Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
PEMBEBASAN mengenai Fikih KeÂbhinnekaan masih timbul tenggelam. Adakalanya menghangat dan adakaÂlanya didiamkan. Indonesia dilihat dari berbagai aspek memang sudah sewaÂjarnya memiliki fikihnya sendiri. UmÂumnya produk fikih yang diterapkan di Indonesia masih produk Timur Tengah yang kondisi sosio-geografisnya amat berbeda dengan masyarakat IndoÂnesia. Beberapa kaedah ushul ushul juga mengisyaratka kemungkinan itu, antara lain: Al-hukm yaduru ma’a illatih wujudan wa 'adaman (Hukum mengikuti illatnya, baik menÂgadakan atau meniadakannya). Jika terjadi sesuatu konÂdisi di dalam masyarakat menuntut adanya hukum untuk mengaturnya, maka di situ diperlukan adanya hukum. Jika kondisi itu sudah hilang maka hukum yang diadakan untuk mengaturnya juga otomatis hilang.
Subyek dan obyek Fikih Kebhinnekaan ialah masyarakat Indonesia yang plural dan heterogen. PluÂralitas bisa diartikan sifat dari sekumpulan kelompok nilai atau sub-kultur yang diikat oleh suatu kekuatan nilai lebÂih tinggi yang memungkinkan masing-masing kelompok dan subkultur itu menyatu di dalam suatu wadah keberÂsamaan. Sedangkan heterogenitas sifat dari sekumpÂulan kelompok nilai atau sub-kultur yang berdiri sendiri tanpa diikat oleh satu kesatuan nilai yang lebih tinggi. InÂdonesia lebih tepat disebut sebagai negara plural daripaÂda negara heterogen, karena Indonesia, meskipun terdiri atas berbagai suku, etnik, bahasa, dan agama namun tetap merupakan satu kesatuan budaya dan ideologis sebagaimana tercermin di dalam motto "Bhinneka TungÂgal Ika", bercerai-berai tetapi tetap satu. Segenap warÂga bangsa Indonesia bersepakat utnuk menghimpunkan diri di dalam satu wadah kesatuanh yang disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pluralisme Indonesia difahami sebagai sebuah konÂsep kesatuan yang tersusun dari berbagai unsur keberÂagaman. Keberagamannya diikat oleh sebuah kesatuan yang kokoh, melalui persamaan sejarah sebagai pengÂhuni gugusan bangsa yang pernah dijajah selama beÂrabad-abad oleh bangsa lain, dalam hal ini Belanda dan Jepang. Kehadiran kolonialisme, setuju atau tidak, telah memberikan andil yang penting untuk menyatukan bangÂsa Indonesia, sebagai sesama warga bangsa yang menÂgalami nasib penderitaan yang sama. Di samping perÂsamaan sejarah, pluralisme Indonesia juga diikat oleh kondisi obyektif bangsa Indonesia sebagai suatu negara bangsa yang menjunjung tinggi azas kebersamaan, baik kondisi obyektif maupun kondisi subyektif. Kesatuan keÂbangsaan ini juga biasa diistilahkan dengan nasionalÂisme Indonesia.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29
Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12
UPDATE
Jumat, 19 Desember 2025 | 20:12
Jumat, 19 Desember 2025 | 20:10
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:48
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:29
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:24
Jumat, 19 Desember 2025 | 19:15
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:58
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:52
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:34
Jumat, 19 Desember 2025 | 18:33