Pemandangan Anak Gunung Krakatau menakjubkan. Namun, untuk mencapai salah satu gunung api paling aktif di Indonesia ini tidak mudah, harus menyeberangi Selat Sunda dengan ombak yang ganas.
Puluhan wisatawan ramai-ramai berkunjung ke Anak Gunung Krakatau pada Sabtu (27/8). Perjalanan bisa ditempuh melalui Kota Bandar Lampung.
Dari tempat ini, dilanjutkan perjalanan darat menuju Dermaga Sari Ringgung, Pesawaran Lampung. Perjalanan tidak terlalu jauh. Tapi, cukup berliku dengan kontur jalan sempit dan melewati pemukiman penduduk.
Tak sampai satu jam, sudah memasuki lokasi dermaga. Kondisinya belum sepenuhnya rapi, karena jalan di areal derÂmaga hanya beralaskan tanah dan berdebu bila terkena angin.
Selanjutnya, menaiki derÂmaga untuk bisa menumpang perahu tradisional milik warga. Kondisi juga seadanya, karena hanya dibuat jembatan kecil dari beton selebar satu meter dengan panjang 100 meter menjulur dari bibir pantai.
Di sepanjang kanan dan kiri jembatan, terparkir puluhan perÂahu tradisional yang siap menÂgantar pengunjung ke gunung terbesar di Provinsi Lampung ini. Namun, karena kondisi ombak yang tidak memungkinkan, perahu tradisional hanya sangÂgup mengantar sampai 500 meter dari bibir pantai.
Selanjutnya, seluruh penumpÂang diminta pindah ke kapal kayu dengan ukuran lebih besar. "Kami biasa mengantar penumpang seminggu sekali ke Kepulauan Krakatau," ujar Sarkim, nakhoda Kapal KMP Bumi Sejahtera.
Perjalanan menuju Anak Gunung Krakatau cukup melelahkan karena harus ditempuh selama lima jam. Tapi, tidak membosankan karena pemandangan di kanan dan kiri laut terbentang jajaran pegunungan yang tersemÂbunyi di balik awan.
Sarkim menyebut, kapalnya mampu menampung 25 orang dengan biaya sewa Rp 4 juta untuk transportasi pergi pulang. "Pengunjung bisa menginap di resort maupun langsung ke Anak Gunung Krakatau," kata pria yang sudah 19 tahun menjadi nakhoda ini.
Sebetulnya, kata Sarkim, berÂlayar ke Anak Gunung Krakatau lebih dekat melalui Dermaga Canti di Kalianda, Lampung, dibanding melalui Dermaga Sari Ringgung di Pesawaran. "Dari Dermaga Canti paling hanya dua jam perjalananan. Kalau dari Sari Ringgung bisa lima jam," ucapnya. Cuma, kata pria bertubuh kurus ini, akses menuju Dermaga Canti dari Kota Bandar Lampung lumayan jauh, hampir satu setengah jam.
Pria asli Lampung itu mengataÂkan, tidak setiap saat ia bisa mengantarpenumpang ke Krakatau. Bila ombaknya tinggi, tidak bisa. "Kalau sampai empat meter, kami tidak berani lewat," tuturnya.
Cukup lama melawan ombak Selat Sunda, akhirnya seluruh pengunjung sampai ke Kepulauan Anak Gunung Krakatau. Namun, kapal tidak bisa bersandar karena ketiadaan dermaga.
Walhasil, kapal berhenti 100 meter mendekati bibir pantai. Selanjutnya, giliran seluruh pengunjung dijemput dengan kapal berukuran kecil yang siap sepaÂnjang waktu. "Sebetulnya, kami sudah sering bangun dermaga di sini, tapi selalu rusak tak sampai sebulan diterjang ombak," ujar seorang penjaga Kepulauan Anak Gunung Krakatau.
Turun dari kapal, pengunjung bisa langsung menuju puncak Gunung Anak Krakatau. Perjalanan tidak terlalu sulit karena sudah ada jalan setapak yang membimbing ke puncak. Tapi, harus waspada karena tanahnya berpasir dan licin kalau salah menginjak tanah.
Hanya setengah jam mendaki, pengunjung sudah sampai punÂcak. Namun, petugas yang selalu mendampingi pengunjung tidak memperbolehkan mendekati kawah karena masih berbahaya dan sewaktu-waktu bisa meletus. "Sekarang statusnya waspada, jadi tidak boleh terlalu dekat," ujar petugas bernama Sulaiman.
Kendati tidak sampai puncak, pemandangan alam sangat meÂnakjubkan. Gunung Rakata yang menjadi satu gugusan Kepulauan Krakatau terlihat gagah di depan mata. Tak jauh dari Gunung Rakata terlihat jelas Gunung Krakatau yang dahulu pernah meletus dahsyat. Asap putih tipis mengepul dari kawah Gunung Krakatau yang saat ini belum ada tanda-tanda aktif kembali.
Selama di puncak, terik maÂtahari sangat menyengat. "Tapi, pemandangannya sungguh luar biasa," puji Riana.
Tatapan wajahnya tidak beranÂjak dari Gunung Rakata yang ada di hadapannya. Tidak mau ketinggalan momen indah tersebut, Riana meminta salah seorang temannya untuk mengambil gambar. Sambil memegang benÂdera merah putih, gadis berjilbab ini beraksi di atas lembah Anak Gunung Krakatau.
Puas beraksi selama satu jam, Riana dan seluruh pengunjung turun karena kondisi sudah mulai gelap. "Kalau ada waktu, saya ingin kembali ke sini lagi," harap wanita asal Bandar Lampung ini.
Terpisah, Kepala Seksi Wilayah III Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung, Teguh Ismail menegaskan, Cagar Alam dan Cagar Alam Laut Kepulauan Krakatau sebetulÂnya bukan untuk tempat wisata. Pasalnya, wilayah ini statusnya masih cagar alam dan bukan taÂman wisata alam.
"Pengunjung yang ke sini hanya diperbolehkan untuk meneliti. Kalau untuk wisata harus ada surat pengantar dari Kementerian Kehutanan atau BKSDA terlebih dahulu," ujar Teguh di Kepulauan Krakatau, Lampung.
Alasan Kepulauan Gunung Krakatau menjadi cagar alam, kata dia, karena keunikannya. Sebab, awalnya Kepulauan Gunung Krakatau berupa laut. Selanjutnya pada 1923 terus tumbuh membesar, sehingga seperti sekaÂrang ini seluas 130 hektar.
Menurut Teguh, Kepulauan Krakatau sampai saat ini masih menjadi kawasan konservasi dan seluruh hewan dan tanaman yang ada di kepulauan ini dilindungi. "Kalau ada pengunjung yang daÂtang dan tidak membawa surat, akan kami usir," ancamnya.
Selain itu, kata pria yang mengenakan kemeja putih ini, status Anak Gunung Krakatau sekarang berada di level II atau waspada dan biasa sewaktu-waktu berubah ke level 1 atau awas. "Gunung ini sangat aktif, jadi susah ditebak. Bisa meletus sewaktu-waktu," sebut dia.
Dengan kondisi seperti itu, kaÂta pria asal Lampung ini, sangatmembahayakan wisatawan kalau akhirnya dibuka menjadi tawan wisata.
Dia menambahkan, Anak Gunung Krakatau terakhir meletus tahun 2012, namun tidak terlalu besar laharnya hanya sampai bibir pantai. "Tapi ingat, guÂnung ini punya sejarah meletus yang dahsyat dan bisa meletus sewaktu-waktu, serta menimbulÂkan tsunami," ingatnya.
Teguh menjelaskan, Kepulauan Krakatau, terdiri dari empat puÂlau yaitu, Pulau Panjang, Pulau Sertung, Pulau Krakatau Besar dan Pulau Anak Krakatau. "Luas seluÂruhnya 13 ribu hektar," sebut dia.
Memang, kata dia, ada keÂinginan dari Pemprov Lampung untuk membuat Kepulauan Anak Krakatau menjadi tempat wisata. Tapi, pihaknya hanya berpaÂtokan dengan aturan yang ada saat ini, bahwa Kepulauan Anak Krakatau sebagai cagar alam tidak diperbolehkan ada wisatawan. Yang diperbolehkan hanya unÂtuk penelitian. "Kalau mau jadi tempat wisata harus diubah duÂlu Peraturan Pemerintah soal Kepulauan Krakatau," saran dia.
Tidak hanya pengunjung, kata dia, bangunan permanen juga diharamkan berdiri di area konÂservasi ini. "Kami hanya bangun rumah pakai kayu sebagai pos penjagaan," sebut dia.
Demi menjaga keamanan di sekitar Kepulauan Krakatau, Teguh memastikan, selalu ada petugas yang berjaga siang dan malam. Mereka berasal dari petugas BKSDAdan polisi hutan yang berjumlah tujuh orang. "Mereka seminggu sekali pulang dan diganti dengan petugas lain," jelasnya.
Dengan areal konservasi seÂluas lebih dari 13 ribu hektar, lanjutnya, petugas cukup kesuÂlitan untuk mengamankannya. Sebab, seringkali dijumpai neÂlayan yang menangkap kepiting di kawasan konservasi tersebut. "Nelayan beralasan hanya menÂeduh dari hujan. Tapi setelah kita cek, di jaring banyak kepitingÂnya," ucap Teguh.
Latar Belakang
Letusan Krakatau Picu Gelombang Setinggi 40 MeterNama Gunung Krakatau mulai mendunia tahun 1883. Saat itu, gunung yang berada di Provinsi Lampung ini meletus dahsyat. Suara letusannya terdengar sampai 4.830 km dari pusat leÂtusan, bahkan dapat didengar 1/8 penduduk bumi saat itu. Letusan Krakatau memiliki kekuatan 13 ribu kali lebih besar dari ledakan bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada akhir Perang Dunia II.
Ledakan Krakatau melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 25 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencapai 80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera, bahkan sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru.
Tidak hanya itu, letusan guÂnung tersebut menimbulkan tsunami (gelombang laut) naik setinggi 40 meter, menghancurÂkan desa-desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan, tetapi juga longsoran bawah laut.
Tercatat jumlah korban yang tewas mencapai 36.417 orang, berasal dari 295 kampung kaÂwasan pantai, mulai dari Merak di Kota Cilegon hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon) serta Sumatera Bagian Selatan.
Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Keesokan harinya sampai beÂberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari. Gelombang tsunami yang ditimbulkan, bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, panÂtai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer.
Demi mengenang kedahsyatan letusan gunung paling aktif di Indonesia ini, kembali digelar Festival Krakatau yang diselengÂgarakan mulai 21 hingga 28 Agustus 2016. Tema yang diusung pada tahun ini yakni "Lampung The Treasure of Sumatra".
Menurut Sekretaris Kementerian Pariwisata Ukus Kuswara, Festival Krakatau 2016 sebaÂgai ajang pengenalan kekayaan alam dan budaya yang dimiliki Lampung kepada masyarakat. "Juga memberikan rasa bangga bagi warga setempat, bahwa daerÂahnya memiliki daya tarik wisata yang juga menjadi keunikan dan identitas daerahnya," ujar Ukus.
Menurut Ukus, Gunung Krakatau merupakan ikon pariwisata Provinsi Lampung yang telah dikenal dunia. Festival Krakatau, lanjut dia, menjadi wahana dan ajang puncak kreativitas serta penghargaan terhadap seniman, budayawan, dan masyarakat Lampung, untuk pengembangan dan peningkatan kebudayaan Lampung.
Dia menambahkan, kekayaan Lampung layak disuguhkan dalam gelaran festival. "sektor pariwisata merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan," pungkasnya.
Kemahsyuran Krakatau cuÂkup menarik banyak wisatawan. Pada tahun 2015 tercatat 114.907 wisatawan mancanegara dan 5,5 juta wisatawan domestik berkunÂjung ke Lampung.
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung, Choiria Pandarita mengatakan, Festival Krakatau merupakan perhelatan akbar kebudayaan dan pariwisata daerah ini, dimeriahkan dengan berbagai kegiatan. ***