CERITA seputar Soekarno dan Soeharto, sebagai Presiden RI di era yang berbeda, nampaknya tak akan pernah habis.
Cerita sekitar Orde Lama (Soekarno) dan Orde Baru (Soeharto) memiliki makna tersendiri - mana kala ceritanya dikisahkan di Era Reformasi, era dimana Joko Widodo sebagai Presiden seperti saat ini. Apalagi yang mengisahkannya pelaku sejarah.
Inilah yang antara lain mengemuka Selasa malam kemarin, saat Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB) menggelar buka puasa bersama di sebuah restoran di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
FSAB adalah forum yang mempertemukan anak-anak yang menjadi korban konflik politik antara elit yang berkuasa di masa lalu.
Misalnya anak-anak para Pahlawan Revolusi yaitu tujuh Jenderal dan satu perwira menengah yang dibunuh oleh PKI tahuh 1965. Di pihak lain juga ada anak tokoh PKI.
Selain yang berkaitan dengan peristiwa G30S/PKI, FSAB juga menghimpun mereka yang terimbas oleh pemberontakan DII/TII. Terutama yang terjadi di Jawa Barat yang terkenal dengan pimpinan Kartosuwiryo dan Sulawesi Selatan dengan nama Kahar Muzakar.
Apa yang dilakukan oleh FSAB yang diketuai Suryo Susilo, bertujuan untuk menghapus dendam. Melupakan pengalaman getir di masa lalu agar sebagai anak bangsa bisa bersatu untuk membangun Indonesia menjadi sebuah negara besar yang lebih baik..
Kisah yang cukup menarik walaupun tidak lagi segetir cerita yang getir-geitr lainnya disampaikan Sidarto Danusubroto.
Sidarto, 81 tahuh, yang kini menjabat Anggota Dewan Penasehat Presiden memiliki pengalaman unik sebagai ajudan terakhir Presiden Soekarno.
Yang dikisahkannya peristiwa yang terjadi lebih dari setengah abad lalu.
"Di era Orde Baru saya dikejar-kejar, karena dianggap orang komunis" ujarnya.
Dia dianggap komunis, karena Soekarno sebagai boss-nya, dipersepsikan sebagai pendukung komunis atau PKI. Persepsi itu dihidupkan dengan mengaitkan sikap Soekarno yang tidak mau mengutuk tindakan PKI yang mengeksekusi 7 perwira tinggi dan satu perwira menangah TNI Angkatan Darat. Atau yang dikenal dengan Peristiwa G30s/PKI, Lobang Buaya.
Sebagaimana diketahui setelah Jenderal Soeharto sebagai Pangkostrad mengantongi apa yang dikenal Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966, tak lama kemudian Soekarno sebagai Presiden diusir dari Istana, Merdeka, Jakarta.
Sidarto sebagai ajudan pun ikut terusir. Dan tak lama setelah itu status Sidarto sebagai ajudan dari satuan polisi, berakhir.
"Di Era Reformasi saya dianggap nasionalis. Kalau sekarang sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, setiap hari saya disuruh bicara soal Panca Sila. Dasar negara yang tidak disukai komunis", kata Sidarto Danusubroto
Selepas tidak lagi menjadi ajudan, Sidarto sebagai anggota polisi berusaha "menghilangkan jejak". Dan dia memang berhasil, bahkan di era Orde Baru dia pernah menjadi Kapolda di dua daerah - Sumatera Selatan dan Jawa Barat.
Saat Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Umum PDI-P, Sidarto pun masuk partai tersebut dan berhasil terpilih sebagai anggota.
Di tahun 2013, Sidarto menjadi Ketua MPR-RI (Majelis Permusyawaratan Republik Indinesia), menggantikan Taufiq Kiemas, mendiang anak mantu Soekarno. Proklamator dan Presiden pertama RI.
Saat mengisahkan cerita getirnya, seorang warga negara senior ("Senior Citizen",) Aloysius Sugiyanto , 89 tahun, ikut mendengarkan kisah tersebut.
Sugiyanto memang tidak lagi memberi testimoni, seputar pengalaman geitirnya.
Namun setelah acara resmi berakhir, Sugiyanto sempat berkisah tentang masa lalunya.
Dia pensiun sebagai Kolonel, walaupun di era Orde Baru Sugiyanto merupakan bagian penting dari pemerintahan itu. Karena Sugiyanto merupakan "tangan kanan" Jenderal Ali Murtopo yang di hingga akhir 1980-an dikenal sebagai tokoh "CIA-nya Indonesia.
Dalam kedudukannya sebagai orang dekat Ali Murtopo, Sugiyanto memimpin sebuah lembaga yang disebut "Opsus" atau "Operasi Khusus". Lembaga ini di era Orde Baru dipersepsikan sebagai pemerintahan bayangan yang direstui oleh Presiden Soeharto.
Tapi kenapa Sugiyanto hanya pensiun dengan pangkat Kolonel? Tidak sampai menjadi perwira tinggi atau Jenderal. Sementara hampir semua yang pernah menjadi bagian dari Opsus bisa berpangkat Jenderal?
Dia dianggap bersalah karena Sugiyanto memgungkap "Silsilah Presiden Soeharto", di majalah POP, di awal tahun 1970-an. Presiden tidak suka masalah pribadinya diungkit.
Kendati sudah dihukum oleh Soeharto, Sugiyanto mengaku tidak pernah mendendam Presiden yang berkuasa selama 32 tahun tersebut.
Dia juga tidak pernah mengkleim jasa-jasanya. Mulai dari ajudan Kolonel Slamet Riyadi, Komandan Pasukan yang ditugaskan Soekarno memberantas usaha sejumlah warga Maluku yang ingin mendirikan negara di dalam negara berupa RMS (Republik Maluku Selatan).
Slamet Riyadi, atasannya, mati tertembak dalam usia 23 tahun, di Maluku oleh pasukan RMS yang saat itu berintikan personel yang dilatih oleh perwira Belanda, Westerling. Seusai membungkam RMS di tahun 1951, sekitar sepuluh tahun kemudian Sugiyanto diterjunkan ke Irian Barat.
Setelah Irian Barat kembali ke Pangkuan Pertiwi, Sugiyanto melakukan perundingan dengan Malaysia. Untuk mecairkan kembali hubungan diplomatik kedua negara. Perundingan yang menggunakan taktik intelejens itu berhasil.
Sukses mendamaikan Indonesia - Malaysia, Sugiyanto terjun ke Timor Portugis, di awal tahun 1970-an. Hingga akhirnya Timor Portugis menjadi Timor Timur, sekaligus sebagai provinsi RI yang ke-27 pada tahun 1980.
Perjuangannya bagi NKRI, tak membuahkan penghargaan dari pemerintah, khususnya Orde Baru. Sekalipun seperti dikatakan sebelumnya Sugiyanto merupakan sosok penting dalam rezim Soeharto tersebut.
Bagi banyak kalangan eks petinggi Orde Baru, Sugiyanto bahkan disebut-sebut sebagai "Bapak Intelejen"-nya Indonesia. Salah seorang muridnya, Benny Moerdani.
"Walaupun saya dihukum Soeharto, saya tidak pernah mendendam", katanya sambil menunjukan fotonya saat menjenguk Tommy Soeharto, putera bungsu Pak Harto di penjara Nusakembangan.
"Buat apa mendendam?", ujarnya.
Sugiyanto sekalipun sudah berusia hampir 90 tahun, penampilannya masih seperti lelaki 50-han tahun. Sesepuh Kopassus ini, kalau di siang hari masih menyetir sendiri.
Kemanapun dia pergi, dia selalu membawa tas mini yang berisikan foto-foto bersejarah. Di antaranya saat dia mendampingi Basuki Abdullah, pelukis kenamaan ke kediaman Presiden Soeharto. Karena Presiden ke-2 itu ingin dilukis oleh sang Maestro.
Dilihat dari foto tersebut, hubungan Presiden Soeharto dengannya, sangat dekat. Namun kedekatan itu akhirnya hancur karena soal "kecill" yang mempengaruhi karir dan kehidupan Sugiyanto hingga sekian lama.
Tapi ia terus mengulang-ulang soal prinsipnya yakni tidak ingin memendam dendam terhadap siapapun.
Tak kurang Sys NS yang terperangah melihat foto-foto dokumentasi Sugiyanto termasuk mendengarkan kisahnya.
Apalagi ketika Sugiyanto menyatakan bahwa di mata dia Sys NS merupakan satu-satunya orang Indonesia yang mendirikan partai kemudian partai itu diambil oleh orang lain dan yang mengambilnya menjadi Presiden.
Dengan bahasa tubuh, Sugiyanto yang merupakan keturunan "trah" ke-2 Keraton Solo, meminta Sys NS yang juga punya darah ningrat dari Solo untuk tidak mendendam.
Sebuah nasihat baik dari pria yang tahun 2017 ini masuk ke angka 90.
[***]Penulis adalah wartawan senior