbangan di Bandara IKN Harus Diutamakan

Rabu, 18 September 2024 | 02:41

Kaesang di KPK

Rabu, 18 September 2024 | 02:18

DPR Dorong Kerja Sama Intensif RI-Serbia

Rabu, 18 September 2024 | 01:43

Penjualan E-Materai Melonjak 10 Kali Lipat Selama Pendaftaran CPNS 2024

Rabu, 18 September 2024 | 01:15

Penanganan Dugaan Gratifikasi Bobby Nasution Jalan di Tempat

Rabu, 18 September 2024 | 00:59

Selengkapnya