Berita

Yudi Latif/Net

Politik

MAKRIFAT PAGI

Melek Etika

SENIN, 01 MEI 2017 | 06:19 WIB | OLEH: YUDI LATIF

DALAM demokrasi beradab, hukum berenang di lautan etika. Defisit institusi dan undang-undang selalu bisa ditutupi oleh kecukupan moralitas. Dalam demokrasi lemah adab, hukum berenang di lautan tuna-etika, sehingga surplus undang-undang tak membuat tertib hukum, malah semakin membuka peluang bagi aksi-aksi kejahatan manipulatif.

Krisis politik kita bersumber dari kemarau etika politik. Padahal, etika politik inilah yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial. Seperti kata Paul Ricoeur, etika politik adalah kekuatan reflektif untuk membongkar argumen yang melegitimasi kebijakan dan perilaku publik dengan menempatkan diri dalam posisi dan dimensi moral orang lain.

Berbagai ekspresi ketidakpatutan etis yang melanda ruang publik kita mengindikasikan meluasnya fenomena “buta moral” (moral iliteracy) yang melanda bangsa.

Buta moral itu terlihat dari kekacauan sistem makna, sebagai inti budaya, dalam wacana publik. Hal itu terlihat dari bahasa dominan di ruang publik: bahasa politik dan bahasa ekonomi.

Bahasa politik dan ekonomi kita hanya mengenal satu  bahasa: "menang-kalah". Hampir tak dikenal bahasa budaya yang mempertanyakan “apa yang benar?”

Rendahnya tingkat melek moral inilah yang membuat orang-orang menghalalkan segala cara untuk meraih kedudukan. Sumpah dan keimanan disalahgunakan. Orang- orang berlomba mengkhianati sesama dan negaranya.

Dalam kehidupan publik beradab, ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang. Namun, dengan menipisnya rasa malu dan rasa kepantasan, cuma sedikit yang masih tersisa.

Memberi harga pada pranata kebajikan publik mengandung daya korosif dan koruptif bagi perkembangan bangsa. Alasannya karena uang (pasar) bukan saja mengalokasikan barang, tetapi juga mempengaruhi sikap manusia dan nilai barang yang diperjualbelikan.  

Melelang bangku sekolah kepada pembayar tertinggi memang bisa meningkatkan keuntungan, namun juga melunturkan integritas dunia persekolahan dan nilai ijazahnya, seraya merusak prinsip kesetaraan meritokratis.

Menyewakan “kenyamanan” sel tahanan kepada para pesakitan berduit tidak bisa diterima, karena tahanan bukanlah tempat pelesiran, melainkan tempat hukuman-rehabilitasi sosial. Memberi kenyamanan kepada tahanan menempatkan kejahatan sebagai sesuatu yang mulia.

Pilihan politik bukan untuk diperjualbelikan, karena hal itu menyangkut hak dan kewajiban warga negara. Kewajiban kewargaan tidak sepatutnya dianggap sebagai properti  perseorangan yang bisa dijual,  tetapi harus dipandang sebagai pertanggungjawaban publik. Menjual hak pilih menjadikan urusan publik dikendalikan oleh kekuatan privat.

Ayat-ayat kitab suci bukan untuk dipolitisasi dan ditransaksikan, karena pemanipulasian pesan-pesan keilahian bagi kepentingan murahan mencerminkan korupsi terdalam terhadap sumber etika-moralitas, yang akan membuat warga kehilangan kepercayaan pada apapun dan siapapun.

Kita sudah menyaksikan bagaimana konstitusi terus ditambah pasal-pasalnya dan berbilang undang-undang terus diproduksi, namun sekadar untuk dilanggar. Konstitusi dan hukum tak dapat berdiri tegak tanpa basis moral yang kuat.

Pada akar tunjang krisis kehidupan bernegara saat ini terletak krisis etika. Pemulihan krisis harus dimulai dari  gerakan “keutamaan budi” (budi utomo), dalam "persekutuan kebajikan" (jami'at khair). Itulah khitah sejarah kebangkitan kita.[***]


Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Waspadai Partai Cokelat, PDIP: Biarkan Rakyat Bebas Memilih!

Rabu, 27 November 2024 | 11:18

UPDATE

Disdik DKI Segera Cairkan KJP Plus dan KJMU Tahap II

Sabtu, 30 November 2024 | 04:05

Israel dan AS Jauhkan Umat Islam dari Yerusalem

Sabtu, 30 November 2024 | 03:38

Isu Kelompok Rentan Harus Jadi Fokus Legislator Perempuan

Sabtu, 30 November 2024 | 03:18

Dorong Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Kadin Luncurkan White Paper

Sabtu, 30 November 2024 | 03:04

Pasukan Jangkrik Gerindra Sukses Kuasai Pilkada di Jateng

Sabtu, 30 November 2024 | 02:36

Fraksi PKS Usulkan RUU Boikot Produk Israel

Sabtu, 30 November 2024 | 02:34

Sertijab dan Kenaikan Pangkat

Sabtu, 30 November 2024 | 02:01

Bawaslu Pastikan Tak Ada Kecurangan Perhitungan Suara

Sabtu, 30 November 2024 | 01:48

Anggaran Sekolah Gratis DKI Disiapkan Rp2,3 Triliun

Sabtu, 30 November 2024 | 01:17

Mulyono Bidik 2029 dengan Syarat Jakarta Dikuasai

Sabtu, 30 November 2024 | 01:01

Selengkapnya