Ketimpangan kepemilikan lahan selama ini telah menyulut terjadinya konflik di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan banyak menimbulkan korban akibat konflik agraria.
Demikian disampaikan Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, Iwan Nurdin, kepada Kantor Berita Politik RMOL (Jumat, 16/9) saat dimintai pendapat atas pernyataan komisioner Komnas HAM Hafid Abbas.
Kemarin, Hafid mendesak Pemerintah meredistribusikan tanah-tanah yang dikuasai konglomerat. [Baca:
Komnas HAM: Bagikan Ke Rakyat, Tak Ada Alasan Pengusaha Kuasai Lahan Jutaan Hektar]
"Laporan KPA memperlihatkan selama satu dekade (2004 -2014) jumlah pejuang agraria yang ditangkap mencapai 1.395 orang. Pada 2015, 278 petani/aktivis dikriminalkan, ditangkap, ditahan hingga dipidanakan secara paksa," ungkap Iwan Nurdin.
Lebih jauh dia menjelaskan saran Komisioner Komnas HAM tersebut sesungguhnya mandat operasional konstitusi kita dan mandat UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
Program tersebut disebut dengan reforma agraria. Yaitu redistribusi tanah plus program program penunjang sehingga tanah yang diredistribusikan mensejahterakan dan produktif.
"Ketimpangan agraria yang terjadi, dimana konglomerasi bisa menguasai tanah maha luas, karena UUPA diselewengkan," ungkapnya.
Pada pasal 12 dan 13 UUPA misalnya diatur bahwa pemberian hak atas tanah bagi lapangan usaha harus diprioritaskan untuk usaha bersama, gotong royong, mencegah monopoli tanah dan penghisapan manusia atas manusia.
"Lapangan usaha semacam ini, dalam penjelasan dimaksudkan untuk membentuk kapital yang dimilik oleh masyarakat banyak," tandasnya.
[zul]