Kondisi pekerja di Palu, Sulawesi Tengah masih memprihatinkan. Musababnya, banyak dari mereka yang belum mendapat upah layak.
Hari sudah sore, Jumat (19/8). Jam menunjukkan pukul 16.30 WIB. Saipan masih asyik mengeÂlas beberapa potongan besi yang berserakan di atas meja. Setelah potongan-potongan itu tersambung, dia menyatukan besi tersebut ke gerbang yang hampir selesai dibuatnya.
"Kejar target, dua minggu gerbang harus sudah selesai," ucap Saipan yang mengenakan seragam biru lengkap dengan penutup wajah di kepala.
Tidak sendirian, Saipan berÂsama belasan pekerja lainnya harus berjibaku dengan puluhan potongan besi yang berserakan di meja cukup luas itu. Tidak hanya kuat, besi-besi tersebut harus mulus karena akan digunaÂkan untuk gerbang rumah yang sudah dipesan warga.
Menempati ruang seluas lapanÂgan basket, tempat pengelasan ini cukup layak. Seluruh pekerja harus mengenakan seragam anti api. Begitu juga sarung tangan, tahan api agar tidak menimbulÂkan luka bakar saat melakukan pengelasan. Lokasinya berada di Balai Latihan Kerja (BLK) Provinsi Sulawasi Tengah.
Bahkan, bagi pekerja yang melakukan pengelasan berat, harus menggunakan bilik khusus berukuran 1x1 meter. Bilik ini dilengkapi korden yang juga tahan terhadap api.
Menjelang pukul 5 sore, seÂluruh pekerja kembali ke mess masing-masing. "Besok jam 8 pagi harus mulai kerja lagi," ucap Saipan dengan wajah letih.
Saipan mengaku beralih pekerjaan menjadi tukang las karena penghasilannya sebagai kuli bangunan tidak mencukupi kebutuhan rumah tangganya sehari-hari. "Sehari paling banÂyak dapat Rp 70 ribu," ucap pria dua anak ini.
Apalagi, lanjutnya, kebutuhan sehari-sehari di Palu cukup tingÂgi, mencapai Rp 50 ribu setiap hari. "Praktis hanya menyisaÂkan Rp 20 ribu. Itu kalau kerja. Kalau tidak kerja, ya nombok," tuturnya.
Hal itu diperberat dengan tidak adanya jaminan kesehatan dalam bentuk BPJS Kesehatan. "Jadi kalau ada yang sakit, kami bingung berobat, soalnya semua serba mahal," katanya.
Namun, pria berumur 31 tahun ini merasa bersyukur karena sang istri membantunya dengan usaha kecil-kecilan. "Lumayan buat tambah-tambah penuhi keÂbutuhan keluarga," ujarnya.
Demi memperbaiki kehiduÂpannya, Saipan ingin beralih pekerjaan sebagai pengelas besi. "Sekarang baru latihan selama dua bulan," ucapnya.
Nanti kalau hasilnya bagus, ia akan melamar kerja di salah satu perusahaan besar di Luwuk, Sulawesi Tengah. "Di sana luÂmayan, sebulan bisa dapat Rp 3 juta," sebutnya.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Nasional Indonesia (FSPNI) Sulawesi Tengah Lukius Todama, Upah Minimum Kota (UMK) Palu terlalu rendah dibanding kebutuhan hidup sehari-hari. Sebab, kebutuhan hidup layak (KHL) buruh Rp 2,5 juta, sedangkan UMK Palu hanya Rp 1,9 juta. "Gaji tidak cukup untuk membeli kebutuhan pokok," ujar Lukius di Palu, Sulteng, kemarin.
Tidak hanya soal gaji, kata Lukius, banyak perusahaan di Palu tidak memberikan Tunjungan Hari Raya (THR) kepada karyÂawannya. Pasalnya, para penguÂsaha beralasan tidak mengetahui aturan tersebut, sehingga tidak pernah bayar hak karyawan itu setiap tahunnya. "Kalau yang mampu tapi tidak mau bayar, kami datangi agar mereka mau bayar," tandasnya.
Namun, bagi perusahaan yang memang tidak mampu membaÂyar tunjungan, pihaknya tidak akan mempermasalahkan lebih jauh. "Kalau diancam, malah perusahaan tersebut langsung mem-PHK karyawannya," lanjut Lukius.
Namun, ada juga pekerja yang lebih beruntung seperti Ardiansyah. Dia bekerja di salah satu perusahaan besar di Luwuk, Sulteng. Gajinya sebagai pekerja las Rp 4,5 juta.
Dia sedang meningkatkan kemampuannya sebagai tukas las di BLK Sulawesi Tengah selama dua bulan. "Bila nanti lulus dan punya spesialisasi khusus las, bisa dapat gaji 6 juta," ucapnya.
Jika gajinya Rp 6 juta, dia mengaku akan mencicil rumah agar bisa ditempati istri dan satu anaknya. "Selama ini masih tingÂgal di rumah mertua," ucapnya.
Selama mengikuti pelatihan las, Ardiansyah mengaku tidak ditarik uang sepeser pun, malah mendapat tempat tinggal di mess selama dua bulan.
Untuk itu, dia berharap agar semua pekerja yang tidak memÂpunyai keahlian, mengikuti pelatihan terlebih dahulu agar bisa mudah mendapat kerja dan mendapat penghasilan besar. "Kalau dapat gaji besar, bisa menyekolahkan anak di tempat lebih baik," ujar pria berumur 29 tahun ini.
Lain lagi dengan Maghfiroh. Wanita lulusan Fakultas Teknik Universitas Tadolaku, Palu ini memilih sebagai tukang kayu. Sepotong kayu besar dengan siÂgap digergajinya hingga tuntas.
Kendati hanya satu-satunya wanita yang belajar kerja sebagai tukang kayu di BLK ini, wanita berjilbab itu merasa percaya diri. "Sekarang baru latihan. Insya Allah dalam waktu tiga minggu lagi sudah bisa," yakinnya.
Selepas mengikuti latihan ini, dia akan membuka usaha mebel bersama 16 teman-temannya yang ikut bareng menjalani latihan. "Tapi, pinjam dulu ke orangtua sebesar Rp 15 juta untuk modal awal," sebut wanita berumur 22 tahun ini.
Latar Belakang
KHL Belum Tuntas, MEA Keburu Datang
Upah Minimum Kota (UMK) Palu, Sulawesi Tengah terlaÂlu rendah dibanding kebutuÂhan hidup sehari-hari. Sebab, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) buruh Rp 2,5 juta, sedangkan UMK hanya Rp 1,9 juta.
Lantaran itu, menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Nasional Indonesia (FSPNI) Sulawesi Tengah Lukius Todama, pihaknya akan terus melakukan dialog dengan seluruh perusahaan agar bisa menggaji buruh sesuai keÂhidupan layak. "Semoga dalam waktu dekat bisa terwujud," harapnya.
Kendati demikian, dia menyatÂakan tidak bisa memaksa seluruh perusahaan memberikan gaji seÂsuai UMR yang telah ditetapkan pemerintah. Penyebabnya, tidak semua perusahaan kondisinya baik. Khususnya bagi mereka yang bekerja di ruko-ruko yang mempekerjakan karyawan palÂing banyak 30 orang. "Pemilik ruko akan mem-PHK karyawan bila dipaksa membayar gaji sesÂuai UMR," ujarnya.
Namun, bagi perusahaan yang bonafid tapi enggan memberiÂkan gaji sesuai UMR, Lukius mengancam akan mengajak buruh perusahaan tersebut untuk mogok kerja sampai manajemen mengabulkan tuntutan tersebut. "Syukurnya langkah itu ampuh. Dua minggu lalu kami juga melakukan cara itu dan berhaÂsil," sebutnya.
Lukius menambahkan, saat ini jumlah perusahaan di Palu sebanyak 1800 dengan jumlah pekerja 24 ribu. "Syukurnya, mayoritas perusahaan masih memperhatikan nasib buruh, walaupun belum memenuhi KHL," tuturnya.
Persoalan bertambah berat, karena Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) mulai berlaku awal tahun 2016. Artinya, perÂdagangan bebas yang mencakup barang dan jasa antar sesama negara anggota ASEAN, tidak ada batasnya lagi. Semua bebas masuk.
Namun, tidak semua masyarakat di daerah siap menghadapi arus barang dan tenaga kerja dari luar negeri. Makanya, Sulawesi Tengah mulai menyiapkan tenÂaga kerjanya agar bisa bersaing dengan tenaga kerja asing melaÂlui latihan kerja.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Muhammad Hanif Dhakiri mengaku terus melakuÂkan perbaikan sistem ketenaÂgakerjaan nasional, monitoring, dan percepatan kerja. "Cara kita bekerja dan berfikir harus berubah. Sebab, dunia sekarang ini sudah sangat berubah dan sangat kompetitif," kata Hanif di Palu, Sulteng.
Saat ini, imbuh Hanif, data angkatan kerja tercatat ada 128 juta, dari jumlah itu, 62 persenÂnya hanya lulusan SLTP ke bawah. "Ini adalah PR kita semua," tandasnya.
Untuk itu, dia menyarankÂan agar ada alokasi anggaran pelatihan kerja dan peningkatan kompetensi untuk lulusan SMP ke bawah.
Hanif bercerita bahwa setÂelah merdeka, Singapura memÂpercepat pembangunan SDM dengan memperbanyak pemÂbangunan tempat pelatihan kerÂja di mana-mana. "Sehingga, mereka cepat bangkit mengejar ketertinggalan pasca penjajaÂhan," tandasnya.
Satu satu cara untuk menang dalam persaingan di era yang seÂmakin kompetitif ini, kata Hanif, adalah dengan meningkatkan kompetensi semua angkatan kerja, terutama angkatan kerja muda.
Namun, lanjut dia, semua itu mensyaratkan peran semua pihak, termasuk Pemda, dunia usaha dan para serikat pekerja sebagai wakil dari para pekerja. "Kita harus mau membuka diri dari masukan dan kritik, teruÂtama dari anak-anak muda."
Lanjut Hanif, tumbuh kemÂbangnya anak muda sangat penting untuk percepatan kemaÂjuan bangsa. "Jadi bersinergi dengan anak muda yang kreatif akan menjadi solusi terbaik," ujar bekas Anggota Komisi X DPR ini.
Selain itu, Hanif meminta kepada Gubenur dan Bupati Walikota se Sulteng untuk menÂindak tegas jika ditemukan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang ilegal. Sebab, Indonesia adalah negara terbuka yang dikerangkai dengan koridor hukum.
Sebagai negara terbuka, Indonesia tidak bisa menghalanÂgi orang asing masuk. "Namun, syaratnya harus legal dan sesuai aturan. Jika ilegal atau tidak sesuai aturan, maka pemerintah akan menindak," tegasnya.
Sejauh ini, kata dia, arus TKA yang masuk ke Indonesia masih berjalan normal. Namun, di beberapa daerah ada laporan, sejumlah TKA yang bekerja di Indonesia tidak sesuai peraturan yang ada. "Kita pasti tindak teÂgas yang ilegal dan deportasi," tandasnya. ***