Berita

Ilustrasi/Net

Di Balik Tuduhan Dirut Sindo Pada Surya Paloh

MINGGU, 02 JULI 2017 | 16:33 WIB | OLEH: DEREK MANANGKA

ARTIKEL saya yang menyoroti Hary Tanoe dan Surya Paloh dalam Catatan Tengah edisi Sabtu 1 Juli 2017, mendapat reaksi yang lumayan ramai. Terutama dari teman-teman yang bekerja di bisnis media.

“Sudah baca tanggapannya? Kalau belum saya forward,” begitu beberapa teman melalui WA atau telepon langsung.

Satu di antaranya, Arif Afandi, mantan Pemred “Jawa Pos”.

Yang mengagetkan, tanggapan bukannya dari Hary Tanoe sendiri. Melainkan dari yang mengaku anak buahnya Hary Tanoe atau yang mengaku Dirut Sindo.

Dan yang lebih mengagetkan atau sangat mengagetkan lagi, di bagian akhir tulisan itu saya disuruh meminta maaf kepada HT (Hary Tanoe) dan Sindo.

Hehehehehe.

Saya hanya bisa tersenyum dan tertawa sendiri. Ada orang yang tidak saya kenal mau menyuruh atau mendikte saya.

Namun untuk tidak salah melangkah, saya hubungi beberapa sahabat yang mengerti mengenai kode etik dan masalah hukum. Saya ingin punya “second” atau “third opinion”

Kesimpulan sementara yang saya peroleh dari para sahabat, saya tidak perlu meminta maaf kepada HT maupun kepada Sindo.

Alasannya: “Anda kan tidak menjelekkan, menghujat apalagi menyampaikan hal yang tidak benar”. Yah saya sendiri berpikir demikian.

Tulisan itu merupakan reaksi spontan saya terhadap munculnya beberapa berita yang cukup menggugah rasa kemanusiaan. Yaitu ada karyawan yang di-PHK pada tanggal 24 Juni, sehari menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Berita tentang reaksi dari karyawan yang dipecat tersebut, sangat menyentuh.

Alasan lainnya, adanya tanggapan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang mengecam tindakan pemutusan hubungan kerja Sindo dengan sejumlah karyawannya.

Sekalipun saya bukan anggota AJI, saya anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), kepedulian organisasi profesi AJI terhadap tindakan pemecatan massal itu, sesuatu yang patut diapresiasi. Paling tidak ada kepedulian profesional terhadap mereka yang menjadi korban dengan alasan bisnis.

Nah kalau pemecatan massal itu tidak ada dan reaksi AJI itu hanya berupa hoax, pantaslah saya meminta maaf.

Jadi memang aneh bin ajaib, saya yang tidak menjelekkan, menghujat apalagi menyebarkan kabar bohong, justru disuruh meminta maaf.

Sebaliknya kepada para karyawan yang terkena PHK, yang sudah memviralkan soal pemecatan terhadap mereka, si penulis, tidak berkata apa-apa. Atau AJI yang sudah bersuara keras, “dianggap tidak ada” atau “bukan penyebab”.

Saya juga dituduh menulis Catatan Tengah itu sebagai pihak yang disuruh oleh Surya Paloh.

Hahahahahaha.. kali ini saya tertawa sendiri dengan suara lebih keras. Sampai-sampai isteri yang sedang membaca berita-berita di internet, terkejut.

Surya Paloh bukan tipe manusia seperti yang digambarkan si penulis. Itu yang saya alami. Dia bukan sahabat yang menyorongkan kita ke tepi jurang biar mati tak berbekas. Penulis ini nampaknya perlu membaca buku “Surya Paloh Melawan Arus Menentang Badai”.

Tahun 1980-an, Surya Paloh memang pernah menyuruh semua pilot Garuda untuk mogok massal, dalam rangka memberi pelajaran kepada Dirut Garuda. Dan dia menyuruh para pilot itu, melakukan pemogokan, karena dia sudah habis akal, setelah terus menerus dimintai saran oleh para penerbang.

Sebagai pendiri dan Ketua FKPPI, saat itu Surya Pasloh dianggap punya pengaruh ke pemerintahan Orde Baru yang saat itu didominasi oleh ABRI.

Nah para pilot itu mengikuti suruhannya, dengan resiko jika mereka dipecat, maka Surya Paloh yang akan menampung mereka.

Kalau yang beginian, Surya Paloh doyan. Dan memang Surya Paloh jelas menyuruh!

Para pelaku langsung dari aksi pemogokan itu, masih ada. Hanya Kapten Subekti yang sudah meninggal, tewas dalam kecelakaan ujicoba penerbangan pesawat komersil Sukhoi, buatan Rusia di Gunung Salak beberapa tahun lalu.

Yang lainnya masih hidup. Misalnya Kapten Ari Singgih, kini menangani bisnis penyewaaan pesawat jet pribadi di perusahaaannya Peter Sondak. Atau Henry Sumolang, yang dua tahun lalu pensiun sebagai kapten pilot “Airbus” dari Singapore Airlines .

Penulis tanggapan atas Catatan Tengah itu sendiri, secara pribadi tidak saya kenal. Atau saya belum pernah bertemu, bersapa atau mengenalnya secara kebetulan apalagi secara sengaja. Sehingga saya merasa janggal kalau dia bisa memvonis tentang saya. Bahwa saya disuruh oleh Surya Paloh untuk menulis artikel tersebut.

Kenal aja kagak, berani-beraninya membuat penilaian. Kalau istilah orang Betawi: “Siapa loe, Jangan SKSD - Sok Kenal Sok Dekat?”

Bahwasanya saya membandingkan Hary Tanoe dan Surya Paloh sebagai investor di bidang media yang memiliki kebijakan yang berbeda dalam soal menjalankan bisnis media - termasuk dalam memperlakukan karyawan, karena saya mengalami sendiri. Saya justru ingin mengingatkan, bahwa menjadi penerbit media cetak itu, perlu berkaca pada pengalaman orang lain.

Surya Paloh jelas memang tidak pernah menyuruh karyawannya hidup dari makan kertas koran - pernyataan untuk mengkalrifikasi dari saya atas sindiran penulis.

Tetapi antara tahun 1989 hingga 1992, Surya Paloh pernah menghidupkan orang-orang koran di Aceh, Medan, Palembang, Lampung, Bandung, Yogya, Banjarmasin dan Denpasar, dengan caranya sendiri.

Ia kucurkan dana yang cukup besar untuk supaya koran-koran di daerah itu bisa hidup. Sayang kemampuan keuangannya terbatas. Sehingga tahun 1992 dia memutuskan untuk menghentikan penyaluran dana bagi koran-koran daerah itu.

Cara Surya Paloh menghentikan penyaluran dana, tidak semena-mena. Melainkan dengan penjelasan secara jujur. Bahwa dia tak punya kemampuan lagi. Dia memutuskan agar membesarkan “Media Indonesia” saja.

Saya termasuk bagian dari manajemen yang memutuskan bahwa “Media Indonesia” harus jadi lokomatif, barulah ekspansi ke luar Jakarta perlu dilakukan.

Saya tidak tahu apakah Dirut Sindo yang menyuruh saya minta maaf, pada waktu 25 tahun lalu, usianya ketika itu berapa sehingga paham tentang sejarah Pers Indonesia, termasuk perilaku penerbit bernama Surya Paloh.

Jadi perbandingan antara kebijakan Surya Paloh dan Hary Tanoe itu saya angkat, bukan muncul tanpa sebab.

Hampir semua kebijakan perusahaan media Surya Paloh, merupakan hasil jiplakan yang saya bawa dari harian Sinar Harapan. Saya alumni harian sore Sinar Harapan yang dibajak oleh Surya Paloh.

Dan ketika memperkenalkan kebijakan-kebijakan ala Sinar Harapan ke perusahaan media milik Surya Paloh, saya termasuk bagian dari personalia yang ikut merumuskan kembali dan menjadi eksekutornya.

Kebijakan-kebijakan Sinar Harapan yang positif itu diterima di bisnis media milik Surya Paloh, karena memang kebijakan itu sudah teruji. Manajemen Sinar Harapan sangat menentang kebijakan yang hanya berpikir untuk kepentingan bisnis. Cari untung sebanyak-banyaknya yang keuntungannya hanya dinikmati oleh pemegang saham.

Kebijakan pro karyawan ini antara lain dibuktikan dengan difasilitasinya para karyawan yang belum punya rumah, dengan membangun Kompleks Perumahan Sinar Harapan di Pondok Gede pada tahun 1979. Peresmiannya dilakukan oleh Menteri Urusan Perumahan Rakyat, Cosmas Batubara.

Saya memang sangat terpengaruh dengan pola dan kebijakan pimpinan Sinar Harapan, koran dimana saya digembleng dan dibesarkan.

Karena kepemimpinan yang mereka sebut “berdasarkan kasih” itu benar-benar saya rasakan dan alami.

Ada hal yang tak bisa saya lupakan, ketika saya memutuskan keluar dari Sinar Harapan, pada tahun 1986. Karena diam-diam sudah menerima “uang transfer” sebesar Rp 20 juta langsung dari Surya Paloh, saya harus keluar dari koran yang sudah memberi saya beasiswa ke Perancis dan Amerika.

Uang Surya Paloh sebesar itu menjadi pemicu untuk “berkhianat” kepada Sinar Harapan, sebab gaji saya di harian sore saat itu Rp 350 ribu. Sementara oleh Surya Paloh saya dijanjikan akan diberi gaji sebesar Rp 750 ribu, kendaraan (mobil) plus jabatan sebagai Redaktur Pelaksana.

Saya tidak malu disebut berkhianat atau pengkhianat, sebab kesempatan yang ditawarkan Surya Paloh, mungkin hanya datang sekali dalam kehidupan saya.

Manajemen Sinar Harapan khususnya Pemimpin Umum HG Rorimpandey (almarhum) sesungguhnya tidak mau melepas saya. Setiap hari saya minta waktu bertemu untuk pamit, tetapi selalu dia tolak. Sampai pada akhirnya Ria, sekretaris Pak Rorimpandey, memanggil saya.

“Derek saya tahu, saya tidak akan bisa menahan kamu. Saya hanya mau berpesan. Jaga nama baik Sinar Harapan sebagai almamatermu. Apa yang akan kamu kerjakan dengan teman kamu, belum tentu berhasil. Tapi cita-cita kamu saya hargai. Karena itu saya doakan kamu bisa berhasil. Tapi kalau kamu tidak berhasil di tempat baru, pintu Sinar Harapan masih tetap terbuka untuk kamu. Silakan kembali ke sini," ujar Pak Rorimpandey, dengan mata berkaca-kaca.

Sosok pemimpin media seperti ini saya rindukan dalam diri Surya Paloh termasuk Hary Tanoe. Tapi bukan melihat tulisan saya dari pandangan sempit dan apriori.

Bekas tantara yang menjadi pebisnis koran tersebut, sama sekali tidak mau menyebut nama Surya Paloh. Karena di mata Rorimpandey, Surya Paloh lah yang merusak investasi SDMnya, melalui saya.

Lagi pula saat itu, ketenaran Surya Paloh belum seperti saat ini. Orang yang tahu bahwa pengusaha catering ini pernah membidani beberapa media kecil di daerah dan ibukota sangat sedikit. Surya Paloh sendiri tidak pernah mau menyinggung itu. Saya paham akan hal itu.

Sebaliknya ketika dia memperlihatkan tekadnya untuk memberi apapun yang saya minta, demi membangun media baru, hal itu saya pandang sebagai “sesuatu”.

Saya sadar pernyataan pelepasan Pak Rorimpandey, saat itu, sangat mengandung makna kemanusiaan yang dalam. Pak Rorimpandey sebagai Pemimpin Umum sebuah suratkabar yang berhasil ketika itu, melihat saya sebagai asset yang cukup berharga.

Lagi-lagi ini yang saya lihat tidak dicerna oleh Sindo atau HT sebagai pemilik koran yang berdiri 2005 tersebut.

Tidak hanya berhenti di situ. Tiga bulan setelah saya keluar dari Sinar Harapan, Manejer Personalia Sinar Harapan, Pak Seth Soan, satu-satunya putra Dayak, Kalimantan di Sinar Harapan, menelpon saya.

“Derek, tolong dong main ke kantor. Perusahaan ingin memberi kamu Uang Kehormatan”, ujarnya.

Tadinya saya berpikir Pak Seth Soan hanya tengah menyindir. Mana mungkin saya yang “berkhianat” koq malah mau diberi Uang Kehormatan.

Tapi akhirnya dia berhasil meyakinkan saya dan jadilah saya menerima Uang Kehormatan dari Sinar Harapan.

Di depan Pak Seth Soan, saya menangis karena malu dengan pemberian kohormatan dalam bentuk uang. Sementara saya sendiri merusak kehormatan Sinar Harapan dengan cara berkhianat dan bergabung bersama investor yang belum diketahui kemampuannya.

Latar belakang kejadian ini sangat membekas dalam kehidupan saya dan itulah sebabnya saya sangat mudah tersentuh jika ada karyawan pers yang memperoleh perlakuan tidak bermartabat dari pemilik media.

Dan apa yang dialami oleh sejumlah karyawan Sindo tersebut - apapun alasan manajemen, saya tempatkan sebagai sikap yang kurang menghargai martabat sesama.

Kebijakan PHK itu semakin saya lihat kontoversil dan kontradiktif, sebab Hary Tanoe sebagai investor beberapa bulan terakhir ini diprofilkan oleh majalah Forbes sebagai seorang milyuner.

Artinya, uang bukan masalah. Apalagi dia bercita-cita mengikuti jejak Donald Trump. Mau jadi presiden. Saya membatin, apa yang bakal terjadi pada rakyat dan bangsa Indonesia jika akhirnya Tuhan Allah mengabulkan cita-citanya menjadi Presiden Indonesia?

Hary dan Donald juga dilaporkan sedang membangun sebuah resort mewah di Bali. Jelas uang diinvestasikan di sana, ratusan milyar atau bahkan mungkin triliunan rupiah.

Lalu apa artinya gaji karyawan yang dipecat yang tidak akan sampai satu triliun rupiah itu?

Selama menjadi karyawan, saya tidak pernah mengalami pemecatan. Namun ketika harian “Prioritas” dibreidel oleh penguasa Orde Baru dengan eksekutornya Menteri Penerangan Harmoko, hal itu lebih dari sebuah pemecatan. Sesuatu yang sangat menyakitkan dan memalukan.

Serta merta kehilangan status dan dengan tetangga saja saya merasa malu karena menjadi pengangguran. Teman-teman yang dulu akrab, karena status saya sebagai Redaktur Pelaksana, tiba-tiba saja menghindar, tak mau bertemu atau dihubungi.

Ini yang tidak dipahami oleh HT atau SINDO.

Jadi bagi saya, pemecatan - apalagi terjadi sehari sebelum Lebaran, merupakan sebuah situasi yang sangat berat.

Di perusahaan media milik Surya Paloh, pemecatan seperti itu, juga tidak saya temukan. Boleh jadi karena berbagai kebijakan positif ala Sinar Harapan, yang saya “ekspor” ke perusahaan medianya, menjadi rujukan atau ada manfaatnya.

Latar belakang ini pula yang mengetuk nurani saya untuk menyoroti pemutusan hubungan kerja yang dialami oleh karyawan pers di Sindo.

Namun yang cukup mendasar, sangat tidak tepat kalau saya dituduh sebagai orang yang disuruh oleh Surya Paloh untuk menulis Catatan Tengah edisi 1 Juli 2017 tersebut.

Kalau boleh mau menyombongkan diri, selama saya bergabung dengan Surya Paloh, mungkin saya yang lebih banyak menyuruh atau mendikte Surya Paloh. Kalau mau bukti, tanya sendiri ke yang bersangkutan. Jadi tolong jangan dibalik-balik.

Bahwa saya membuat perbandingan dengan Hary Tanoe, itu sebatas di bidang kebijakan SDM media. Dan kalau tulisan itu menyinggung Hary Tanoe, mustinya, Hary Tanoe-lah yang pantas merespon. Bukan orang yang tidak saya kenal dan tidak paham permasalahan. Selain itu Hary Tanoe juga cukup kenal saya.

Kalau saya bisa menghubungi secepatnya Surya Paloh, saya akan minta dia untuk menuntut ke pengadilan si penulis yang mengomentari Catatan Tengah edisi 1 Juli 2017 itu.

Karena isi tulisannya, secara tersirat memberikan kesan atau berinsinuasi bahwa selama ini Surya Paloh memanfaatkan medianya untuk kepentingan pribadi. Tuduhan itu perlu dia buktikan!

Sebaliknya saya berpendapat, jangan-jangan si penulis tersebut memang bermaksud menjelekkan Surya Paloh. Dan tulisan saya dia jadikan sebagai “trigger”.

Saya sendiri tidak merasa “diserang” oleh si penulis tersebut. Sehingga saya okey-okey saja. Dan tulisan ini saya turunkan sebagai bagian dari hak jawab dan pertanggungjawaban profesional. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Dirjen Anggaran Kemenkeu Jadi Tersangka, Kejagung Didesak Periksa Tan Kian

Sabtu, 08 Februari 2025 | 21:31

Kawal Kesejahteraan Rakyat, AHY Pede Demokrat Bangkit di 2029

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:55

Rocky Gerung: Bahlil Bisa Bikin Kabinet Prabowo Pecah

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:53

Era Jokowi Meninggalkan Warisan Utang dan Persoalan Hukum

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:01

Tepis Dasco, Bahlil Klaim Satu Frame dengan Prabowo soal LPG 3 Kg

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:50

Dominus Litis Revisi UU Kejaksaan, Bisa Rugikan Hak Korban dan tersangka

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:28

Tarik Tunai Pakai EDC BCA Resmi Kena Biaya Admin Rp4 Ribu

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:16

Ekspor Perdana, Pertamina Bawa UMKM Tempe Sukabumi Mendunia

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:41

TNI AL Bersama Tim Gabungan Temukan Jenazah Jurnalis Sahril Helmi

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:22

Penasehat Hukum Ungkap Dugaan KPK Langgar Hukum di Balik Status Tersangka Sekjen PDIP

Sabtu, 08 Februari 2025 | 17:42

Selengkapnya