Berita

Joko Widodo/Net

Politik

Tugas Utama Presiden Joko Widodo Adalah Memisahkan Kapitalisme Dengan Negara

SENIN, 27 MARET 2017 | 21:31 WIB | OLEH: SALAMUDDIN DAENG

SEKARANG di era Presiden Joko Widodo, negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila, gotong royong dan sosialistik telah berubah haluan menjadi negara kapitalis, individualis dan liberal yang menghisap rakyat.

Pancasila dan gotongroyong hanya dijadikan lipstik dan sloganistik. Program bagi-bagi atau distribusi lahan kepada petani persis seperti projek karitatif, belas kasihan atau permen semata.

Kenyataannya di era Presiden Joko Widodo yang dituduh PKI itu, ternyata kapitalisme tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan, bahkan kapitalisme untuk kesekian kalinya  telah berhasil  bersetubuh dengan sangat kuat hingga mencapai orgasme nya.


Negara secara struktural telah dikuasai segelintir taipan kapitalis. Dari lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif hingga pers, telah dikuasai sepenuhnya oleh segelintir taipan.

Akibatnya, tak ada lagi fungsi kontrol oleh parlemen dan penegakan hukum yang menjujung tinggi nilai-nilai keadilan. Bahkan kebijakan pemerintah ekonomi dan politik pemerintah mengabdi pada kepentingan kapitalis taipan.

Baik pemerintah maupun kapitalis taipan telah bekerjasama sangat erat untuk menghisap rakyat secara bersama sama dan serempak.

Apa buktinya? Seluruh kebijakan pemerintah dibuat untuk memperkaya para kapitalis taipan dan korporasi asing.

Kebijakan ekonomi dibuat dalam rangka melancarkan usaha taipan mengeruk sumber daya alam, melahap APBN, menghisab para pekerja/buruh dan merampas jerih payah petani.

Ini jelas ditunjukkan oleh bagaimana pemerintah mengeluarkan berbagai ijin dan konsesi penguasaan tanah oleh para taipan dan korporasi asing hingga penguasaan mereka atas tanah setara dengan 93% luas daratan Indonesia dan kekayaan alam di atas dan di dalamnya.

Bahkan ada seorang kapitalis taipan menguasai 2,5 juta lahan sendiri atau tiga kali luas pulau bali.

Pemerintah juga memperkaya para taipan dengan merancang berbagai mega proyek infrastruktur. Menghabiskan APBN untuk infrastruktur. Pajak yang dibayarkan rakyat habis menjadi bancakan para taipan dan asing melalui mega proyek infrastruktur tersebut.

Pemerintah juga mengeruk rakyat dengan tingkat bunga yang tinggi, mencabut segala bentuk subsidi, menaikkan harga energi, upah buruh yang tidak manusiawi, harga hasil pertanian petani yang terus menurun. Kesemuanya kebikalan tersebut secara langsung mengalirkan kekayaan dan pendapatan ekonomi kepada segelintir taipan dan korporasi asing.

Apa akibatnya? Lebih dari 43% pendapatan nasional dinikmati 1% orang (koefisien gini) yang artinya hasil produksi/kerja/usaha seluruh rakyat dalam setahun sebanyak 43% langsung menjadi milik taipan dan asing.

Hasilnya sekarang terlihat. Kekayaan 4 orang setara dengan kekayam 100 juta penduduk. Ketimpangan dalam kekayaan semakin parah seiring lamanya pemerintahan Jokowi berlangsung yang memperlihat identitasnya sebagai sekutu lahir batin para kapitalis taipan dan korporasi asing yang paling setia.

Oleh karena itu tugas pemerintahan Jokowi yang semestinya dan seharusnya adalah memisahkan kapitalisme para taipan dan modal asing dari negara secara ideologi dan politik.

Karena hal itu telah diamatkan oleh Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Jokowi harus mengerti bahwa secara politik negara harus menundukkan para kapitalis taipan dan korporasi asing bukan sebaliknya para taipan dan asing mengangkangi negara sesuka hati mereka.

*Jangan Melupakan Sejarah Pak Joko Widodo...!!

*Setiap keserakahan pasti menghasilkan ketimbangan dan ketidakadilan. Dan setiap ketimpangan dan ketidakadilan bagaikan jerami yang kering rontok yang siap membakar.

*Ketika etika kekuatan struktural negara telah disuap, dikooptasi dan dikerangkeng, maka sudah tepat jika kekuatan non-struktural tanpa tanpa bentuk bertindak meluruskan halian negara yang telah menyimpang dengan cara-cara seperti yang pernah dilakukan pra revolusi kemerdekaan 1945.

*Bangkitlah pemuda mahasiswa, sipil maupun militer, Islam maupun non Islam, bangun kekuatan dan gerakan non struktural.[***]


Penulis merupakan peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) 

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Hukum Bisa Direkayasa tapi Alam Tak Pernah Bohong

Sabtu, 06 Desember 2025 | 22:06

Presiden Prabowo Gelar Ratas Percepatan Pemulihan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 22:04

Pesantren Ekologi Al-Mizan Tanam 1.000 Pohon Lawan Banjir hingga Cuaca Ekstrem

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:58

Taiwan Tuduh China Gelar Operasi Militer di LCS

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:52

ASG-PIK2 Salurkan Permodalan Rp21,4 Miliar untuk 214 Koperasi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:41

Aksi Bersama Bangun Ribuan Meter Jembatan Diganjar Penghargaan Sasaka

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:29

Dua Jembatan Bailey Dipasang, Medan–Banda Aceh akan Terhubung Kembali

Sabtu, 06 Desember 2025 | 21:29

Saling Buka Rahasia, Konflik Elite PBNU Sulit Dipulihkan

Sabtu, 06 Desember 2025 | 20:48

Isu 1,6 Juta Hektare Hutan Riau Fitnah Politik terhadap Zulhas

Sabtu, 06 Desember 2025 | 20:29

Kemensos Dirikan Dapur Produksi 164 Ribu Porsi Makanan di Tiga WIlayah Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 19:55

Selengkapnya