Dalam tahun 1990-an sebuah hasil survei di AS diputuskan tidak boleh dipublikasikan. Survei itu menyimÂpulkan kecerdasan seseorang berÂbanding lurus dengan ras. Ras paling cerdas berdasarkan urutan sebagai berikut: 1) Ras kuning seperti orang Cina, jepang, dan Korea. 2) Ras putih seperti orang kulit putih Amerika dan Eropa. 3) Ras coklat seperti orang Arab, India, dan PakiÂstan, kemudian. 4) Ras sawo matang seperti orang meÂlayu, Tailan, Vietnam, dan Pilipina. 5) Ras negroid, kulit hitam.
Pelarangan publikasi itu disebabkan karena kesimpuÂlannya bisa memicu ketegangan etnik di AS. Itu artinya orang kulit hitam yang hampir separoh di AS tidak panÂtas menjadi presiden karena berasal dari ras paling tidak cerdas. Kalau saja riset ini dipublikasikan maka Obama belum tentu menjadi presiden AS. Ternyata Obama bisa mengungguli ras-ras cerdas lainnya. Ini berarti nasib baik dan nasib buruk tidak berbanding lurus dengan jenis ras seseorang. Benar kata Tuhan: Inna akramakum 'inÂdallahi atqakum (Q.S. al-Hujurat/49:13).
Lembaga-lembaga survey di tanah air kita tumbuh menjamur. Tidak terkecuali survey kualitas akidah dan tingkat keyakinan seseorang terhadap agamanya. Tidak terbayang, apakah obyek yang maha rumit ini bisa diÂukur dengan survei dangkalan. Ironisnya survei yang luar biasa susahnya ini dipublikasikan sebebas-bebasÂnya di dalam masyarakat, sehingga kadang hasil-hasil survei seperti ini membuat orang lain jadi shock, stres, atau memicu terjadinya kecemburuan, konflik, dan intolÂeransi. Regulasi khusus mengenai survei di negeri kita juga belum ada. Orang seenaknya memublikasikan surÂvey sesuai keinginannya.
Survey yang berpotensi menimbulkan kontroversi dan mungkin bisa berujung konflik ialah survey keagamaan yang prematur. Mungkin tujuannya bagus tetapi metodÂologinya sembrono atau tidak professional bisa memicu konflik. Ada sejumlah survey belum lama ini dipublikaÂsi menuding meningkatnya secara tajam populasi garis keras umat Islam dan semakin meluasnya intoleransi umat Islam di dalam masyarakat. Yang disurvei tidak main-main: Jamaah mesjid, komunitas pondok pesantÂren NU, dan majlis-majlis taklim. Angka-angkanya amat fantastik, sebagaimana bisa diikuti di media internet. Apa betul umat Islam Indonesia sudah lebih radikal dariÂpada kelompok taliban di Afganistan? Apa betul kurikuÂlum agama kita sudah sedemikian parah sehingga harus dirombak total? Apa betul para muballig dan guru-guru agama kita sudah menjadi penganut Islam garis keras? Apa betul pondok-pondok pesantren dan madrasah yang bertebaran di tanah air itu sudah terkontaminaÂsi aliran keras sehingga perlu di-rebrain washing? Apa betul orang menjadi teroris dan garis keras itu karena Terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama yang rusak? Apa kebobrokan Kementerian Agama sudah sedemikian parah sehingga sudah waktunya untuk dibubarkan? JanÂgan sampai kita tidak sadar menjadi penari latar yang gendangnya ditabu orang lain.
Merupakan hak intelektual setiap orang untuk melakuÂkan survei apa saja, namun kewajiban intelektual juga harus diindahkan. Idealnya setiap survei tidak boleh caÂcat metodologis, apalagi jika yang disurvei obyeknya sensitif. Jangan sampai survei yang dilakukan by order dan by design kelompok tertentu, atau hanya untuk menÂcari perhatian dan keterkenalan. Kita bisa mencari uang tetapi sebaiknya tidak dengan menjual survei prematur. Kalau obyek survei itu perilaku pasar, konstituen poliÂtik, dan obyek-obyek measurable lainnya adalah wajar bahkan menjadi ciri masyarakat modern. Akan tetapi jika yang disurvei persoalan mendasar dan sensitif seperti menyangkut kepercayaan dan harga diri etnik tertentu, sebaiknya para surveior berhitung lebih jauh untuk meÂmublikasikan hasil surveinya demi memelihara ketenanÂgan umat dan warga bangsa. ***