Meski rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Rawa Bebek belum sepenuhnya selesai, Pemerintah DKI Jakarta memutuskan menggusur ratusan keluarga di bantaran Kali Ciliwung, di wilayah Bukit Duri, Jakarta Selatan. Puluhan warga pun berangsur menempati unit rusunawa itu.
Rusunawa Rawa Bebek terletak di bibir Kanal Banjir Timur, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Dari delapan blok yang direncanakan, saat ini baru empat blok yang siap dihuni. Masing-masing blok terdiri dari lima lantai dengan satu lantai dasar, dan 100 unit hunian.
Rencananya, selain warga Bukit Duri, jika sudah rampung rusunawa itu juga akan menamÂpung warga gusuran Pasar Ikan, Luar Batang, Jakarta Utara. Saat ini, mereka sementara masih menempati rusun yang berada di sampingrusunawa bagi warga Bukit Duri. Rusun tersebut sebenarnya untuk pegawai Pemda DKI yang berstatus belum menikah.
Kegiatan proyek masih berÂlangsung di bagian depan, yang dekat dengan pintu masuk rusuÂnawa. Di empat unit rusunawa yang sudah siap huni, belum ada papan nama yang menandakan rusunawa tersebut. Tampak seÂjumlah alat berat masih melakuÂkan beberapa pengerjaan.
Satu unit ekskavator meminÂdah-mindahkan tanah di bagian pagar depan. Pagarnya pun masih berupa seng, meski seÂbagian besarnya sudah ditembok bata ringan berwarna putih. Satu unit alat berat lainnya mengerÂjakan bagian dalam pagar rusuÂnawa yang belum selesai. Antara rusunawa yang sudah siap huni dan yang belum selesai, dibatasi pagar seng.
Memasuki bagian dalam paÂgar, beberapa warga gusuran Bukit Duri melakukan aktivitas luar ruangan. Aktivitas warga mulai terlihat meski belum seÂmuanya warga Bukit Duri yang terkena dampak normalisasi Ciliwung, pindah ke sana.
Di rusunawa ini, warga gusuran masing-masing mendapatkan unit hunian dengan tipe 36, atau 6 x 6 meter. Tiap hunian terdapat dua kamar tidur berukuran masing-masing 2,5 x 3 meter, sebuah dapur dan kamar mandi.
Meski terbilang bagus, namun masih ada beberapa hal yang dikeluhkan warga. Salah satunya adalah nyamuk. Abdul Rahman Gani, penghuni unit lantai 1 Blok Merpati yang pindah dari Bukit Duri pada 12 Agustus lalu mengaku, lotion anti nyamuk yang dipakainya terkadang tidak mempan untuk menghalau binaÂtang tersebut.
"Di sini lumayan enak. Tapi nyamuknya itu. Saya kira karena bangunan baru, nggak akan ada nyamuk. Tapi mungkin karena sekitarnya juga masih banyak rawa. Saya pakai lotion anti nyamuk kadang nggak memÂpan," terangnya saat berbincang dengan Rakyat Merdeka.
Di rusunawa ini, Abdul Rahman tinggal bersama istri dan dua orang cucunya. Satu cucuÂnya kelas 3 SMP, sedangkan yang lain duduk di bangku kelas 4 SD. Namun, masalah muncul manakala kedua cucunya akan berangkat sekolah. Soalnya, kedua cucunya masih sekolah di Bukit Duri.
Kata Abdul Rahman, transporÂtasi dari dan ke rusunawa terseÂbut tidak pasti. Tapi yang jelas, kata dia, jam lima pagi sudah ada Bus TransJakarta yang mangkal di depan rusunawa, jurusan Rawa Bebek-Penggilingan. Tapi setelah itu, tidak menentu waktu kedatangannya.
"Padahal cucu saya sekoÂlahnya masih di Bukit Duri, di sekolah agama. Saya nggak mau pindahkan ke sekolah umum yang dekat, karena nanti ilmu agamanya kurang. Harusnya ada bus sekolah, karena di rusun sebelah sana ada bus sekolah dua buah," jelasnya.
Dia membandingkan transporÂtasi TransJakarta di rusun Pulo Gebang. Menurutnya, rusun tersebut disinggahi angkutan umum lebih sering daripada rusun Rawa Bebek yang ditemÂpatinya. "Ya jadinya kadang-kadang cucu saya tinggal di rumah orangtuanya, di Bukit Duri," bebernya.
Selama berada di rusunawa tersebut, Rakyat Merdeka hanya sekali melihat kedatangan Bus TransJakarta, ukuran medium berwarna biru. Saat itu sudah pukul setengah enam sore. Bus itu juga tidak lama berada di rusunawa. Hanya menurunkan penumpang, lalu berangkat lagi.
Di rusanawa ini, Abdul Rahman mengaku harus merogoh kocek Rp 350 ribu per bulan untuk biaya sewa. "Itu karena saya di lantai satu. Makin ke atas makin murah," ucapnya.
Biaya yang harus dikeluarkan pun bukan hanya untuk sewa hunian. Listrik dan air terpisah dari biaya-biaya yang harus dibayar warga hunian rusunawa Rawa Bebek.
Selain minimnya transportasipublik, pusat kegiatan masyarakat seperti pasar pun tidak terlihat di dekat rusun Rawa Bebek. Padahal, menurut Abdul Rahman, kebanyakan warga yang digusur bekerja di pasar sebagai kuli angkut maupun pedagang.
Keluhan terkait transportasi publik dari Rawa Bebek juga juga dilontarkan Maka. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai sopir tembak angkutan kota ini, mengaku rugi ongkos jalan sejak dia pindah ke Rawa Bebek.
Sebagai sopir tembak, Maka mengaku penghasilannya sehari maksimal Rp 35 ribu. Sedangkan uang untuk membayar transporÂtasi dari dan ke rusunawa lebih dari Rp 20 ribu.
"Hitungannya kita rugi. Belum untuk makan. Dulu kalau makan kita bisa pulang karena dekat. Sudah begitu, saya harus jalan dua kilometer untuk naik angÂkutan umum, karena di jalan depan rusunawa tidak dilewati angkot. Kalau naik ojek mahal," keluhnya. ***