Berita

Yudi Latif/Net

Politik

MAKRIFAT PAGI

Do'a Multazam

SELASA, 16 MEI 2017 | 07:27 WIB | OLEH: YUDI LATIF

SAUDARAKU, di Multazam, sambil mencicakkan tubuh ke dinding ka'bah, yang pertama terlintas dalam do’aku adalah Indonesia: "Ya Allah, jadikan negeriku tempat yang aman. Berkatilah warganya dengan kemakmuran dan kedamaian. Tumbuhkanlah para pemimpin yang lebih besar dari dirinya sendiri".

Seperti Ismail yang siap disembelih, ucapan Sherif Haramaian yang menerima rombongan kami terasa tajam menusuk kalbu. "Indonesia tempat bermukim seperlima pemeluk Muslim dunia dengan segala kekayaan alamnya, terlalu penting untuk dilupakan dan terlalu menjanjikan untuk disiasiakan".

Setelah belasan tahun reformasi digulirkan, pemimpin silih berganti, namun karunia kekayaan alam itu belum juga memberi kemakmuran pada rakyatnya. Demokrasi yang dikembangkan tidak bisa mentransformasikan gerak sentripetal dari kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum.

Watak kepemimpinan memainkan peran penting. Meskipun kepemimpinan merupakan sosok permanen yang selalu diperlukan oleh setiap masyarakat dan segala zaman, perlu dicatat bahwa tidak ada pemimpin yang cocok untuk segala musim. Seperti dikatakan Montesquieu dan Max Weber, kepemimpinan merupakan suatu fungsi yang dinamis yang beragam dalam watak, lingkup dan kepentingannya, tergantung pada perkembangan masyarakat. Konsekuensinya, kekuasaan dan lokus tindakan seorang pemimpin ditentukan oleh watak personal dan kondisi yang berkembang di lingkungan politiknya.

Masa krisis dan kekacauan jelas memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar sekaligus pemimpin besar (great men) dibanding pada masa normal dan stabil. Masa seperti ini, menurut Weber, membuka kesempatan bagi munculnya pemimpin-pemimpin karismatik dengan pesan pembebasan dan pemulihan tertib politik. Bagi Indonesia, misi pembebasan pemimpin karismatik itu merawat persatuan dan memperjuangkan keadilan.

Namun, perkembangan anti-teori sekali lagi terjadi di Indonesia. Krisis terus memagut, tapi pemimpin-pemimpin karismatik tak kunjung muncul, atau hanya sesaat muncul untuk kemudian ditelan arus zaman. Suasana seperti inilah yang sekarang diratapi sebagai krisis kepemimpinan.

Hal itu terjadi karena rekrutmen kepemimpinan yang dikembangkan lebih mengandalkan sumberdaya "alokatif" ketimbang "otoritatif". Yang  pertama berarti kemampuan kontrol atas fasilitas-fasilitas material, sedang yang kedua adalah kemampuan kontrol atas aktivitas manusia lain berdasarkan kewibawaan visi dan ideologis. Yang dipikirkan bukanlah kapasitas transformatif dari kekuasaan, melainkan daya beli dari para pemimpin. Akibatnya, partai politik gagal mereproduksi intelektual organiknya; sedangkan para pemimpin yang punya bibit-bibit karismatik sebagai pemimpin organisasi masyarakat terpaksa mengikuti logika "alokatif", yang begitu cepat menggerus kewibawaannya.

Jalan baru tak kunjung menemukan pemimpin baru. Pemimpin baru tak kunjung memperjuangkan jalan baru. Jalan buntu menghadang kita. Itulah sebabnya mengapa visi baru harus diperjuangkan seiring dengan kemunculan para pemimpin dengan mental baru.

Kita harus memulai langkah perubahan dari titik nol. Dari titik pemahaman awal di mana kekuasaan bukanlah akhir perjalanan, melainkan sarana untuk memperjuangkan kebajikan bersama (virtues). Setiap pemimpin di segala bidang dan tingkatan harus menyadari dan belajar mengemban tugas penggembala, sebagai pengayom yang menuntun dan memperjuangkan keselamatan rakyatnya. Dan untuk itu, mereka harus berjiwa besar agar bisa lebih besar dari dirinya sendiri.

Seperti kata Vaclav Havel, "Adalah mustahil menulis persoalan besar tanpa hidup dalam persoalan besar itu, menjadi pemimpin agung tanpa menjadi manusia agung. Manusia harus menemukan dalam dirinya sendiri rasa tanggungjawab yang besar terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri". [***]

Penulis adalah cendekiawan, pemikir Islam dan kenegaraan

Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Dirjen Anggaran Kemenkeu Jadi Tersangka, Kejagung Didesak Periksa Tan Kian

Sabtu, 08 Februari 2025 | 21:31

Kawal Kesejahteraan Rakyat, AHY Pede Demokrat Bangkit di 2029

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:55

Rocky Gerung: Bahlil Bisa Bikin Kabinet Prabowo Pecah

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:53

Era Jokowi Meninggalkan Warisan Utang dan Persoalan Hukum

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:01

Tepis Dasco, Bahlil Klaim Satu Frame dengan Prabowo soal LPG 3 Kg

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:50

Dominus Litis Revisi UU Kejaksaan, Bisa Rugikan Hak Korban dan tersangka

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:28

Tarik Tunai Pakai EDC BCA Resmi Kena Biaya Admin Rp4 Ribu

Sabtu, 08 Februari 2025 | 19:16

Ekspor Perdana, Pertamina Bawa UMKM Tempe Sukabumi Mendunia

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:41

TNI AL Bersama Tim Gabungan Temukan Jenazah Jurnalis Sahril Helmi

Sabtu, 08 Februari 2025 | 18:22

Penasehat Hukum Ungkap Dugaan KPK Langgar Hukum di Balik Status Tersangka Sekjen PDIP

Sabtu, 08 Februari 2025 | 17:42

Selengkapnya