Berita

DPR Dan KPK, Dua-duanya Susah Dipercaya

Siapa "Pendusta" Meneriaki "Pembohong"?
KAMIS, 13 JULI 2017 | 10:17 WIB | OLEH: DEREK MANANGKA

KEINGINAN sejumlah anggota DPR RI untuk melakukan semacam investigasi terhadap kinerja KPK melalui Hak Angket, merupakan sebuah langkah yang wajar dan patut didukung.

Keinginan itu, harus ditempatkan pada konteks bahwa sekuat apapun kedudukan hukum KPK dalam sistem ketatanegaraan kita, lembaga anti rasuah perlu dikontrol.

Tanpa kontrol, KPK bisa menjadi institusi yang kebal segala-galanya. Dan jika kekebalan tanpa batas itu terjadi, tentu saja hal tersebut berbahaya bagi seluruh warga bangsa. Tujuan mulia KPK menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara besar yang bersih dan terpandang, bisa gagal.

Kekebalan KPK itu harus dilihat seperti kekebalan seorang diplomat. Seorang Duta Besar negara sahabat yang diakreditasi di Indonesia, dilindungi oleh UU dan Konvensi. Namun tidak serta merta dia bisa melakukan apa saja di Indonesia.

Kita boleh percaya bahwa para Komisioner KPK yang terpilih merupakan orang-orang terbaik, sebab mereka sudah dipilih melalui seleksi berjenjang.

Tetapi kita juga boleh berasumsi bahwa sebagai manusia biasa, kemungkinan para komisioner tersebut terkena penyakit ringan seperti "masuk angin", tetap bisa terjadi. Sehingga atas dasar itu, patutlah koreksi berupa Hak Angket itu, dilihat sebagai OPMA atau obat pemberantas masuk angin.

Dan bukan rahasia lagi, dalam konteks bukan kiasan, tak ada manusia Indonesia yang hidup di negara tropis, lalu tak pernah terkena penyakit "masuk angin".

Bahkan penyakit "masuk angin" merupakan salah satu penyakit yang paling sering melanda Indonesia.

Penyakit "masuk angin" seperti pilek, demam, yang paling sering digunakan alasan untuk tidak masuk kerja, tidak menetapi janji dan untuk membohongi orang lain.

Selain itu, jika kita bicara dalam konteks kontrol, Presiden, yang merupakan pejabat tertinggi di Indonesia, kontrol terhadap Presiden tetap dibolehkan oleh UU. Padahal seorang Presiden dipilih oleh jutaan rakyat Indonesia.

Bagaimana dengan Komisioner KPK yang hanya dipilih oleh ‘segelintir’ orang yang kebetulan menjadi wakil rakyat di Senayan? Apakah pantas jika semua kepentingan kita, kita serahkan sepenuhnya kepada wakil rakyat tersebut?

Masalahnya menjadi tidak wajar, cenderung runyam. Berhubung para anggota DPR yang melakukan inisiatif, mau meng-Hak Angketkan KPK ataupun kedua lembaga DPR & KPK, sama-sama sedang bermasalah.

Hak Angket DPR yang mau digunakan untuk menginvestigasi KPK, tidak mendapat dukungan bulat dari semua anggota lembaga legislatif. Bahwasanya perwakilan DPR di Komisi III dianggap sudah mewakili lembaga, tidak salah sama sekali.

Akan tetapi jika kita simak pernyataan-pernyataan lepas dari sejumlah individu anggota DPR lainnya, termasuk partai politik yang memiliki perwakilannya di DPR, kesan bahwa Hak Angket itu tidak mendapat dukungan penuh, sangat kental.

Belum lagi ada tudingan bahwa pembentukan Pansus Hak Angket DPR ini tidak kredibel dan akuntabel. Berhubung pimpinan DPR yang mengesahkan pembentukan Pansus ini dilakukan oleh salah seorang pimpinan yang memiliki status tidak jelas.

Paling tidak, statusnya sebagai wakil rakyat, secara hukum masih bermasalah. Partai yang mencalonkannya pada Pileg 2014 sudah mencabut dukungan. Tetapi wakil rakyat yang terhormat ini, tidak menghormati pencabutan dukungan tersebut. Dia terus bertahan di kursi pimpinan, membuat kesakralan pimpinan DPR, tercoreng.

Nah kesakralan yang tercoreng itu, kini mengganggu kredibiitas DPR itu sendiri.

Tidak heran jika ada yang menyindir, lantas pimpinan dewan yang begini yang harus dituruti, didengar dan dipercaya? Eit, tunggu dulu!

Di sini terjadi dilema. DPR mau menegakkan hukum, tetapi kepemimpinan DPR sedang bermasalah hukum. Sehingga secara psikologis, upaya DPR menegakkan hukum, terkendala.

Kalau sekarang rencana Hak Angket itu sudah berkembang demikian liar, dalam mengundang pro-kontra yang demikian luas, sehingga masyarakat menjadi bingung, itu terjadi karena persoalan hukum ditarik-tarik sedemikian rupa oleh sejumlah anggota DPR ke persoalan politik.

Boleh percaya atau tidak, selama kita tidak mampu memilah-milah dan memisahkan antara hukum dan politik, maka penegakkan hukum secara berkeadilan, tidak akan pernah tercapai atau terjadi.

KPK sendiri, menjadi sasaran kritik, sebab sejak dibentuk tahun 2002, belum mampu membuat keinginan orang melakukan korupsi, berkurang atau menurun. Belum ada korupsi berskala besar yang berhasil diungkap dan diselesaikan oleh KPK.

Skandal Bank Century yang merugikan negara sebanyak Rp 6,7 triliun, sekalipun ditangani, tetap dirasakan tak menyentuh rasa keadilan masyarakat. Ini hanya sekadar sebuah contoh.

Secara kuantitatif, jumlah koruptor yang tertangkap kemudian berakhir di penjara, cukup banyak. Tetapi lagi-lagi hal ini belum memuaskan rasa keadilan masyarakat yang ingin melihat KPK wajib didukung.

Gedung baru, sudah diberi oleh rakyat. Tapi inipun tidak berbanding lurus dengan apa yang diberikan KPK kembali kepada rakyat. Dan kita bisa berdebat berkepanjangan atas soal ini.

Kalau mau disederhanakan, pekerjaan para jaksa, polisi, Irjen tiap departemen, termasuk BPKP (Badan Pengawas Keuangan Pembangunan), yang diambil alih oleh KPK, malah makin tak terasa ada gaungnya.

Artinya KPK tidak banyak berbeda dengan pekerjaan yang dilakukan oleh lembaga anti korupsi yang dibentuk di zaman Orde Baru yaitu Opstib atau Operasi Tertib.

Era Opstib Pusat waktu itu, Laksamana Sudomo, yang merangkap Panglima Komando Operasi dan Ketertiban, sering menggelar konperensi pers. Bahwa lembaga yang dipimpinya berhasil “Menangkap Tangan” pelaku korupsi di sebuah departemen.

Agak mirip yang dilakukan oleh pimpinan KPK.

Tapi semua upaya Sudomo dianggap nihil atau cenderung hanya untuk pencitraan, ketika Bank Pembangunan Indonesia (Bappindo) dibobol oleh nasabah yang katanya nasabah bank tersebut, bernama Eddi Tanzil.

Jumlah yang dibobol, pada awal 1990-an itu tidak tanggung-tanggung: Rp. 1,7 Triliun, di saat kurs dolar terhadap rupiah di kisaran Rp 1,500. Atau kalau dengan mata uang sekarang, kurang kebih setara dengan Rp 19 hingga 20 triliun.

Semenjak itu, kepercayaan masyarakat terhadap pemberantasn korupsi turun hingga ke titik nadir.

Nah tentu saja kita berharap KPK menjadi seperti Opstib. Kita juga tidak mau jangan sampai terjadi sindiran, bahwa saat ini sedang menjadi fenomena. Orang yang suka berdusta suka meneriaki orang lain sebagai pembohong. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Dirjen Anggaran Kemenkeu Jadi Tersangka, Kejagung Didesak Periksa Tan Kian

Sabtu, 08 Februari 2025 | 21:31

Kawal Kesejahteraan Rakyat, AHY Pede Demokrat Bangkit di 2029

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:55

Rocky Gerung: Bahlil Bisa Bikin Kabinet Prabowo Pecah

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:53

Era Jokowi Meninggalkan Warisan Utang dan Persoalan Hukum

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:01

Tepis Dasco, Bahlil Klaim Satu Frame dengan Prabowo soal LPG 3 Kg

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:50

Dominus Litis Revisi UU Kejaksaan, Bisa Rugikan Hak Korban dan tersangka

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:28

Tarik Tunai Pakai EDC BCA Resmi Kena Biaya Admin Rp4 Ribu

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:16

Ekspor Perdana, Pertamina Bawa UMKM Tempe Sukabumi Mendunia

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:41

TNI AL Bersama Tim Gabungan Temukan Jenazah Jurnalis Sahril Helmi

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:22

Penasehat Hukum Ungkap Dugaan KPK Langgar Hukum di Balik Status Tersangka Sekjen PDIP

Sabtu, 08 Februari 2025 | 17:42

Selengkapnya