Berita

Edy Mulyadi/RMOL

Bisnis

Garuda Yang Rugi Dan Mimpi Terbang Tinggi

SELASA, 13 JUNI 2017 | 17:26 WIB | OLEH: EDY MULYADI

“GARUDA Indonesia Bantah Alami Kebangkrutan.” Begitu judul berita satu media online yang tayang Senin (12/6) kemarin. Bantahan datang langsung dari Dirut PT Garuda Indonesia Tbk, Pahala N Mansury.

Sebagai mantan bankir, Pahala lantas menyorongkan sederet angka terkait kinerja keuangan perusahaan penerbangan pelat merah yang dikomandaninya itu. Menurut dia, sejak kuartal dua 2017, misalnya, kinerja keuangan Garuda mulai membaik.

Di sisi lain, mantan Direktur Bank Mandiriitu mengakui tiga bulan pertama memang Garuda kena hajar rugi. Kinerja minus itu disebabkan beberapa hal. Antara lain, kenaikan harga bahan bakar avtur. Dalam setahun terakhir belanja avtur naik 54 persen dari 189,8 juta dolar AS di kuartal pertama 2016, menjadi 292,3 juta dolar AS di tahun berikutnya.


Pada kuartal pertama Garuda mengumumkan rugi sebesar 98,5 juta dolar AS. Jika dihitung dengan kurs Rp 13.300 saat laporan disampaikan, maka kerugian itu setara dengan Rp 1,31 triliun. Padahal pada kuartal yang sama tahun sebelumnya, perseroan sukses mengukir laba 1,02 juta dolar AS. Meski begitu, Pahala menilai anggapan sejumlah kalangan, bahwa kerugian tersebut bakal membangkrutkan perusahaan, adalah terlalu berlebihan.

Sebagai komandan baruyang baru saja didapuk jadi nakhoda Garuda pada April 2017 silam, tentu saja Pahala harus bekerja ekstra keras dan ekstra cerdas. Sejumlah jurus telah disiapkan. Antara lain fokus pada peningkatakan efisiensi, pembenahan rute, dan integrasi dengan anak perusahaan (City Link) juga BUMN lain. Untuk soal integrasi manajemen bakal memperhatikan dari semua aspek, terutama soalpricing dan, lagi-lagi, rute.

Bicara soal efisiensi, ini memang hukum besi perusahaan. Jangankan buat yang babak-belur dan terancam bangkrut, bagi bisnis yang sedang moncer pun efisiensi tetap saja musti dilakukan. Itulah sebabnya Pahala bermaksud menggenjot efisiensi khususnya pada bahan bakar dan operasional. Pada saat yang sama, perseroan juga kudu fokus mendongkrak jumlah penumpang. Soalnya, dari sinilah sumber pendapatan utama mengalir.

Terus, bagaimana dengan rute? Dia mengakui ada beberapa rute penerbangan baik domestik maupun mancanegara yang rugi karena sepinya penumpang. Setidaknya ada 10-20 rute dalam daftar yang tengah dikaji. Rute-rute kurus dan ‘membakar duit’ pasti bakal diamputasi. Sebaliknya, rute-rute gemuk dan menghasilkan laba akanterus dipompa frekwensinya.

Kekhawatiran lama?

Obrolan sepuar rute gemuk-kurus, biaya bahan bakar, danTingkat keterisian penumpang alias load factor ini jadiceletukan Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, Agustus 2015. Waktu itu, hanya selang sehari paska pelantikannya, dia minta maskapai milik negara tersebut membatalkan rencana pembelian sejumlah besar pesawat berbadan lebar. Alasannya, rencana tersebut bakal mendorong Garuda ke tubir jurang kebangkrutan.

Bagi RR, begitu dia biasa disapa, Garuda memang punya sejarah emosional tersendiri. Maklum, saat menjadi Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, dia sukses menyelamatkan perusahaan yang hampir kolaps itu. Pasalnya, Garuda dibelit utang senilai 1,8 miliar dolar AS dari konsorsium bank Eropa yang tidak mampu dibayar.

Persoalan menjadi serius, karena pihak kreditur Eropa mengancam akan menyita semua pesawat Garuda. RR yang paham adanya praktik pat gulipat dalam penyaluran kredit untuk pembelian pesawat di Garuda, akhirnya justru menutut balik konsorsium bank Eropa. Pasalnya, mereka terindikasi menerima bunga dari kredit dengan ekstra 50 persen. Akibatnya lumayan dahsyat. Para bankir tadi minta damai dan sepakat merestrukturisasi utang Garuda.

Karena pengalaman itulah, dia tidak mau Garuda membeli 30 Airbus A350 untuk penerbangan ke Amerika dan Eropa. Bagi Garuda, melayani trayek long distance ke Amerika dan Eropasama saja dengan ‘membakar duit’. Load factor penumpang rute tersebut sangat minim, di bawah 30 persen.

Jangankan Garuda, sejumlah maskapai jagoan,seperti Singapore Airlines dan Cathay Pacific,yang selama ini melang-melintang di rute itu saja mulai kelimpungan. Mereka tidak mampu bersaing dengan maskapai milik negara-negara Timur Tengah. Maklum, buat mereka avtur sangat murah, sehingga kontribusi dalam total komposisi biaya jadi rendah.

Utang Kegedean

Penolakan RR atas belanja pesawat berbadan lebar dengan jumlah besar juga disebabkansumber dananya berasal dari China Aviation Bank.Konon, jumlahnya mencapai 44,5 miliar dolar AS. Jumbonya nilai pembelian juga mengundang tanda tanya. Apa iya, harga pesawat-pesawat tadi semahal itu?

Kalau kita klik situs http://www.airbus.com/presscentre/pressreleases/press-release-detail/detail/new-airbus-aircraft-list-prices-for-2015/, maka harga resmi sebiji pesawat A350XWB, adalah US$351,9 juta. Jadi, kalau Garuda memborong 30 unit, 10,557 miliar dolar AS. Kalau kenapa pinjam duit sampai 44,5 miliar dolar AS. Lalu, selisihnya yang 33,94 miliar dolar AS kemana? Dengan kurs Rp 13.300/dolar AS, fulus senilai Rp 452,4 triliun itu buat apa? Atau,untuk siapa?.

Eh, ngomong-ngomong duit Rp 452,4 triliun itu banyak banget, lho. Itu artinya, RR bukan cuma ingin menyelamatkan Garuda dari banyang-bayang kebangkrutan. Dia juga bahkan berusaha menyelamatkan duit negara dalam jumlah yang teramat sangat banyak dari penggunaan yang tidak jelas dan pasti tidak bisa dipertanggungjawabkan!.

Mungkinkah apa yang kini dialami Garuda adalah warning yang sejak dua tahun silam disampaikan Rizal Ramli? Namun satu hal yang pasti, bahwa Garuda babak-belur hingga merugi Rp 1,31 triliun di kuartal pertama 2017 adalah fakta. Memang bisa banyak yang jadi penyebabnya. Sengitnya persaingan bisnis adalah kambing hitam yang sering hadir untuk menutupi kelemahan. Tapi bisa juga hal itu sejatinya karena salah urus, salah hitung, serampangan dalam memutuskan aksi korporasi, atau yang lainnya.

Kita berharap, maskapai pelat merah ini bisa segera recovery. Kita bermimpi Garuda bakal terbang tinggi. Terbang tinggi sekali dengan membawa kebanggaan anak bangsa di belantara hiruk-pikuk ganasnya samudra merah bisnis penerbangan. Semoga.[***]

Penulis adalah Direktur Program Centre for economic and Democracy Studies (CEDeS)

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

UPDATE

Ekonom: Pertumbuhan Ekonomi Akhir Tahun 2025 Tidak Alamiah

Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08

Lagu Natal Abadi, Mariah Carey Pecahkan Rekor Billboard

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46

Wakapolri Kirim 1.500 Personel Tambahan ke Lokasi Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45

BNPB: 92,5 Persen Jalan Nasional Terdampak Bencana Sumatera Sudah Diperbaiki

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09

Penerapan KUHP Baru Menuntut Kesiapan Aparat Penegak Hukum

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37

Ancol dan TMII Diserbu Ribuan Pengunjung Selama Libur Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26

Kebijakan WFA Sukses Dongkrak Sektor Ritel

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56

Dua Warga Pendatang Yahukimo Dianiaya OTK saat Natal, Satu Tewas

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42

21 Wilayah Bencana Sumatera Berstatus Transisi Darurat

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32

Jangan Sampai Aceh jadi Daerah Operasi Militer Gegara Bendera GAM

Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59

Selengkapnya