Menginjakkan kaki di Palestina dan Israel sekaligus adalah pengalaman jurnalistik luar biasa. Bisa memotret suasana dan merasakan denyut ketegangan dua negara langsung di sumbernya. Awal Mei 2017, wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati berkunjung ke Israel dan Palestina atas undangan AIJAC (Australia/Israel & Jewish Affairs Council). Berikut ini laporannya.
Konflik dan peperangan membuat hidup tidak nyaman dan menakutkan. Di Israel, ada kota bernama Sderot. Ini area terdekat dengan Jalur Gaza, wilayah yang dikuasai Faksi Hamas di Palestina. Jarak Sderot ke Gaza, hanya sekitar 1 kilometer. Di kota ini, hujan bom dan rudal adalah hal biasa Karenanya, penduduk yang tinggal di Sderot menjadi terbiasa dengan lubang perlindungan, bunker dan sejenisnya.
Kami mencapai Sderot dari Tel Aviv. Berkendara tak sampai sejam. Suasana berubah, dari jalanan Tel Aviv yang macet dan suasana metropolitan, ke areal yang lengang dan sepi. Sderot sebenarnya kota yang indah. Banyak ditanami bunga-bunga dan pepohonan.
Begitu masuk gerbang kotanya, sekilas tak ada tanda-tanda bahwa ini area berbahaya. Tapi, saat memperhatikan halte-halte bus, pinggiran rumah, halaman rumah-rumah penduduk, baru kita ngeh.
Di setiap halte bus, misalnya ada bangunan serupa kubus, digambari mural. Mungkin kita mengira itu toilet umum. Tapi, melihat militer bersenjata yang berjaga-jaga di tiap halte, kita jadi tahu bahwa kubus itu adalah semacam bunker atau area perlindungan. Bergambar mural, supaya kesannya lebih ramah. Di tempat keramaian dan jalan-jalan umum, banyak dijumpai kubus-kubus serupa. Dengan pintu besi yang terkunci.
“Kalau terjadi pengeboman, akan terdengar sirine. Dan kunci-kunci di bunker ini otomatis terbuka. Semua kunci bunker ini digerakan terpusat,†kata guide kami, Dar Cohan.
Cohan adalah mahasiswa dengan fisik yang tinggi dan cukup gagah. Ternyata dia juga seorang tentara. Cohan berusia 25 tahun dan saat ini di tahun kedua universitas.
“Saya sering menghadapi roket yang diluncurkan,†ceritanya.
Dia mengaku pernah tinggal di Gaza 9 bulan, sebelum akhirnya Israel menarik diri dari lokasi itu. Meski ini area yang sering jadi sasaran bom, tapi aktivitas masyarakat terlihat berjalan biasa. Bekerja, sekolah, ke pasar, jalan-jalan. Bahkan saat rombongan kami berkeliling di Sderot, ada sekelompok anak-anak muda tampak berkumpul dengan wajah gembira.
Ngobrol di pinggiran jalan, sambil tertawa-tawa. Sebagian lagi, berkendara mobil dengan lagu yang disetel kencang dan membunyikan klakson keras-keras. Lalu, saling teriak menyapa temannya di kendaraan lain.
“Apakah ada bunker di setiap rumah?†tanya kawan saya. Cohan meminta kami memperhatikan sebuah halaman rumah.
Di lapangan rumputnya, terlihat ada kotak-kotak kubus menyembul, diwarnai kuning, hijau dan merah. Seperti hiasan taman. “Itu adalah bunker,†katanya. Oh..., kami pun melongo.
Bunker-bunker sengaja dibuat warna warni. Bahkan di taman bermain dan taman kanak-kanak dibangun lebih colorful. Bunker tampak seperti area bermain ular naga. Lengkap dengan lukisan kepala naga di bagian ujungnya. Anak-anak sudah dilatih. Apabila terdengar suara bom, mereka akan bernyanyi keras-keras, lalu bersembunyi ke dalam bunker. Latihannya, seperti main petak umpet.
Hidup Dalam Ancaman Dari pinggiran Sderot, kita bisa melihat wilayah Gaza menggunakan binokular atau teropong. Kota Gaza terlihat seperti gurun coklat, tandus.
“Di sana banyak dibangun tunel bawah tanah, yang salurannya bersambung ke mana-mana. Termasuk kemungkinan menerobos masuk ke wilayah kami,†kata Cohan.
Sderot bukanlah basis atau pangkalan militer. Ini hanya sebuah kota. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam 10-15 detik,†katanya.
Sekilas, hidup dalam kondisi seperti itu seperti sebagai siksaan. Hidup dalam ancaman. “Tapi inilah hidup kami,†kata Cohan.
Sudah tahu Sderot daerah berbahaya, mengapa tetap mau tinggal di sini? Cohan menjelaskan, ada tiga alasan, mengapa orang tetap mau tinggal di Sderot. Pertama, tidak ada bedanya tinggal di manapun di wilayah Israel. Mau 1 kilometer atau 10 kilometer dari Gaza, ya tetap saja merasa terancam. Kedua, menyangkut ideologi.
“Ini adalah tanah leluhur kami,†ujarnya.
Ketiga, tinggal di Sderot murah karena tidak dibebani pajak tinggi. Biaya pajak bisa dialihkan untuk biaya pendidikan anak-anak. “Di sini, mayoritas anak-anaknya sekolah diploma,†kata Cohan.
Berapa kira-kira harga satu misil? Cohan bilang, sekitar 62 ribu dolar AS atau Rp 7 miliar. Wow, mahal sekali.
“Anda pasti bertanya, dari mana mereka punya uang untuk membeli misil? Ya, mereka gunakan uang yang seharusnya bisa untuk membangun sekolah atau rumah sakit,†kata Cohan, berasumsi.
Misil atau roket semahal itu, kalau jatuh, pengaruhnya mencapai radius 300-an meter. “Itu bisa mencelakakan 20-30 ribuan orang yang tinggal di sini,†ujarnya.
Cohan lalu mengajak kami ke pinggiran Kota Sderot. Wilayah yang amat dekat dengan perbatasan Gaza, yaitu Netiv Hasaara. Di sana, banyak dibangun lokasi persembunyian atau shelter.
Berupa gundukan-gundukan tanah, yang sengaja ditanami pepohonan dan rerumputan, sehingga dari luar hanya terlihat seperti semak belukar biasa.
Lalu, dari area ini, kita bisa meneropong ke wilayah Gaza. Pakai binokuler, terlihat area gurun tandus perbatasan, dengan gundukan di beberapa titik. Di balik gundukan itu, katanya, ada tunel.
“Ancaman terbesar bagi kami bukan roket, tapi tunel-tunel itu,†katanya.
Banyak orang masuk Israel melalui tunel. Keluar masuk tiap hari. Kedalaman tunel mencapai 50-an meter dan saling berhubungan di bawah tanah.
Israel memperkirakan, biaya pembangunan tunel itu mencapai 3 juta dolar AS per kilometer.
“Terbayang tidak, kalau sudah malam, tiba-tiba ada sepasukan orang masuk tunel lalu masuk negara kami dan menyerang. Itu ukuran tunel sangat besar. Bahkan kendaraan motor, pun bisa masuk,†ujarnya
“Bagaimana anda tahu bahwa di balik gundukan itu ada tunel?†tanya seorang wartawan, anggota rombongan kami.
Cohan bercerita, sejak tahun 2013, pemerintahnya punya alat canggih untuk mendeteksi keberadaan tunel. Dan pertama kali terlihat di alat deteksi, ada 15 orang mengirim makanan lewat jalur itu. Saat ini, diperkirakan ada sekitar 34 tunel, di wilayah Jalur Gaza.
Dengan jalur tunel yang rumit. Tinggal di wilayah konflik entah itu di Sderot, Israel, atau di Gaza, Palestina, ya sama saja. Masyarakat di kedua belah pihak, hidup dalam kondisi tidak aman. Entah sampai kapan konflik Israel-Palestina akan berakhir. Kalau Palestina mengklaim hidup menderita, maka hidup di sebagian wilayah Israel ya sama juga. Perang melahirkan penderitaan. Dalam konflik, rakyat tidak pernah diuntungkan.
[***]