Pengusaha menilai ekonomi Indonesia telah memasuki masa anomali. Sejumlah indikator makro ekonomi, seperti nilai tukar rupiah, inflasi, dan pasar modal sedang menunjukkan perbaikan. Di sisi lain, sektor riil, industri dan daya beli lesu. Hal ini membuat pengusaha merasa tertekan.
Ketua Umum Asosiasi PenguÂsaha Indonesia (Apindo) HariÂyadi B Sukamdani mengatakan, anomali ekonomi terjadi karena pelemahan daya beli. "Kondisi itu semakin membuat pengusaha tertekan, sebab tingginya biaya produksi yang tak seimbang dengan daya beli masyarakat," ujar Hariyadi, kemarin.
Menurut Hariyadi, para pengusaha di berbagai sektor merasakan penurunan belanja, terutama dari kelas menengah. Dampak terbesar dialami sekÂtor ritel dan properti. Padahal, data ekonomi versi pemerintah menunjukkan kenaikan pemÂbayaran pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 13 persen. "Seharusnya volume transaksi naik kalau PPNnaik. Faktanya tidak begitu," bebernya.
Hariyadi yakin, kelas meÂnengah memilih untuk menyÂimpan uang di bank. Buktinya, simpanan masyarakat di bank terus melambung. Sedangkan penurunan daya beli kelas meÂnengah ke bawah terjadi karena penyerapan tenaga kerja seÂmakin rendah.
"Saya juga bingung. BaÂgaimanapun, kami berasumsi bahwa data statistik benar. Namun, tetap saja kami merasa ada yang tidak sinkron antara data makro dan data mikro," tegasnya.
Wakil Ketua Umum AsoÂsiasi Pengusaha Ritel IndoneÂsia (Aprindo) Tutum Rahanta mengakui, saat ini memang beÂnar ada terjadi shifting untuk produk-produk tertentu. "MeÂmang terjadi pelemahan daya beli," ujarnya.
Mengenai besaran penurunan Tutum menjelaskan harus dilihat dari dua hal, produk makanan dan non makanan. Tutum juga mengakui meskipun sudah mulai mengarah ke penurunan, namun sektor makanan dan minuman masih berada disisi positif.
Tutum menambahkan, meskipun pertumbuhan sebesar 5,1 persen masih cukup baik untuk retail, namun hal tersebut juga merupakan alarm bagi pemerintah agar lebih serius. "Penurunan di kelompok bawah dapat diukur dari mini market, sedangkan kelompok atas agak sedikit melemah akibat menunda pembelian," tukasnya.
Ekonom Indef Berly MartaÂwardaya menyebutkan, pertumÂbuhan ekonomi bisa dikatakan stabil. "Ada beberapa hal yang membuat pertumbuhan konsumÂsi tidak mengalami peningkatan, seperti THR untuk pegawai negeri yang terlambat, serta penurunan pencairan belanja pemerintah," ungkap Berly.
Menurutnya, kondisi pertumÂbuhan yang stabil ini membuat pola konsumsi masyarakat menÂgalami perubahan. "Masyarakat menunda belanja seperti sandang dan rumah, namun masih belanja untuk keperluan konsumtif sepÂerti handphone dan pergi ke cafe," ungkapnya.
Dekan dan Guru Besar FakulÂtas Ekonomi dan Bisnis UniverÂsitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro juga memiliki pandangan yang sama, yaitu ekonomi sedang mengalami anomali. "Tidak lesu ataupun kuat, tapi ekonomi stagnan," ujarnya.
Menurutnya, masyarakat cenderung cepat berganti barang seperti mobil, motor, ponsel, laptop serta pakaian. Seluruh sektor usaha akhirnya meraÂsakan manfaatnya, karena uang terus mengalir dan berputar, sehingga mampu mendorong ekonomi tumbuh sampai di atas 6 persen.
"HP baru, pergi liburan, foto dan posting ke media sosial. Begitulah kebanyakan prilaku kelas menengah baru," imbuhÂnya. ***