MENJELANG musim mudik Lebaran 2017, Pemerintah sesumbar telah melakukan persiapan matang. Di antara yang dibangga-banggakan adalah pembangunan jalan tol dan akan dioperasikannya jalur tol fungsional sepanjang 402 kilometer dengan rincian untuk Trans-Jawa, jalan tol yang fungsional sepanjang 337 kilometer sedangkan Trans-Sumatera 65 kilometer sehingga totalnya 402 kilometer.
Namun yang perlu dicermati bahwa di balik gemerlap pembangunan infrastruktur, ada sisi gelap yang perlu dikritisi yakni dicabutnya berbagai subsidi untuk rakyat.
Kebijakan yang saat ini paling menyakitkan adalah dikuranginya berbagai subsidi, yaitu subsidi listrik dan BBM. Akibatnya terjadi kenaikan tagihan terhadap sebagian pengguna listrik berdaya 900 Volt dan mulai hilangnya BBM jenis premium di berbagai SPBU milik Pertamina. Rakyat dipaksa untuk membayar TDL dan BBM dengan harga yang lebih mahal.
Alasan klasik Pemerintah mengurangi subsidi karena menganggap selama ini subsidi salah sasaran. Pemerintah berasumsi bahwa subsidi lebih banyak dinikmati oleh orang yang mampu.
Pemerintah pun mengklaim bahwa pengurangan subsidi dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, diantaranya jalan tol yang dibangga-banggakan itu. Inilah letak sesat pikir pemerintah, karena alasan mencabut berbagai subsidi menganggap bahwa subsidi banyak dinikmati oleh orang kaya. Tapi pemerintah lupa bahwa pengguna tol terbanyak didominasi oleh orang-orang kaya yakni pemilik mobil pribadi. Sementara rakyat dari kalangan bawah banyak yang menggunakan sepeda motor sebagai sarana mudik dan transportasi sehari-hari. Dan mungkin pemerintah lupa bahwa sepeda motor dilarang lewat jalan tol.
Jadi proyek pembangunan tol yang dibangga-banggakan pemerintah sejatinya hanya untuk melayani orang-orang kaya. Namun sayangnya dana pelayanan tersebut diambil dari mengurangi berbagai subsidi.
Sesat pikir ini harus segera diluruskan, tidak ada larangan bila pemerintah membabi-buta membangun infrastruktur tetapi dengan catatan jangan mencabut subsidi rakyat.
Pemerintah harus lebih kreatif dalam menggali sumber pendanaan. Jangan sedikit-sedikit mencabut subsidi. Lihatlah rakyat kecil gelagapan ketika membayar listrik yang semakin mahal. Atau melihat rakyat pengguna sepeda motor yang terpaksa membeli BBM dengan harga mahal karena premium sudah langka.
Mestinya Pemerintah menggenjot penerimaan dari BUMN. Tidak boleh ada lagi ada toleransi terhadap BUMN yang merugi. Sehingga sangat disayangkan sikap lembek Presiden Jokowi terhadap 26 BUMN yang merugi di semester I 2017. Sementara di sisi lain Presiden Jokowi sangat tegas ketika mencabut subsidi rakyat.
Presiden Jokowi harus segera memecat Menteri BUMN yang terbukti gagal membawa perbaikan bagi BUMN. Saatnya BUMN menjadi penopang utama pembangunan infrastruktur, dan jangan lagi mengurangi subsidi rakyat untuk membiayai ambisi pembangunan infrastruktur. [***]
Penulis adalah Ketua Presidium PRIMA (Perhimpunan Masyarakat Madani)