Berita

Nasaruddin Umar/Net

Pancasila & Nasionalisme Indonesia (31)

Memaknai Transisi Nilai Keagamaan

RABU, 30 AGUSTUS 2017 | 09:33 WIB | OLEH: NASARUDDIN UMAR

TRADISI keagamaan yang hidup dan berkembang di In­donesia perlu terus dipertah­ankan. Mereposisi tradisi kea­gamaan yang sudah mapan bukan hanya akan menimbul­kan ketegangan konseptual tetapi juga akan berdampak terhadap keutuhan NKRI. Seperti kita ketahui NKRI dibangun di atas nilai-nilai lokal bangsa, termasuk tradisi budaya dan agama. Lahirnya NKRI men­jadi bukti dan hikmah adanya kearifan lokal yang hidup dan berwibawa di dalam masyarakat.

Pemahaman keagamaan yang berkeindone­siaan dan keindonesiaan yang berkeagamaan har­us diwaspadai jangan sampai tergerus oleh sua­san reformasi yang melampaui batas (kebablasan). Reformasi harus diartikan dan secara positif untuk pengembangan NKRI ke arah yang lebih baik dan berdaya saing. Manajmen transisi nilai-nilai kea­gamaan dalam tulisan ini diartikan sebagai pros­es akulturasi dan enkulturasi nilai-nilai keagamaan yang pada umumnya bersumber dari luar Nusan­tara dengan nilai-nilai kearifan lokal. Satu sisi tetap melestarikan warisan luhur budaya nusantara tetapi pada sisi lain nilai-nilai keagamaan tetap dapat di akomodir di dalamnya. Di sinilah Pancasila hadir se­bagai melting pot antara nilai-nilai kearifan lokal bu­daya dan nilai-nilai universal keagamaan. Pancasila harus melestarikan nilai-nilai nusantara yang diwa­risi dari zaman pra sejarah, proto-Indonesia, dan da­lam fase Indonesia awal. Akan tetapi Pancasila juga harus membuka ruang untuk mengadopsi nilai-nilai keagamaan yang bersifat universal. Pola dialektika budaya dalam lintasan sejarah panjang bangsa In­donesia perlu dipertahankan di dalam melintasi pe­rubahan zamannya. Persandingan antara nilai-nilai sakral keagamaan dan nilai-nilai provan budaya bangsa merupakan watak dan karakter NKRI.

Memanaj nilai-nilai keagamaan paralel dengan nilai-nilai kearifan lokal memerlukan seni tersendiri. Tidak mudah memaralelkan nilai-nilai kearifan buda­ya yang bersifat lokal dan provan dengan nilai-nilai keagamaan yang ersifat universal dan skral. Namun dalam kenyataannya bangsa Indonesia bisa me­lewati masa transisi itu dengan baik tanpa menim­bulkan gesekan berarti. Yang perlu dicermati ialah bagaimana menata kedua sistem nilai itu di dalam masyarakat modern atau dalam era yang biasa di­populerkan dengan era reformasi? Untuk idealisasi sebuah bangsa besar seperti Indonesia, mestikah kita mempertahankan harmonisasi nilai-nilai plural­istik itu sekalipun berlandaskan kaidah yang batil? Dengan kata lain, mestikah keharmonisan itu dis­ingkirkan demi mewujudkan kaedah yang hak? Ter­pulang dari warga bangsa Indonesia sendiri yang harus menentukan. Kelihatannya konsep dasar dan ideologi bangsa, Pancasila mampu menjembatani kedua nilai tersebut.


Wacana rekonstruksi pemahaman agama di da­lam masyarakat, terutama dalam dua dasawarsa terakhir, kelompok tertentu sering memojokkan nilai-nilai lokal keindonesiaan dituding sebagai praktek bid'ah, khurafat, dan sinkretisme. Padahal, mung­kin sebagian di antaranya masih relevan untuk di­tolerir. Sementara kelompok lain menuding nilai-nilai universal keagamaan kebanyak bersumber dari luar Indonesia, sehingga dikesankan imigran asing yang mau menguasai nilai-nilai luhur Indonesia. Pemikiran dialektis seperti ini sebenarnya bukan saja tidak rel­evan untuk diwacanakan tetapi berpotensi melong­garkan sendi-sendi keutuhan bangsa. Para Found­ing Fathers kita yang bukan orang sembarangan sudah melapangkan dada menerima NKRI sebagai bentuk final bangsa Indonesia yang heterogen dan pluralistic ini. Hal-hal yang dianggap memang betul-betul tidak sejalan atau bertentangan dengan aja­ran dasar agama khususnya Islam sebagai warga mayoritas mutlak di negeri ini, perlu dilakukan pros­es bertahap (tadarruj) di dalam menyelesaikannya. Tidak mesti harus melalui jalur pengguntingan atau distorsi yang menyebabkan terjadinya penerimaan "terpaksa" terhadap ajaran Islam. Al-Qur'an sendi­ri membutuhkan waktu 23 tahun untuk mengubah masyarakat, padahal di balik Al-Qur'an ada Tuhan yang memiliki kekuatan "kun fa yakun". Islam adalah ajaran kemanusiaan, karena itu juga harus menem­puh cara-cara manusiawi di dalam memperkenal­kannya. Islam tidak menolerir cara-cara kekerasan di dalam menyampaikan dakwah.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Pidato Prabowo buat Roy Suryo: Jangan Lihat ke Belakang

Senin, 08 Desember 2025 | 12:15

UPDATE

BNN-BNPP Awasi Ketat Jalur Tikus Narkoba di Perbatasan

Jumat, 19 Desember 2025 | 00:09

Perkuat Keharmonisan di Jakarta Lewat Pesona Bhinneka Tunggal Ika

Jumat, 19 Desember 2025 | 00:01

Ahmad Doli Kurnia Ditunjuk Jadi Plt Ketua Golkar Sumut

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:47

Ibas: Anak Muda Jangan Gengsi Jadi Petani

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:26

Apel Besar Nelayan Cetak Rekor MURI

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:19

KPK Akui OTT di Kalsel, Enam Orang Dicokok

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:12

Pemerintah Didorong Akhiri Politik Upah Murah

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:00

OTT Jaksa oleh KPK, Kejagung: Masih Koordinasi

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:53

Tak Puas Gelar Perkara Khusus, Polisi Tantang Roy Suryo Cs Tempuh Praperadilan

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24

Menkeu Purbaya Bantah Bantuan Bencana Luar Negeri Dikenakan Pajak

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24

Selengkapnya