Setelah melantunkan lagu rakyat Arirang, tour guide yang mendampingi kami selama berada di Pulau Jeju, Korea Selatan, Peter Park, memulai ceritanya pagi tadi tentang tiga hal yang paling banyak di pulau itu.
Saya ikut bersama delegasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang sedang mengunjungi Korea Selatan atas undangan Asosiasi Jurnalis Korea (JAK). Delegasi PWI terdiri dari tiga orang pengurus PWI Pusat dan 10 ketua PWI dari 10 provinsi di Indonesia.
Kunjungan ini adalah bagian dari kerjasama PWI dan JAK, dimana setiap tahun PWI dan JAK saling mengirimkan delegasi untuk meningkatkan saling pengertian dan pemahaman di antara masyarakat kedua negara.
Kembali ke cerita Peter.
Hal pertama dari yang paling banyak itu, ujar Peter yang juga hobi memotret, adalah angin yang kecepatannya bisa tiga kali lebih besar dibandingkan angin yang bertiup di Seoul.
"Karena angin yang melimpah, Pemprov Khusus Jeju tengah bekerja keras untuk memenuhi pulau itu dengan turbin-turbin raksasa pembangkit listrik tenaga angin," kata Peter.
Setelah angin, hal kedua yang paling penting di Jeju adalah bebatuan basalt yang dengan mudah ditemukan di Jeju. Dimanapun kita menggali, sambung Peter, pasti akan menemukan batu yang dihasilkan proses vulkanik ini.
Dari batu-batu vulkanik ini pula masyarakat Jeju sejak dahulu kala membuat patung sepasang orang tua yang disebut
dol hareubang sebagai simbol kebaikan dan perlindungan juga kesuburan.
"Bila menginginkan keturunan, datanglah ke Jeju, dan usap hidup
dol hareubang. Tapi ini hanya berlaku untuk perempuan," katanya sambil tertawa. Bagaimanapun juga ini adalah mitos dan cerita yang berkembang dari mulut ke mulut di tengah masyarakat Jeju.
Peter membawa kami ke Pantai Jungmun Daepo untuk melihat keunikan batu-batu basalt yang berbentuk columnar joints. Batu-batu ini ditemukan sepanjang 2 kilometer dari Pantai Jungmun-dong ke Daepo-dong.
Menurut para ahli, bebatuan ini adalah hasil dari pendingan lava yang mengalir dari kawah Nokhajiak ke laut antara 250 ribu tahun hingga 140 ribu tahun lalu.
Hal ketiga yang lebih banyak di Jeju adalah perempuan. Bukan hanya lebih banyak dari laki-laki, perempuan di Jeju juga disebut lebih perkasa.
Peter merujuk pada wanita-wanita penyelam di Jeju yang disebut
haenyeo. Mereka mampu berada di bawah air tanpa tabung oksigen untuk mencari ikan dan cumi-cumi selama 2,5 menit hingga kedalaman 20 meter.
"Bahkan ada
haenyeo yang berusia 90 tahun," kata Peter.
Saat ini penyelam wanita paling muda berusia 26 tahun. Namun begitu, menurut Peter, kini jumlah
haenyeo semakin berkurang karena semakin sedikit perempuan Jeju yang mau melanjutkan tradisi ini.
"Ibu saya juga seorang
haenyeo. Dulu waktu masih kecil, saya sering tak menemukan ibu saya di rumah saat saya pulang dari sekolah. Kalau begitu, dia pasti berada di laut mencari ikan. Saya akan ke laut, mengejarnya, kemudian kami bertepuk tangan (
high five), dan setelah itu, saya pun kembali ke rumah," cerita Peter.
Dalam kunjungan pertama saya ke Jeju tahun 2013 lalu, saya berkesempatan menyaksikan kehebatan
haenyeo di kaki kaldera mati Songsan Ilchubong.
Mereka mengenakan pakaian selam berwarna hitam-hitam, penutup mata, dan membawa jaring serta pelampung putih yang digunakan untuk menahan jaring agar tidak tenggelam. Jaring itu mereka gunakan untuk meletakkan ikan atau cumi-cumi yang mereka temukan.
Hebatnya, Pemprov Khusus Jeju memanfaatkan ketiga hal yang paling banyak di Jeju ini untuk menopang pembangunan Jeju, khususnya di sektor energi dan pariwisata.
Sebetulnya, ada satu lagi yang dengan mudah ditemukan di Jeju, yaitu jeruk Jeju atau disebut tangerine yang ukurannya lebih kecil dari jeruk biasa. Kulitnya tipis, tanpa biji di dalamnya, dan rasanya segar.
Dulu tangerine disebut sebagai pohon universitas. Saat itu harga tangerine masih tinggi, sehingga pemilik kebun tangerine bisa mengirim anak mereka ke universitas. Tetapi kini, kebun tangerine semakin banyak, membuatnya harganya turun drastis.
"Kini pohon tangerine disebut pohon TK (taman kanak-kanak) karena harganya sudah jatuh," kata Peter lagi.
Saat ke pasar tradisional di Jeju yang bersih dan tak dihinggapi seekor lalat pun, saya membeli satu tas plastik tangerin hanya seharga 5 won. Dalam waktu singkat, tangerine satu plastik itu habis kami keroyok.
[guh]