SEHARI bersama Dahlan Iskan, melahirkan cukup banyak cerita yang layak dijadikan tulisan. Sehari bersama Raja Media dari Surabaya ini, menghadirkan banyak kisah yang patut dibagi.
Inilah endapan “the untold story†yang mengkristal dalam benak saya, selesai mengakhiri kunjungan ke Surabaya, khusus untuk menemui Dahlan Iskan.
Jika Tuhan berkenan, selain Catatan Tengah ini, kelak saya bisa merangkum sejumlah catatatan dalam sebuah buku dengan judul sementara: “Dahlan Iskan, Penghancur Benteng Musuh Yang Dipenjara Oleh Panglima Pengecutâ€.
Rekam jejak Dahlan Iskan saya asumsikan sebagai seorang prajurit. Tidak lagi sebagai wartawan. Ini bukan sebuah pengkultusan. Tetapi hal itu terjadi karena saya melihat dalam diri Dahlan Iskan mengalir darah berperang berbentuk naluri. Naluri yang kuat untuk berjuang - melebihi prajurit yang sengaja belajar di Perguruan Tinggi Militer.
Rencana judul ini terinspirasi oleh komentar seorang sahabat Facebook yang memberi reaksi terhadap salah satu cerita yang dimuat di kolom “Stop Press by Derek Manangkaâ€.
Alasan mengkompilasi cerita tentang Dahlan Iskan, bukan karena faktor subyektif - dimana kami berdua menjadikan profesi wartawan sebagai jalur memperjuangkan hidup dan kehidupan.
Tetapi saya beranggapan sudah waktunya peran orang media dalam konteks pencatat sejarah, penegak kebenaran, diangkat dan disampaikan kepada masyarakat secara proporsional.
Tidak sedikit peran media dan orang-orang media yang cukup besar dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia, menjadi kecil atau dikecilkan, hanya karena media lebih diposisikan sebagai unsur pelengkap.
Tidak jarang peran wartawan tertimbun oleh peran profesi lainya. Sebuah diskriminasi profesi yang tidak patut.
Contoh yang paling sederhana. Peran fotografer Mendur Bersaudara. Alex Mendur dan Frans Mendur yang mendirikan kantor berita foto IPPHOS (Indonesia Public Photo Service) di era sebelum Indonesia merdeka. Mendur Bersaudara sudah almahum.
Peran Mendur Bersaudara yang seharusnya melegenda sebagai perekam kegiatan perjuangan para pejuang Indonesia, selaku pendiri kantor berita foto pertama di Indonesia, tak pernah dicatat sejarah.
Padahal semua atau paling tidak 99,99 persen foto-foto yang merekam peristiwa perjuangan para pejuang Indonesia, yang digunakan dalam penulisan buku sejarah, merupakan karya IPPHOS. Sebut saja foto karya IPPHOS ketika Soekarno-Hatta membacakan naskah Proklamasi, atau di saat Bung Tomo sedang membakar semangat rakyat Surabaya.
Jangankan mengenang jasa fotografer, orang media segan mencatumkan nama mereka di setiap kredit foto. Tak ada yang jujur mau melakukannya.
Tidak hanya itu gedung IPPHOS yang terletak di Jl. Hayamwuruk, Jakarta Pusat, dihancurkan.
Logo IPPHOS dibuang, sebab mungkin dianggap tak lebih dari sebuah barang rongsokan yang tak bernilai.
Seolah-olah pekerjaan mendokumentasikan foto-foto bersejarah itu, hanya seperti seorang office boy yang disuruh membuang sampah ke tong sampah.
Banyak atau semua tidak sadar pemotretan di era itu lebih berresiko dibanding dengan penugasan seorang prajurit militer ke medan pertempuran. Sebab ketika Indonesia masih sebagai negara terjajah, nyawa manusia Indonesia, masih sangat murah.
Seorang prajurit manakala bertugas, dilengkapi dengan senjata. Minimal dengan senjata bambu runcing. Fotografer atau orang media, tidak!
Fotografer yang hanya bermodalkan naluri kewartawanan, hanya dibekali oleh keberanian, kejujuran dan naluri tanpa pamrih.
Peran wartawan foto IPHHOS tersebut kalah jauh dibanding dengan mereka yang mengaku-ngaku veteran Pejuang 1945 atau veteran eks Timor Timur.
Contoh lainnya yang rada kontroversil serta agak jauh dari cerita tentang Dahlan Iskan. Yaitu lepasnya Timor Timur dari NKRI.
Kritikan dan masukan dari orang media, bagaimana caranya agar Timor Timur sebagai provinsi ke-27 Indonesia, tidak lepas dari NKRI, tidak sedikit .
Misalnya seperti yang disampaikan Fransisco Xavier Lopes Da Cruz. Tahun 1976, secara resmi Timor Timur belum menjadi bagian NKRI. Tapi Da Cruz yang sudah diberi jabatan pemerintah Indonesia sebagai Wakil Gubernur pertama provinsi Timor Tmur, sudah memberi masukan. Dan masukan itu dilakukannya lewat saya - melalui wawancara eksklusifnya dengan saya sebagai reporter pemula di harian “Sinar Harapanâ€.
Da Cruz mengingatkan, pemerintah Indonesia harus mencari cara agar para mahasiwa Timor yang sedang berdiaspora di Afrika, khususnya di negara jajahan Portugal, agar diyakinkan supaya mereka mau kembali ke Indonesia.
“Jika tidak, maka mereka bakal menjadi generasi muda penentang atas bergabungnya Timor dengan Indonesia. Kalau di Belanda terdapat banyak pelarian RMS, kelak di di Eropa akan banyak “RMS†Timorâ€, ujar Lopes da Cruz.
Peringatan Da Cruz melalui wawancara seorang reporter pemula itu, tidak digubris. Mungkin saat itu pejabat terkait hanya melihat sisi - siapa yang dijadikan saluran masukan. Yang dilihat hanya “the singer†dan bukan “the songâ€-nya.
Apalagi kedua-keduanya.
Kenyataannya 23 tahun kemudian. tepatnya di tahun 1999, menjadi kenyataan.
Para “founding fathers†Timor Leste, dulu Timor Timur, merekalah yang dimaksud oleh FX Lopes Da Cruz. Merek yang memerdekakan Timtim.
Terakir Lopes Da Cruz menjabat Duta Besar RI untuk Portugal, setelah sebelumnya menempati posisi yang sama di KBRI Yunani. Sementara wartawan pemula di tahun 1976 itu, sudah “pensiun†dan hanya fokus pada penulisan Catatan Tengah.
Selain comtoh di atas, selama hampir dua puluh tahun, tidak sedikit tulisan wartawan, laporan media yang mengulas soal rentannya Timor Timor Timur sebagai provinsi Indonesia terbaru.
Sayangnya peran media, peran wartawan kalah telak dengan peran militer yang masuk ke Timor dengan peralatan tempur.
Dunia internasional mengecam militer Indonesia karena kasus pembunuhan atas 7 wartawan dari media-media Australia. Wartawan dan media-media Indonesia ‘membela’ para pasukan militer Indonesia yang dituduh menjadi penyebab atas kematian para awak media asing itu.
Sayangnya pembelaan orang media itu hanya dianggap sebagai sebuah kewajiban yang tidak harus dilihat sebagai bukti peran tanggung jawab wartawan profesional.
Stigma dan stereotype wartawan, lebih mengedepan.
Hasilnya anggota militer yang dibela media dan wartawan Indonesia terpromosi. Ada yang jadi jenderal ada yang tidak, tetapi pokoknya naik pangkat. Mereka dianggap berhasil di Timor Timur. Sehingga reward pun pantas diberikan.
Tidak ada yang jujur mengaku. Bahwa militer kita yang bertugas di Timor Timur atau yang mengendalikan operasi di lapangan sebetulnya gagal atau kalah total.
Sebab setelah bertahun-tahun di Timor Timur, pengaruh militer kita nyaris zero. Ketika dilakukan Referdendum tahun 1999, mayoritas penduduk Timor Timur lebih memilih beropisah dengan Indonesia.
Militer dan pembuat kebijakan soal Timor Timur, saling menyalahkan. Mereka lupa tentang berbagai masukan wartawan.
Dalam ungkapan yang halus, Indonesia atau petugas Indonesia yang menjaga Timor Timur gagal merebut hati, menarik empati dan simpati warga setempat agar menjadi: Saya Timor Timur Saya Indonesia.
Reward tetap saja diberikan kepada mereka, tentara yang berjuang dengan darah di daerah di Timor Timur.
Sebaliknya tidak sedikit wartawan Indonesia yang berjuang, membantu dan membela diplomasi Indonesia dalam persoalan Timur Timur, hanya saja tanpa darah - tidak dipedulikan.
Setidaknya ada tiga senior saya yang melakukan peran historis dalam soal Timor Timur. Kebetulan semuanya dari alma mater yang sama. Harian “Sinar Harapanâ€. Mereka adalah Annie Bertha Simamora (almarhumah), Samuel Pardede (almarhum) dan Harry Kawilarang.
Tapi tak satupun di antara mereka yang dicatat dalam sejarah (perjuangan) Timor Timur apalagi disetarakan dengan mereka yang berhasil meraih pangkat dan jabatan tinggi karena bertugas di Timor Timur.
Dalam diri Dahlan Iskan saya melihat cukup banyak catatan yang menunjukkan perjuangan sebagai wartawan, yang menghasilkan sesuatu atau banyak faedah bagi masyarakat, patut ditulis. Agar masyarakat lebih kaya akan wawasan dan perspektif.
Di Surabaya, kota kedua terbesar di Indonesia, Dahlan sudah menjadi sosok yang memiliki banyak penggemar. Mereka menjadi “fansâ€-nya Dahlan, bukan karena dibayar. Tapi karena mungkin mereka memantau dan menyimpan rekam jejaknya dalam memori digital.
Mereka kecewa dengan Dahlan Iskan dikriminalisasi seperti koruptor sejati. Hal itu patut diapresiasi.
Di ibukota provinsi terpadat kedua penduduknya di Indonesia, Dahlan Iskan sudah punya legacy.
Hal ini saya simpulkan setelah melihat reaksi masyarakat saat hadir di Citra Land, dalam rangka menonton teater Sam Po Kong karya Remy Silado.
Sebelum dan seusai pertunjukan teater, tak sedikit warga yang berlomba ingin berselfie dan berfoto bersama serta minta tanda tangan dari Dahlan Iskan.
Sekilas hal ini saya anggap sebagai sebuah bentuk empati ataupun dukungan psikologis yang prihatin atas nasib Dahlan Iskan yang menjadi tahanan kota karena tuduhan korupsi.
Dengan para karyawan “Jawa Pos Grupâ€, Dahlan Iskan, tidak lagi sekedar sebagai pemimpin, tetapi sudah sebagai suhu atau “sufi†dalam industri media.
Sebab realita yang ada, Dahlan Iskan berhasil menyelamatkan sebuah bisnis koran yang sudah mengarah ke kematian.
Lebih dari 30 tahun lalu, “Jawa Pos†oleh Dahlan Iskan dipoles dengan ilmu jurus jurnalistik yang benar sehingga akhirnya saat ini menjadi koran nomor satu di kota Surabaya.
Dengan posisi itu Dahlan Iskan menghidupi - mungkin jutaan manusia. Sebab industri medianya melibatkan ribuan bahkan jutaan pekerja.
Kantor Pusat “Jawa Pos Group†yang mega modern, menempati sebuah gedung dengan nama Graha Pena, merupakan bukti dari semua keberhasilan Dahlan Iskan.
Bukti keberhasilan itu, jelas bukan karena buah dari korupsi.
[***]Penulis adalah wartawan senior