KPK mengimbau Fahmi Darmawansyah yang berada di luar negeri segera pulang. Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia (MTI) ini ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kamis (15/12).
Sejak itu, Kantor MTI di Jalan Tebet Timur Dalam Nomor 95A, Jakarta Selatan, tutup. Halaman parkir juga lengang. Kendati tidak ada aktivitas, kantor emÂpat lantai itu tidak sepenuhnya kosong. Pasalnya, jendela lantai tiga dalam keadaan terbuka sebagian. Sesekali, seseorang pegawai mengintip di balik tirai sambil mengawasi keadaan sekitar. "Kantornya sudah tutup sejak Jumat (16/17)," ujar Yadi, salah seorang petugas parkir yang tidak jauh dari lokasi.
Pada tengah hari, rooling door dibuka pelan-pelan. Suara pintu dari besi itu terdengar. Tak lama kemudian, keluar seorang pria yang mengenakan kaos warna gelap. Sambil berjalan terburu-buru, lelaki berumur 30 tahunan ini enggan menjelaskan konÂdisi kantor. "Saya baru kerja di sini. Tidak tahu ini kantor apa?" elaknya sambil berlalu.
Kantor perusahaan rekanan Bakamla ini, berdiri megah di tengah ruko-ruko yang berderet di Jalan Tebet Timur Dalam. Di kantor perusahaan milik suami artis Inneke Koesherawati ini, tidak ada plang nama perusahaan yang tertempel di depannya. Bahkan, nomor ruko juga tidak tampak. Yang membedakan dengan ruko lainnya, hanya teralis dari kayu yang terpasang di depannya. "Technofo sudah berkantor di sini sejak empat tahun lalu," ujar Yadi.
Menurut Yadi, karyawan teraÂkhir terlihat beraktivitas di kanÂtor tersebut pada Kamis (15/12). "Setelah itu tutup," ujar pria asal Ponorogo ini.
Yadi menyebut, jumlah karyÂawan di perusahaan tersebut sekitar 30 orang, bekerja lima hari dalam seminggu. "Tidak ada yang aneh dengan perusahaan itu. Saya tahunya kontraktor kaÂbel," kata pria yang mengenakan seragam warna biru ini.
Sebetulnya, lanjut Yadi, era kejayaan perusahaan itu terjadi tiga tahun lalu. Saat itu, setiap harinya paling tidak ada 50 mobil operasional silih berganti terparkir di depan perusahaan tersebut. "Tapi sejak setahun terakhir, sudah jarang terlihat mobil operasional yang parkir. Yang paling sering mobil meÂwah punya bos perusahaan itu," tuturnya.
Nama PT MTI mencuat ke publik sejak KPK menangkap Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla, Eko Susilo Hadi. Dirut perusahaan tersebut diduga menyuap Eko sebesar Rp 2 miliar dalam penÂgadaan monitoring satelit.
Fee ini diduga baru sebagian kecil dari Rp 15 miliar
commitment fee, yaitu 7,5 persen dari total anggaran alat monitoring satelit senilai Rp 200 miliar.
Peralatan tersebut rencananya ditempatkan di berbagai lokasi di Indonesia dan terintegrasi denÂgan seluruh stasiun yang dimiliki Bakamla, serta dapat diakses di Pusat Informasi Maritim (PIM) yang berada di kantor pusat Bakamla.
Sementara itu, Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Sudewo membantah dirinya abai dengan perilaku anak buahnya. "Saya suÂdah sering mengingatkan, apalagi sekarang ini kami jadi Satuan Tugas Sapu Bersih Pungli," ujar Ari belum lama ini.
Menurut Arie, kasus suap ini merupakan kelalaian anak buahÂnya dalam menjalankan tugas. Sebab, selama ini, pihaknya sudah melakukan penguatan internal, terutama inspektorat Bakamla agar kejadian suap meÂnyuap tak terjadi di Bakamla.
Saat ini, lanjut dia, lemÂbaga yang dipimpinnya akan mengembalikan Eko Susilo Hadi ke kejaksaan sebagai lembaga yang mendelegasikan sebelumÂnya. Arie menceritakan, Eko bergabung dengan Bakamla sejak empat tahun lalu. Dia merangkap jabatan sebagai Deputi Informasi Hukum dan Kerjasama (Inhuker) dan Plt Sekretaris Utama (Sestama) Bakamla sejak Mei 2016 dan berakhir 9 Desember 2016.
Menurut Arie, kewenangan Sestama Bakamla dalah menÂjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Seluruh perencana proyek pengadaan barang/jasa hingga lelang dan pemenang tender, beÂrada dalam kewenangannya.
Ada tiga proyek yang berada dalam kewenangan Eko Susilo. Pertama, proyek pengadaan
backbone coastal surveillance system senilai Rp 400 miliar yang dimenangi CMI Technology. Kedua, proyek pengadaan lonÂgrange camera plus tower Rp 102 miliar yang dimenangi PT Zhasa Putra Deratama.
Terakhir, proyek pengadaan monitoring satelit Bakamla senilai Rp 402,71 miliar yang dimenangi PT Melati Technofo Indonesia (PT MTI). "Anggaran proyek ini, mengalami penguÂrangan menjadi Rp 200 miliar setelah ada instruksi Presiden untuk penghematan anggaran," sebutnya.
Kendati terjadi dugaan korupsi dalam pengadaan alat monitoring satelit, Arie memastikan, proyek tersebut akan terus berlangsung karena telah ditargetkan untuk pengawasan laut. "Ini kan proyek sampai akhir tahun. Ini baru tahap pertama," sebutnya.
Dia menambahkan, proyek tersebut sudah memasuki proses lelang dan direncanakan selesai pada akhir 2016, dengan angÂgaran Rp 400 miliar. "Anggaran awalnya kami minta Rp 1,5 triliun, tapi hasil pemeriksaan BPK hanya memberi Rp 400 miliar dan ini sedang berjalan," jelasnya.
Ke depan, Arie berjanji lebih serius memberantas oknum yang masih bermain proyek di instiÂtusinya. Kasus korupsi sekecil apapun tak bisa ditolerir,†teÂgasnya.
Terpisah, Jaksa Agung HM Prasetyo membenarkan Eko Susilo Hadi merupakan pegawai kejaksaan. "Tapi, sudah empat tahun tidak ada di lingkungan kerja kejaksaan," ujar Prasetyo.
Prasetyo menegaskan, tidak akan membela Eko yang ditangÂkap KPK. "Kalau bersalah, kita tidak akan membela orang yang bersalah. Tapi kalau benar, kita akan bela sampai manapun, itu prinsip," tegas politikus Partai Nasdem ini.
Dia mengatakan, pihaknya tidak akan memanggil Eko unÂtuk diperiksa secara internal di kejaksaan. Sebab, Eko tidak berÂtugas lagi di kejaksaan. "Biarkan KPK proses. Beda kalau berÂtugas di kejaksaan, kita akan lakukan pemeriksaan internal," pungkasnya.
Latar Belakang
KPK Sita Uang Senilai Rp 2 Miliar Di Halaman Parkir Kantor Bakamla
Operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi, terjadi hari Rabu (14/12) pukul 12.30 WIB.
Saat itu, Eko diduga menÂerima uang dari dua orang berÂnama Hardy dan Adami di kanÂtor Bakamla, Jalan Soepomo, Jakarta Pusat. Setelah penyeraÂhan uang itu, tim KPK mengaÂmankan Hardy dan Adami di halaman parkir kantor Bakamla. Dari tangan Eko, KPK menyita uang senilai Rp 2 miliar dalam pecahan dolar Amerika Serikat dan dolar Singapura.
Satu jam kemudian, pukul 13.30 WIB, tim KPK menangÂkap seseorang bernama Danang di kantor PT Melati Technofo Indonesia (MTI). Kemudian, empat orang tersebut dibawa ke kantor KPKuntuk menjalani pemeriksaan intensif.
Dari pemeriksaan dan gelar perkara, KPK memutuskan meningkatkan status perkara ke tingkat penyidikan dan meÂnetapkan Eko sebagai tersangka penerima suap. Eko dijerat denÂgan Pasal 12 Ayat (1) huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999, sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, KPK juga menetapÂkan Hardy Stefanus, M Adami Okta dan bos PT MTI Fahmi Dharmansyah sebagai tersangka pemberi suap. Ketiganya disÂangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 tahun 1999, seÂbagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Danang yang turut diamankan dalam OTT dilepasÂkan, dan saat ini masih berstatus sebagai saksi.
Sedangkan tiga tersangka teÂlah ditahan KPK di rutan yang berbeda. "Tersangka ESH (Eko Susilo Hadi) di Polres Japus, HST (Stefanus Hardi) di Polres Jaktim dan MA (Muhammad Adam) di Rutan Guntur," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, beberapa waktu lalu.
Sementara, Fahmi Darmawansyah berada di luar negeri. Wakil Ketua KPKSaut Situmorang mengatakan, pihaknya sudah mengimbau Fahmi agar meÂnyerahkan diri ke kantor KPK. "Lebih baik datang sendiri," ujar Saut.
Namun, Saut belum bisa membuka dimana keberadaan Fahmi saat ini. Namun, dia membantah jika dikatakan, Fahmi sengaja disembunyikan oknum pihak tertentu di luar negeri. "Tidaklah, tidak ada info seperti itu," ujar bekas staf ahli Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini.
KPK, kata dia, akan menunggu Fahmi hingga Senin (kemarin). "Bila sampai Senin, dia tidak juga datang, maka KPK akan mencarinya," tandasnya.
Namun, Saut tetap meminta tersangka tersebut agar dengan sadar diri datang ke kantor KPK untuk mempertanggungjawabkan apa yang dia lakukan. ***