BARU saja kita selesai dilezatkan oleh people power 2 Desember 2016 (212). Kini di hari Minggu, kita juga digurihkan oleh Parade 4 Desember 2016 (412). Keduanya karya anak bangsa, sama menyentuh, mewarnai keindonesiaan kita.
Melihat detil kedua event itu, terasa ada tiga perbedaan nuansa.
Pertama, people power 212 memang lebih dramatik.
Sebelum acara 212, kita sudah mendengar aneka hambatan kepada bus dll agar tidak mengangkut warga daerah ke Jakarta. Bahkan terdengar kabar 212 dilarang.
Tapi itu tak menyurutkan tekad. Ribuan umat ikhlas jalan kaki ratusan kilo agar bisa ke Jakarta. Tak peduli ada ijin atau tidak.
Ada pula yang kemudian saling membantu membeli tiket pesawat, dan pergi bersama mencarter satu pesawat.
Ada pengumuman dari masyarakat yg menyediakan tempat menginap gratis. Di pinggir jalan raya, banyak gadis dan ibu dengan dana sendiri menyediakan makan dan minum untuk peserta.
Kapolri akhirnya mencari jalan kompromi. Niat event 212 mustahil dinihilkan. Lokasi pindah dari jalan raya utama ke Monas.
Di event 212, peserta bersama menyemut dalam doa. Itu kerumunan paling besar dalam sejarah. Ekspresi wajah mereka lebih menyala. Banyak yang menangis haru dalam doa. Hujan yang mengguyur Monas dan mereka yang bertahan di tempat, menambah pesona drama event itu.
Aneka drama di atas tidak terasa dalam parade Kita Indonesia. Walau meriah dan juga ramai, parade 412 kurang pekat emosi, dan lebih hambar, walau pesan utamanya sangat penting tentang keberagaman Indonesia.
Ibarat film, event 212 lebih menggugah emosi, lebih dramatik, lebih greget dibandingkan 412.
Kedua, dalam parade 412 banyak bendera partai politik, yang justru tak nampak di 212.
Terasa gerakan Parade 412 lebih dimobilisasi. Gerakan ini nampak rapih dan tertata. Banyak bus masuk Jakarta. Namun partisipasi dari bawah, spontanitas peserta kurang terasa dalam 412.
Parade 412 lebih terasa top-down. Sementara people power 212 lebih terasa bottom- up. Yang 412 lebih terasa mobilisasi dari atas. Yang 212 lebih terasa partisipasi dari bawah.
Ketiga, tokoh politik yang terlibat dalam gerakan juga berbeda.
Event 212 mampu tak terduga melibatkan presiden Indonesia: Jokowi. Di panggung bahkan presiden berpidato di dampingi wapres, dan para menteri.
Sementara event 412 menyajikan para ketua umum partai: Surya Paloh yang didampingi Setya Novanto, Djan Faridz, dan lain lain.
Kehadiran presiden dan wapres dalam 212 membuat bobot politik people power itu lebih kuat bergaung dibandingkan 412.
-000-
Jika ditarik pada pilkada DKI, event 212 lebih diwarnai sentimen anti Ahok. Sementara 412, entah kebetulan atau tidak, dipelopori oleh partai pendukung Ahok minus PDIP.
Menjadi pertanyaan pula, mengapa PDIP tidak aktif terlibat dalam 412? Bukankah secara ideologi, PDIP senyawa dengan pesan utama parade? PDIP juga sama pendukung pemerintah dan Ahok?
Namun kedua gerakan itu, 212 dan 412, saling memperkaya kita. Pesannya sama penting untuk pertumbuhan kita sebagai bangsa.
Dalam 212, isu utama " meminta keadilan" terhadap Ahok yang dianggap mengganggu dignity agama. Hal itu berakibat terganggunya ruang publik keberagaman yang saling menghormati.
Dalam 412 dikokohkan Indonesia untuk semua, apapun agama dan sukunya. Musuh bersama adalah kebodohan dan kemiskinan, bukan sesama anak bangsa yang berbeda identitas.
Selesai pilkada DKI, kita harap Jakarta dan Indonesia merekat kembali. Ketegangan hari hari ini, jika ada, semoga justru menjadi simulasi mencari pola kebersamaan yang lebih saling respek.
Dan kitapun belajar menjadi pemimpin tak cukup hanya piawai membuat kali menjadi bersih, dan mantap dalam menata kota. Namun pemimpin harus juga piawai menata emosi manusia di dalamnya. Warga itu punya hati dan keyakinan yang perlu dihormati.
[***]Penulis adalah pendiri Lingkaran Survei Indonesia